Distribusi Tidak Adil dalam Dunia Bertingkat
Film The Platform (El Hoyo) karya Galder Gaztelu-Urrutia menggambarkan dunia distopia yang sederhana secara desain namun kompleks secara moral. Ceritanya berpusat di sebuah penjara vertikal tempat makanan turun melalui platform dari lantai atas ke bawah. Orang-orang di lantai atas bisa memilih dan mengambil sesuka hati, sementara mereka di bawah hanya menerima sisa atau bahkan tidak sama sekali. Mereka yang berada di lantai terbawah sering kali bertahan hidup dengan cara ekstrem.
Film ini menjadi alegori brutal tentang distribusi sumber daya dalam masyarakat modern—sebuah kritik sosial terhadap sistem ekonomi yang tidak mengatur konsumsi secara adil dan membiarkan kelangkaan menjadi instrumen kekuasaan.
Ketika Psikologi Kelangkaan Mengalahkan Solidaritas
The Platform secara tajam menggambarkan bagaimana kelangkaan memengaruhi perilaku manusia. Dalam kondisi di mana makanan hanya cukup jika dibagi adil, sistem justru membiarkan orang mengambil sebanyak mungkin. Hasilnya, mereka yang berada di atas merasa berhak atas kemewahan, sedangkan yang di bawah merasa marah, cemas, atau putus asa.
Film ini mencerminkan psikologi kelangkaan—fenomena ketika otak manusia mengalami tekanan kognitif dan emosional karena merasa kekurangan. Kelangkaan mengubah fokus kita secara drastis: alih-alih berpikir jangka panjang atau mempertimbangkan orang lain, kita cenderung mengambil keputusan sempit yang hanya menyelamatkan diri.
Salah satu karakter utama, Goreng, mulai dari idealis hingga harus menghadapi kekerasan, pengkhianatan, dan realitas brutal sistem yang mematikan. Ia mencoba menciptakan solidaritas vertikal—menawarkan pembagian makanan berdasarkan rasionalitas—namun nyaris selalu gagal karena keputusasaan orang-orang yang sudah terlalu lama hidup dalam kekurangan.
Konsumsi Tak Terkendali dan Kritik terhadap Sistem
The Platform tak hanya menyindir ketimpangan, tetapi juga menyoroti konsumsi tak terkendali. Mereka yang berada di atas tidak memikirkan dampaknya terhadap yang di bawah. Sistem ini memperkuat survivalisme dan individualisme ekstrem, bahkan di tengah kemungkinan untuk menyelamatkan semua orang jika ada kerja sama.
Dalam dunia nyata, sistem ekonomi yang menempatkan konsumsi individu sebagai ukuran sukses justru memperparah krisis kesejahteraan kolektif. Orang berlomba mengejar keuntungan, bukan berbagi. Film ini mengajak kita merenungkan: apakah kita butuh lebih banyak, atau hanya sistem yang adil untuk membagi yang sudah ada?
Wellbeing Economy: Visi Alternatif yang Relevan
Dalam konteks wellbeing economy, film ini menjadi refleksi penting. Sistem ekonomi seharusnya menjadikan kesejahteraan semua warga sebagai tujuan utama, bukan sekadar pertumbuhan. Namun The Platform menunjukkan bahwa tanpa prinsip etika dan solidaritas, sistem apa pun dapat berubah menjadi penjara kolektif—tempat kelimpahan tetap menciptakan kelangkaan karena distribusi yang timpang.
Platform dalam film bukan hanya alat transportasi makanan, melainkan metafora bagi sistem yang membiarkan kekuasaan mengatur akses terhadap kebutuhan dasar. Makanan menjadi simbol kesejahteraan yang dikomodifikasi—terbatas, dieksploitasi, dan tidak pernah cukup.
Dari Survivalisme Menuju Kemanusiaan
Di akhir cerita, harapan muncul lewat tindakan pengorbanan dan empati. Goreng dan Baharat mencoba menghentikan rantai konsumsi tak terkendali dengan mengirimkan simbol perlawanan ke atas: panna cotta, hidangan yang sengaja tidak disentuh. Tindakan itu menjadi pesan—bahwa manusia masih bisa memilih untuk tidak tunduk pada sistem.
Film ini mempertanyakan, dalam dunia yang kelimpahan dan kekurangannya sama-sama dibuat oleh sistem: akankah kita tetap bertarung satu sama lain, atau mulai membangun struktur baru berbasis keadilan dan kesejahteraan bersama?
Kesimpulan: Refleksi Kuat atas Dunia yang Tak Seimbang
The Platform menghadirkan kisah menyesakkan namun penting. Ia mengajak kita berpikir ulang tentang konsumsi, kelangkaan, dan solidaritas. Dalam dunia yang nyata, distribusi sumber daya tidak hanya soal ekonomi, tapi juga soal nilai-nilai moral. Kita tak bisa bicara wellbeing tanpa membicarakan sistem yang memungkinkan kelangkaan terus menciptakan penderitaan—bahkan di tengah kelimpahan yang tampak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
