Judul “Rethinking Amr dan The Existence of Being” berupaya meninjau ulang makna dari kata-kata dalam Al-Qur’an, sekaligus menelusuri implikasi ontologisnya. Sebagai seorang Muslim yang kesalehannya jauh dari sempurna, justru kegelisahan semacam inilah yang sering kali memenuhi benak saya.
Masalah Filsafat tentang Mengapa Ada Sesuatu
Sepanjang sejarah pemikiran manusia, satu pertanyaan mendasar terus-menerus membayang-bayangi para filsuf, teolog, dan ilmuwan: mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali? Persoalan ini, meskipun tampak sederhana dalam susunan kata, mengandung kedalaman yang menakjubkan. Ia menjadi semacam benang merah metafisika sejak paradoks Parmenides di Yunani kuno, perenungan Plato dalam Timaeus, hingga eksistensialisme Heidegger di abad ke-20 yang menyoroti persoalan Sein (being).
Dalam horizon pemikiran kontemporer, keheranan ini bahkan muncul di antara kosmolog dan fisikawan. Stephen Hawking, mengatakannya dalam ilustrasi ini:
“Even if there is only one possible unified theory, it is just a set of rules and equations. What is it that breathes fire into the equations and makes a universe for them to describe?” (A Brief History of Time, 2005)
Pertanyaan ini bukan hanya masalah retoris atau permainan spekulasi filsafat. Bagi saya—seorang Muslim yang jauh dari kesalehan sempurna—justru pertanyaan tentang mengapa ada sesuatu ini menjadi jalan yang paling tulus untuk mendekati Tuhan. Jika segala yang ada memiliki asal-usul, maka memikirkan eksistensi menuntun kita ke pertanyaan terdalam: siapa atau apa yang menopang keseluruhan realitas agar tetap tidak terjerumus ke dalam ketiadaan?
Konsep Al-Qur’an tentang Ruh dan Amr
Di dalam Al-Qur’an, terdapat ungkapan yang memuat isyarat metafisika luar biasa, yakni dalam Surah Al-Isra’ (17:85):
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku (min amri Rabbi), dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Konteks historis ayat ini biasanya dirujuk pada upaya kaum Yahudi Madinah menguji Nabi Muhammad ﷺ dengan pertanyaan tentang hakikat ruh. Sebagian besar mufasir klasik seperti Al-Qurṭubi menafsirkan kata amr di sini sebagai “urusan”, menegaskan bahwa ruh adalah domain gaib yang hanya menjadi rahasia Allah dan melampaui jangkauan akal manusia. Penafsiran ini mengandung pesan untuk menempatkan manusia pada posisi epistemik yang rendah hati.
Namun tafsir yang lebih kontemporer, misalnya oleh Ousama Iyad Al-Shurafa dalam bukunya The Afterlife Manual (2023), membuka horizon makna lain. Ia menunjukkan bahwa amr bukan sekadar berarti “urusan”, tetapi juga dapat berarti sebagai “perintah” atau “command”. Dengan demikian, ruh bukan hanya entitas samar yang menjadi rahasia Tuhan, melainkan juga manifestasi dari amr—yakni perintah eksistensial Allah yang aktif dan kreatif.
Penafsiran ini membuat ayat tersebut tidak hanya menjadi pernyataan tentang batas akal manusia, tetapi juga penegasan prinsip ontologis. Jika ruh adalah perintah Tuhan, maka ia bisa berarti juga sebagai prinsip yang menghadirkan sesuatu dari potensi menuju aktualitas, yang memisahkan ada dari tiada. Dari sini, terbuka ruang dialog antara tafsir Qur’ani dan kerangka filsafat metafisika.
Gradasi Eksistensi dalam Filsafat Islam
Penjelasan tentang ruh sebagai amr yang memberi eksistensi menemukan fondasi filsafat yang kukuh dalam pemikiran Ṣadr al-Dīn Shīrāzī (Mulla Sadra), seorang filsuf Iran abad ke-17 dengan doktrinnya tentang tashkik al-wujud (gradasi eksistensi). Berbeda dengan skema Avicenna (Ibn Sina) yang lebih menekankan esensi (māhiyyah), Mulla Sadra, terlepas dari perdebatan keimanannya, justru merumuskan ashalah al-wujud (primasi wujud/ the primacy of existence), yaitu bahwa yang paling dasar dan nyata adalah eksistensi itu sendiri, sedangkan esensi hanyalah penentuan konseptual yang muncul belakangan.
Dalam filsafat Sadra, seluruh alam semesta terdiri dari tingkatan eksistensi yang berbeda-beda intensitasnya—mulai dari bentuk paling lemah pada benda mati hingga puncak wujud absolut yang hanya milik Allah sebagai al-Wajib al-Wujud. Di sinilah konsep amr sebagai ruh bekerja: perintah eksistensial Allah tidak menghasilkan eksistensi dalam kualitas tunggal, tetapi terpancar dalam spektrum gradasional sesuai kapasitas masing-masing makhluk.
Dengan konsep demikian, penjelasan Qur’ani tentang ruh min amri Rabbi dapat berarti sebagai ungkapan bahwa ruh adalah prinsip ontologis yang menata distribusi wujud. Ruh bukan hanya napas biologis manusia, tetapi juga daya aktif Tuhan yang menghidupkan tingkatan realitas sesuai kadar dan kesiapan ontologisnya.
Konvergensi Al-Qur’an dan Pendekatan Teologis
Menariknya, gagasan serupa juga berkembang dalam tradisi filsafat Kristen, khususnya melalui pemikiran Thomas Aquinas. Dalam Summa Theologiae, Aquinas dengan cermat membedakan antara essentia (hakikat sesuatu) dan esse (kenyataan bahwa sesuatu itu ada). Esensi mendeskripsikan apa sesuatu itu, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan mengapa ia sungguh eksis. Untuk berpindah dari potensi ke aktualitas, diperlukan actus essendi—yakni tindakan keberadaan sebagai karunia oleh Tuhan.
Aquinas menegaskan bahwa hanya pada Tuhan lah esensi identik sepenuhnya dengan eksistensi-Nya. Segala ciptaan, sebaliknya, memiliki jarak antara hakikat dan eksistensinya, sehingga perlu memiliki medium penghubung. Inilah yang memastikan segala makhluk bersifat kontingen dan terus-menerus bergantung.
Menimbang konsep amr ini secara lebih luas, maka ini mirip dengan actus essendi dalam Thomisme. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa eksistensi tidak inheren pada esensi makhluk, melainkan merupakan anugerah atau perintah yang terus-menerus diperbaharui. Maka ketika Al-Qur’an berkata bahwa ruh itu “termasuk perintah Tuhan-ku”, ini dapat bermakna sebagai penyataan bahwa keberadaan makhluk berasal dan terpelihara oleh tindakan kehendak Tuhan yang aktif.
Keteraturan Ilmiah dan Masalah Nomic Necessity
Walaupun sains modern secara metodologis menghindari klaim metafisika, tetap saja para ilmuwan besar kerap menunjukkan rasa takjub terhadap keberadaan hukum alam yang stabil dan rasional. Richard Feynman misalnya, pernah berkata dengan nada heran:
“Fakta bahwa ada aturan sama sekali sudah merupakan semacam mukjizat.”
Komentar Feynman ini menyingkap keheranan laten dalam fisika: mengapa partikel, energi, dan ruang-waktu patuh pada pola tertentu yang terumuskan lewat matematika? Dalam filsafat sains, problem ini muncul sebagai masalah nomic necessity, yakni persoalan mengapa hukum-hukum alam tidak sekadar kebiasaan empiris, tetapi tampak memaksa entitas fisik untuk berperilaku sesuai pola yang seragam di seluruh jagat raya. Apa yang memaksa elektron untuk selalu mematuhi distribusi probabilistik orbitalnya? Mengapa foton senantiasa melaju pada 299.792.458 meter per detik dalam vakum, tanpa pernah sedikit pun melanggar?
Roger Penrose dalam The Road to Reality (2004) juga mengungkapkan misteri serupa. Ia menyatakan:
“Adalah misterius bahwa semesta dapat dipahami melalui matematika. Seolah-olah ada dunia Platonik matematika yang entah bagaimana dipatuhi dunia fisik.”
Dalam kerangka Qur’ani, keteraturan ini menemukan penjelasan ontologis: hukum-hukum alam bukan sekadar data statistik, melainkan manifestasi dari amr Allah. Al-Qur’an menegaskan dalam Al-Furqan (25:2):
“Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menetapkan baginya ukuran-ukurannya.”
Serta ditegaskan lagi dalam Al-Hijr (15:21):
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.”
Dengan memaknai ruh sebagai amr, hukum-hukum alam dapat dipandang sebagai bentuk ruh kosmik—perintah eksistensial Allah yang membuat semua ciptaan patuh pada takaran tertentu. Hukum gravitasi, elektromagnetik, hingga mekanika kuantum bukan sekadar fenomena fisik, tetapi tanda dari kehendak yang menegakkan keberadaan.
Apakah Segala Sesuatu Memiliki Ruh?
Dari rangkaian refleksi ini, timbul pertanyaan paling berani: jika ruh adalah perintah Allah yang memungkinkan eksistensi, apakah berarti segala sesuatu—batu, pohon, elektron—memiliki ruh dalam pengertian metafisik?
Secara sederhana, banyak yang mengartikan bahwa ruh adalah nyawa. Kehadirannya sebatas sesuatu membuat manusia atau hewan menjadi hidup. Namun Al-Qur’an membuka kemungkinan kosmologis yang lebih luas. Dalam Surah Al-Isra’ (17:44), Allah SWT berfirman:
“… Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”
Sebagian mufasir menafsirkan tasbih ini sebagai dzikir harfiah, tetapi dalam kerangka wujud, ayat ini bersifat ontologis. Segala sesuatu, dengan bertahan sesuai sunnatullah, sedang memanifestasikan kepatuhan pada amr Allah. Dengan kata lain, eksistensi itu sendiri adalah ibadah ontologis. Dari perspektif ini, memiliki ruh tidak hanya berarti mempunyai kesadaran atau nyawa biologis. Akan tetapi, kehadirannya berarti mengandung prinsip keberadaan. Konsep ini mendekatkan kita pada gagasan bahwa setiap makhluk memikul ruh-nya masing-masing.
Penutup
Pada akhirnya, telaah ini tidak dimaksudkan untuk menutup misteri besar mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali. Justru sebaliknya, tulisan ini mengajak untuk menempatkan misteri itu dalam narasi teologis yang memperkaya makna. Barangkali, eksistensi dan keteraturan bukan sekadar teka-teki acak, melainkan bagian dari kebesaran Allah SWT untuk kita renungkan.
Tulisan ini mengarahkan rasa ingin tahu kepada kerendahan hati intelektual, bahkan menjadikannya bentuk penghambaan kepada Allah SWT secara kaffah. Ketidaktahuan bukan sekadar kekurangan, melainkan jalan yang menuntun ruh manusia untuk terus mencari, merenungi, dan pada akhirnya berserah.
Dalam perspektif ini, kebodohan kita tentang rahasia eksistensi bukanlah tragedi epistemik, melainkan panggilan untuk tafakur. Ia mengizinkan ruh kita untuk mengakui sepenuh hati bahwa segala eksistensi hanya tegak karena perintah Allah yang terus bekerja. Inilah cara kita, sebagai makhluk yang fana, berpartisipasi dalam tasbih semesta.
Note: Konten ini merupakan ekspresi pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Surau.co.
Oleh: Muhammad Gufron Rum (Peneliti di Yayasan Nusantara Foundation dan Kontributor Surau.co)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
