Surao.co – Quiet quitting tengah menjadi pembicaraan masyarakat dunia. Quiet quitting menggambarkan sikap kerja secukupnya. Pekerja hanya menjalankan tugas sesuai deskripsi kerja, tanpa mengambil pekerjaan tambahan di luar tanggung jawab mereka.
Kelompok ini sejatinya tidak berniat resign atau keluar dari pekerjaannya. Namun, mereka memilih prinsip kerja yang hanya menggugurkan kewajiban. Tanpa ambisi naik jabatan ataupun mengejar target lain dalam karir. Sebuah paradigma yang beberbeda dengan beberapa dekade lalu. Kala orang bersaing mencari posisi. Bahkan dengan cara kotor. Saling jegal dan menjatuhkan pesaingnya.
Harus diakui, gejala quiet quitting, bisa ditemukan di sekitar kita. Termasuk yang saya rasakan langsung di lingkungan pertemanan.
Jadi Fenomena Global
Fenomena ini tidak mencerminkan etos kerja suatu bangsa secara langsung. Sebab, gejalanya muncul bukan hanya di Indonesia atau negara tertentu, tapi juga menjadi isu global.
Survei Gallup pada tahun 2022 mencatat bahwa 50 persen tenaga kerja di Amerika Serikat tergolong sebagai quiet quitters. Di Eropa, tren serupa juga mencuat, terutama setelah pandemi COVID-19 membuka kesadaran baru akan pentingnya keseimbangan antara hidup dan pekerjaan.
Generasi Z—kelompok orang yang lahir sekitar tahun 1997 hingga awal 2010-an—menjadi kelompok yang paling sering dikaitkan dengan fenomena ini. Mereka tumbuh di tengah perubahan sosial, digitalisasi, dan berbagai krisis global. Mulai dari krisis iklim hingga ketidakpastian ekonomi.
Quiet Quitting sebagai Perlawanan Pasif
Perilaku ini bukan cerminan sikap malas. Sebaliknya, perilaku ini merepresentasikan bentuk perlawanan pasif terhadap budaya kerja berlebihan yang telah lama dinormalisasi. Padahal, budaya tersebut sering kali menghasilkan output yang biasa saja, bahkan tidak sepadan dengan pengorbanan.
Dalam bukunya Weapons of the Weak, James C. Scott menjelaskan konsep perlawanan diam (silent resistance). Ia mengamati bagaimana para petani miskin di Malaysia melawan ketimpangan sosial dan kekuasaan tuan tanah. Perlawanan mereka tanpa menggunakan kekerasan atau konfrontasi langsung.
Scott menyatakan bahwa banyak kelompok yang tidak punya kekuatan atau akses lebih memilih perlawanan tersembunyi. Dibanding melawan secara terbuka.
Para petani melawan dengan memperlambat kerja dan hanya menggugurkan kewajiban. Mematuhi perintah pun sebatas secara harfiah, bukan secara semangat.
Meskipun Scott meneliti petani, konsep ini relevan dengan fenomena quiet quitting. Pekerja modern yang tak berdaya dalam struktur kerja eksploitatif juga memilih tidak melawan atasan secara langsung.
Quiet Quitting dalam Perspektif Islam
Islam memandang sikap ini dari berbagai sisi. Tergantung pada niat, konteks, dan dampaknya. Islam menekankan pentingnya kerja keras, tanggung jawab, dan profesionalisme. Al-Qur’an dan hadis mengajarkan agar umat Islam bekerja dengan amanah (dapat dipercaya), ihsan (berkualitas), dan itqan (tepat dan sempurna).
Namun, Islam juga menjunjung tinggi keadilan. Jika pekerja merasa terzalimi, dieksploitasi, atau tidak dihargai, maka membatasi kerja sesuai kontrak sah-sah saja. Islam dapat memandang sikap tersebut sebagai bentuk pembelaan terhadap harga diri dan hak-hak manusia.
Sebaliknya, jika seseorang melakukan quiet quitting hanya karena malas, tanpa alasan syar’i, maka tindakan itu tergolong tadlil al-amanah. Yakni pengkhianatan terhadap amanah.
Perusahaan Perlu Cari Titik Temu
Jika seseorang melakukan quiet quitting dengan kesadaran dan bukan karena kemalasan, maka hal itu dapat dipahami sebagai bentuk pengaturan batas yang proporsional. Sikap itu sekaligus menjadi sinyal agar perusahaan memperbaiki manajemen dan menciptakan lingkungan kerja yang suportif.
Namun jika perusahaan terus mengabaikan fenomena ini tanpa adanya dialog dua arah, quiet quitting bisa berubah menjadi masalah besar. Fenomena ini berpotensi menurunkan produktivitas, merusak motivasi, serta membahayakan budaya kerja dan ekosistem perusahaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
