SURAU.CO – Polarisasi politik yang semakin menguat selama satu dekade terakhir menciptakan kekhawatiran besar terhadap kehidupan demokrasi dan toleransi di Indonesia. Masyarakat makin terbelah ke dalam dua kutub ekstrem yang sering menyeret sentimen identitas, agama, dan budaya ke ranah politik. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa masyarakat akan kehilangan masa depan toleransi sosial, kekuatan utama bangsa selama ini.
Polarisasi yang Mengakar Sejak Pilpres 2014
Sejumlah pengamat melihat Pilpres 2014 sebagai titik awal menguatnya polarisasi politik berbasis identitas. Kompetisi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat itu mendorong munculnya gelombang dukungan masif dari masyarakat. Mereka tidak hanya memilih berdasarkan rasionalitas kebijakan, tetapi juga karena fanatisme dan keterikatan kelompok.
“Pilihan politik tidak lagi menjadi soal preferensi kebijakan, tetapi berubah menjadi persoalan ‘kami’ versus ‘mereka’,” kata Dodi Ambardi, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, saat berdiskusi di Jakarta.
Gejala yang sama terus berulang pada Pilpres 2019 dan menyebar ke pemilu daerah serta pemilihan legislatif. Warganet memperparah keadaan melalui media sosial dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda yang memperkuat segregasi sosial.
Dampak Polarisasi terhadap Toleransi Sosial
Polarisasi tidak hanya memengaruhi hubungan antarpendukung politik. Fenomena ini juga memperkeruh relasi antarumat beragama dan antar komunitas sosial. Setara Institute mencatat peningkatan kasus intoleransi akibat sentimen politik selama masa kampanye tahun 2023.
Dalam beberapa kasus, warga menolak pembangunan rumah ibadah karena mengaitkan isu tersebut dengan latar belakang politik pemimpin daerah. Di wilayah lain, masyarakat memberikan stigma kepada kelompok minoritas yang mereka anggap mendukung kubu politik tertentu.
“Kita menghadapi kondisi di mana perbedaan politik digunakan untuk membenarkan tindakan meminggirkan kelompok lain,” ujar Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute.
Peran Media dan Tokoh Publik
Media massa dan tokoh publik memegang peran penting dalam memperkuat atau meredam polarisasi. Namun, sebagian tokoh politik dan elite justru memanfaatkan perbedaan untuk meraih dukungan, terutama dengan memainkan isu SARA.
Sebaliknya, sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan terus berupaya mendorong moderasi dan membangun dialog antar kelompok. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, secara konsisten menyerukan pentingnya menjaga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) di tengah perbedaan politik.
Menatap 2029: Mampukah Indonesia Lebih Dewasa?
Berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo dan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden pada 2024 membuka peluang bagi Indonesia untuk memulai babak baru. Banyak kalangan berharap pemimpin baru mampu meredam polarisasi dengan melakukan rekonsiliasi politik yang tulus dan inklusif.
Namun, harapan itu membutuhkan komitmen dari semua pihak. Pemerintah, partai politik, lembaga pendidikan, dan media perlu bekerja sama mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi, menghargai perbedaan pandangan, dan mengekspresikan pendapat tanpa kebencian.
“Demokrasi tidak bisa berjalan sehat jika masyarakat terus-menerus terpecah,” ujar Yenny Wahid, aktivis pluralisme, saat berbicara dalam seminar kebangsaan di Surabaya. Ia menekankan pentingnya membangun narasi kebangsaan yang mengutamakan persatuan dalam keberagaman.
Toleransi Perlu Dirawat, Bukan Dibiarkan
Bangsa ini harus merawat toleransi setiap hari karena toleransi bukan warisan yang otomatis bertahan. Jika masyarakat membiarkan polarisasi merusak hubungan antaragama, antarsuku, dan antar kelas sosial, maka keberagaman bangsa akan menjadi taruhannya.
Wahid Foundation mencatat peningkatan kerentanan anak muda terhadap narasi intoleran. Temuan ini mempertegas perlunya pendidikan karakter dan literasi digital yang kuat. Sekolah harus menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk tumbuh sebagai generasi yang kritis dan terbuka.
“Jangan biarkan politik mematikan akal sehat dan hati nurani,” tulis Yenny Wahid dalam salah satu kolomnya di media nasional.
Menuju Demokrasi yang Dewasa dan Inklusif
Polarisasi bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti Amerika Serikat, India, dan beberapa negara Eropa juga mengalaminya. Namun, Indonesia memiliki tantangan tersendiri karena kemajemukannya yang tinggi dan sejarah panjang konflik identitas.
Indonesia membutuhkan demokrasi yang lebih inklusif. Politik harus menjadi alat perjuangan kesejahteraan, bukan alat yang memecah belah rakyat. Semua pihak—pemerintah, partai politik, media, pendidik, hingga masyarakat sipil—harus berperan. Masyarakat perlu memperbanyak ruang dialog antar kelompok dan lebih sering mendengar daripada menghujat.
Polarisasi politik mencerminkan bahwa demokrasi Indonesia masih dalam proses pendewasaan. Namun, keadaan ini juga memberikan peluang untuk tumbuh dan belajar. Selama bangsa ini masih mau berdialog dan menganggap perbedaan sebagai kekayaan, maka harapan menjaga toleransi akan tetap hidup.
Indonesia harus tetap menjadi bangsa yang kuat karena keberagamannya. Di atas semua perbedaan politik, agama, dan suku, kita tetap satu: Indonesia. (Heni)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
