Kalender telah menunjukkan akhir bulan. Artinya, momentum gajian telah tiba. Atau bagi yang menerima gaji di awal bulan, momen itu akan segera datang. Para tulang punggung keluarga menganggap masa-masa ini sebagai periode krusial. Terutama bagi mereka yang bergaji pas-pasan.
Kenapa masa ini krusial? Karena momen ini, bisa jadi akan menentukan nasib selama sebulan ke depan. Kita harus memutuskan gaji itu akan kita gunakan untuk apa saja, kebutuhan apa yang berpotensi membengkak, dan bagaimana cara menutupinya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak sebagian dari kita.
Tanpa membuat perencanaan matang, kita bisa menghadapi risiko besar. Kita bisa kehabisan uang sebelum gajian selanjutnya datang. Akibatnya, kita bisa terpaksa berutang. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa merusak keuangan masa depan.
Tak hanya itu, sebagai muslim, kita juga harus mengingat dimensi spiritual dari gaji yang kita terima. Karena itu, kita perlu mengelola gaji dengan cara yang bijak dan penuh pertimbangan.
Secara garis besar, mengatur gaji adalah kemampuan kita dalam mengelola pendapatan bulanan secara efektif. Tujuannya: memenuhi kebutuhan, mencapai tujuan keuangan, dan menghindari masalah finansial di masa depan.
Proses ini menuntut kita untuk merencanakan, mencatat, menganalisis pengeluaran, dan disiplin menjalankan rencana tersebut.
Perencanaan Gaji dalam Islam
Pakar keuangan Islam, Dr. M. Syafii Antonio, memberikan sejumlah tips dalam mengelola gaji. Secara prinsip, beliau mendorong kita untuk menyeimbangkan dimensi spiritual dan material dalam pengelolaan keuangan.
Dalam dimensi spiritual, Syafii menjelaskan pentingnya menyisihkan gaji untuk kepentingan sosial. Yang barang tentu sesuai ajaran agama. Seperti sedekah, infak, dan zakat.
Karena itu, kita perlu mengupayakan untuk mengalokasikan sebagian penghasilan untuk kepentingan spiritual tersebut. sebagai wujud ketaatan pada agama.
Sementara dalam aspek material, membagi dalam dua aspek. Yakni memastikan memenuhi kebutuhan pokok sekaligus menyisihkan sebagian untuk investasi masa depan. Tentunya investasi yang halal dan sesuai ajaran Islam. Seperti emas, sukuk, atau instrument lain yang sesuai syariat.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok, Islam mengajarkan kita untuk hidup sederhana. Ajaran ini dikenal dengan istilah qana’ah, atau merasa cukup. Al-Qur’an melarang kita menjalani hidup boros, berfoya-foya, dan mubazir.
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 27).
Perintah al-quran tersebut juga diperkuat oleh banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang berlebih-lebihan. Baik ayat maupun hadits, sudah selayaknya menjadi pedoman bagi muslim dalam memenuhi kebutuhannya. Sekaligus menjadi alat mengendalikan keingnan dalam berbelanja.
Perencanaan Gaji dalam Perspektif Konvensional
Dalam perspektif konvensional, banyak teori yang bisa kita jadikan rujukan. Salah satu yang paling terkenal adalah metode 50/30/20 yang dikenalkan oleh Elizabeth Warren. Wanita yang masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh versi Majalah Time.
Metode ini mengajarkan kita untuk membagi gaji menjadi tiga kelompok: 50 persen untuk kebutuhan pokok, 30 persen untuk keinginan pribadi, dan 20 persen untuk tabungan.
Kebutuhan pokok mencakup bahan makanan, alat mandi, listrik, pulsa, obat-obatan, transportasi, asuransi, dan kebutuhan dasar lainnya. Sedangkan keinginan merujuk pada hal-hal yang bersifat self-reward. Seperti langganan streaming, jalan-jalan, staycation, atau belanja.
Terakhir, kita harus menyisihkan 20 persen gaji untuk tabungan dan investasi. Pengeluaran ini penting agar kita siap menghadapi masa depan. Tabungan bisa kita manfaatkan sebagai dana darurat atau cadangan saat kita menghadapi situasi tak terduga. Seperti pemutusan hubungan kerja, usaha yang bangkrut, atau kebutuhan mendesak lainnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
