Mode & Gaya
Beranda » Berita » Siapa Sebenarnya yang Diabaikan? Dekonstruksi Narasi Saudari Tiri Cinderella

Siapa Sebenarnya yang Diabaikan? Dekonstruksi Narasi Saudari Tiri Cinderella

Salah satu adegan di film The Ugly Stepsister (2025)

The Ugly Stepsister: Penjahat atau Produk Sistem?

Kita semua tumbuh dengan dongeng. Cerita seperti Cinderella sering kali kita anggap polos, indah, dan penuh pesan moral. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, dongeng-dongeng ini membentuk cara kita melihat dunia—termasuk bagaimana kita menilai orang lain berdasarkan wajah, status, atau peran sosial mereka.

Salah satu tokoh paling ikonik dan sekaligus paling disalahpahami dalam dunia dongeng adalah The Ugly Stepsister—si saudari tiri yang selalu digambarkan buruk rupa, jahat, dan iri hati. Tapi, benarkah dia jahat karena memang “berkarakter jahat”? Atau karena kita selama ini hanya mendengar cerita dari satu sudut pandang?

Dengan pendekatan psikologi sosial, feminisme, dan narasi alternatif, kita bisa melihat bahwa si “saudari tiri yang jelek” menyimpan pelajaran yang jauh lebih kompleks daripada sekadar antagonis yang iri dengan Cinderella.

 

Standar Kecantikan dan Efek Halo vs Horn

Dalam cerita klasik, penulis menggambarkan Cinderella sebagai sosok yang cantik luar-dalam. Sebaliknya, mereka menyematkan citra tidak menarik pada saudari tirinya—baik dari segi fisik maupun perilaku. Narasi ini mencerminkan fenomena halo effect dan horn effect dalam psikologi sosial: masyarakat kerap menilai karakter seseorang hanya dari penampilan luar.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ketika seseorang terlihat menarik, orang lain cenderung langsung menganggapnya baik hati, pintar, atau bisa dipercaya. Sebaliknya, jika penampilannya tak sesuai standar kecantikan umum, banyak orang langsung menilainya sebagai sosok kasar, jahat, atau tak layak dicintai. Narasi tentang The Ugly Stepsister memperkuat sistem persepsi keliru ini. Bahkan di era modern, masyarakat masih sering menerapkan pola pikir serupa di dunia kerja, relasi asmara, hingga media sosial.

Internalized Misogyny: Perempuan yang Salip Perempuan

Narasi saudari tiri tidak hanya menyorot penampilan mereka. Cerita juga menggambarkan mereka sebagai perempuan yang iri, kompetitif, dan rela menjatuhkan satu sama lain demi mengalahkan Cinderella. Namun, kita perlu bertanya: kenapa mereka bersikap seperti itu?

Mereka tumbuh di lingkungan yang mengajarkan bahwa nilai perempuan bergantung pada apakah mereka berhasil memikat laki-laki kaya dan berkuasa—bukan pada potensi, intelektualitas, atau kebaikan diri. Akibatnya, mereka menyerap dan mereproduksi nilai-nilai patriarki, meski tanpa sadar.

Inilah bentuk internalized misogyny. Perempuan tidak bersaing karena jahat, melainkan karena sistem membuat mereka percaya bahwa hidup hanya menyediakan satu kursi untuk duduk di singgasana. Jadi, mereka merasa harus saling sikut agar bisa mendapatkannya terlebih dahulu.

 

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dari Tokoh Jahat ke Tokoh Manusiawi

Beberapa adaptasi modern sudah mulai mengangkat sisi lain The Ugly Stepsister. Novel Confessions of an The Ugly Stepsister karya Gregory Maguire, misalnya, menggambarkan tokoh ini secara lebih manusiawi. Dia bukan jahat, tapi terperangkap dalam kelas sosial rendah, tekanan ekonomi, dan beban keluarga.

Ini sejalan dengan pendekatan narrative therapy: bahwa setiap orang punya cerita sendiri, dan kadang yang disebut “penjahat” hanyalah orang yang belum diberi kesempatan untuk didengar.

 

Apa yang Kita Bisa Pelajari dari The Ugly Stepsister

Tokoh ini bisa kita anggap sebagai cermin. Ia mencerminkan sistem yang terlalu cepat menilai, terlalu keras terhadap perempuan, dan terlalu menyederhanakan moralitas.

Dalam dunia yang masih penuh dengan body shaming, judgment cepat, dan kompetisi antarperempuan, mungkin sudah waktunya kita menulis ulang dongeng ini. Bukan untuk membenarkan perilaku buruk, tapi untuk memahami dari mana ia berasal.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

 

Kesimpulan

The Ugly Stepsister bukan hanya karakter fiksi dari masa kanak-kanak. Ia adalah simbol yang terus hidup dalam realitas sosial kita hari ini. Kita masih hidup dalam masyarakat yang cepat sekali menilai—yang sering kali mengaitkan kebaikan hati dengan kecantikan fisik, dan menganggap perempuan yang ambisius atau berbeda sebagai ancaman.

Saat kita membongkar narasi tentang saudari tiri yang “jahat dan tak menarik”, kita sekaligus menyoroti cara cerita membentuk keyakinan sosial. Proses ini mendorong kita untuk bertanya: siapa yang menciptakan narasi ini? Mengapa penulis memilih untuk mengabaikan suara dari tokoh-tokoh yang tersisih?

Ketika kita memahami The Ugly Stepsister secara lebih manusiawi, kita tidak hanya mengembalikan martabatnya sebagai karakter fiksi. Kita juga membuka ruang refleksi bagi banyak orang di dunia nyata yang mengalami nasib serupa—mereka yang kerap tersisih, dicap buruk, atau ditertawakan hanya karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Dengan menggali ulang cerita-cerita lama, kita tidak sekadar mengulang masa lalu. Kita justru memakai cerita itu sebagai jendela untuk membayangkan masa depan yang lebih adil—dunia tempat setiap tokoh, setiap suara, dan setiap pengalaman mendapat ruang untuk diceritakan ulang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement