Antara Hidangan Eksklusif dan Kekosongan Eksistensial
Film The Menu (2022) menampilkan lebih dari sekadar horor psikologis. Sutradara dan penulis skenario menyisipkan kritik tajam terhadap gaya hidup kelas atas yang mengejar “pengalaman” sebagai barang mewah. Mereka menunjukkan bahwa kelompok elite membeli pengalaman, bukan karena butuh, tapi karena ingin memamerkan status. Lewat plating yang artistik dan suasana makan malam yang mewah, film ini membongkar absurditas kapitalisme budaya yang mengorbankan rasa autentik demi prestise.
Konsumsi Sebagai Simbol Status: Saat Makan Kehilangan Rasa
Chef Slowik, tokoh utama sekaligus mastermind dalam film, mengundang tamu-tamu elit ke restoran eksklusifnya di sebuah pulau. Mereka datang bukan untuk merasakan makanan, tapi untuk menambah pengalaman hidup yang bisa mereka pamerkan. Mereka lebih cepat memotret hidangan daripada mencicipinya.
Para tamu sibuk membahas asal-usul bahan, teknik gastronomi molekuler, dan filosofi di balik tiap piring, namun mereka gagal merasakan hubungan emosional dengan makanan itu sendiri. Film ini mengkritik bagaimana kelas atas menjadikan rasa sebagai komoditas budaya—bukan sebagai pengalaman manusiawi.
The Menu Menantang Wellbeing Economy Palsu
Di tengah wacana global tentang wellbeing economy, The Menu menyodorkan kenyataan pahit. Film ini menunjukkan bahwa banyak pendekatan kesejahteraan justru tetap bersandar pada gaya hidup konsumtif. Para tamu menggunakan kata-kata seperti “organik,” “lokal,” atau “sensorik” untuk melegitimasi gaya hidup mereka. Namun, mereka tetap memperlakukan semua itu sebagai komoditas.
Chef Slowik menyadari betul ironi ini. Ia menyajikan pengalaman makan malam yang seharusnya membangun koneksi sosial, tapi justru berubah menjadi panggung teater dominasi kelas. Di tangan elite, makanan berubah fungsi—bukan untuk memenuhi rasa lapar, melainkan untuk menandai status.
Artifikasi Kehidupan dan Krisis Makna
Film ini juga mengungkap obsesi masyarakat modern terhadap estetika dan validasi sosial. Salah satu karakter, seorang kritikus makanan, begitu terobsesi menilai tekstur dan teknik sampai lupa bahwa dirinya sedang masuk ke dalam permainan berbahaya sang chef.
Chef Slowik menggambarkan seorang seniman yang kecewa. Ia muak melihat orang-orang yang datang hanya untuk tampil eksklusif, bukan untuk menikmati apa yang ia ciptakan dengan sepenuh hati. Dalam klimaks film, ia hanya menemukan kejujuran dari seorang tamu biasa yang meminta burger sederhana. Bukan menu eksperimental, tapi makanan yang mengenyangkan dan mengingatkan pada rumah.
Burger itu menjadi simbol. Chef Slowik menunjukkan bahwa rasa autentik berasal dari kesederhanaan—bukan dari kemewahan buatan.
The Menu Menggugat Konsumsi Elite
Lewat The Menu, pembuat film menyindir bahwa konsumsi kelas atas telah melampaui batas kewajaran. Para tokohnya membeli absurditas dan menamainya “pengalaman.” Mereka membayar mahal untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dinikmati tanpa kemasan berlebihan—seperti burger biasa.
Film ini mengajak kita bertanya: apakah kesejahteraan mental dan emosional benar-benar datang dari pengalaman mewah? Ataukah kita hanya mengejar validasi sosial dengan mengorbankan hal-hal dasar yang sebenarnya lebih bermakna?
Rasa Autentik Tak Dijual di Menu
The Menu tak hanya mengejek para tamu kaya, tapi juga menyentil sistem ekonomi dan budaya yang mendorong cara konsumsi seperti itu. Film ini mengingatkan bahwa dalam dunia yang terobsesi dengan penampilan dan kurasi, kita sering kehilangan rasa yang paling penting: rasa cukup, rasa manusiawi, dan rasa terhubung.
Dalam kapitalisme budaya, kadang pembebasan justru datang dari hal-hal sederhana—yang tidak tersedia di restoran mahal mana pun.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
