Penulis Artikel : Hendri Hasyim
SURAU.CO-Presiden Iran, Ebrahim Raisi, dinyatakan tewas dalam kecelakaan helikopter pada Mei 2024 saat melakukan kunjungan kerja ke wilayah perbatasan Iran–Azerbaijan. Helikopter yang ditumpanginya jatuh di daerah pegunungan karena cuaca buruk dan visibilitas rendah. Tragedi ini mengejutkan dunia, mengingat Raisi dikenal sebagai sosok ulama konservatif yang memegang peran penting dalam stabilitas politik Iran dan kawasan Timur Tengah. Pemerintah Iran menetapkan masa berkabung nasional, sementara publik mengenang kepemimpinannya yang tegas dan penuh ideologi.
Ebrahim Raisi menjadi salah satu tokoh paling mencolok di Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai Presiden Iran sejak 2021, Raisi memimpin negara yang kaya akan sejarah, sumber daya, dan peran geopolitik, tetapi juga penuh tantangan dan tekanan internasional. Sosoknya menggabungkan latar belakang keagamaan yang kuat dengan pengalaman panjang di dunia kehakiman dan politik.
Lahir di Mashhad pada 14 Desember 1960, Raisi tumbuh dalam keluarga ulama. Ia kehilangan ayah saat masih anak-anak, namun terus menempuh pendidikan agama dengan tekun. Ia belajar di Qom, kota suci Syiah, yang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan utama di Iran. Di sana, ia belajar kepada para ulama besar, termasuk Ayatollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran.
Karier Hukum dan Reputasi Konservatif
Sebelum menjadi presiden, Raisi dikenal luas sebagai tokoh konservatif yang lama berkecimpung dalam sistem peradilan Iran. Ia memulai karier hukumnya di usia muda, dan pada 1985 sudah menjabat sebagai jaksa di Teheran. Selama beberapa dekade, ia memegang berbagai posisi penting, termasuk Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.
Namun, nama Raisi menjadi kontroversial di mata dunia ketika disebut-sebut sebagai bagian dari “komisi kematian” pada 1988—sebuah kelompok yang terlibat dalam eksekusi massal terhadap tahanan politik pasca-perang Iran-Irak. Meskipun pemerintah Iran menolak tuduhan tersebut, banyak organisasi HAM internasional terus menyuarakan kritik terhadap rekam jejaknya.
Di Iran, Raisi dipandang sebagai sosok yang teguh, konsisten, dan berideologi kuat. Ia menjadi pilihan utama bagi kelompok konservatif yang ingin mempertahankan nilai-nilai Revolusi Islam 1979 di tengah tekanan liberalisasi dan perubahan sosial yang melanda kawasan.
Pencalonan dan Kemenangan sebagai Presiden
Setelah beberapa kali gagal dalam pemilihan sebelumnya, Raisi akhirnya terpilih menjadi Presiden Iran pada Juni 2021. Ia memenangkan pemilu dengan perolehan suara mayoritas, meskipun tingkat partisipasi pemilih tergolong rendah.
Kampanye Raisi berfokus pada isu-isu ekonomi, pemberantasan korupsi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Ia menjanjikan pemerintahan yang “adil dan bersih”, sejalan dengan citranya sebagai tokoh anti-korupsi selama bertahun-tahun di sektor kehakiman.
Meski terpilih dengan harapan besar, tantangan yang dihadapinya tidak mudah. Iran masih berjuang dengan sanksi ekonomi dari Amerika Serikat, inflasi tinggi, serta dampak pandemi COVID-19 yang memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Kebijakan dan Posisi Internasional
Dalam hubungan luar negeri, Raisi memilih jalur konfrontatif terhadap Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Ia mendukung kebijakan luar negeri yang mandiri dan berorientasi ke Timur, termasuk mempererat hubungan dengan China dan Rusia.
Meski begitu, Raisi juga menyatakan komitmen terhadap negosiasi nuklir, namun dengan syarat yang menguntungkan Iran. Ia menegaskan bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan, dan hak Iran untuk program nuklir damai adalah harga mati.
Di kawasan Timur Tengah, Raisi memperkuat aliansi dengan kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman. Ia juga menunjukkan sikap keras terhadap Israel dan terus menyerukan pembelaan terhadap Palestina.
Kritik dan Dukungan di Dalam Negeri
Di dalam negeri, Raisi mendapat dukungan kuat dari Garda Revolusi Iran dan para ulama senior. Namun, ia juga menghadapi kritik, terutama dari kelompok reformis dan masyarakat sipil. Penanganan terhadap demonstrasi, pemblokiran internet, serta pembatasan kebebasan berekspresi menjadi sorotan utama.
Krisis ekonomi yang belum membaik turut memperlemah popularitasnya. Namun, Raisi tetap berdiri sebagai simbol stabilitas bagi kelompok konservatif yang merasa terancam oleh pengaruh luar dan perubahan sosial di kalangan muda Iran.
Sosok Ulama yang Konsisten dan Tegas
Ebrahim Raisi bukan hanya politikus, tetapi juga ulama Syiah yang aktif dalam forum keagamaan. Ia sering berbicara dalam bahasa agama saat menyampaikan pidato kenegaraan. Gaya bicaranya tenang, namun penuh penekanan ideologi. Ia kerap mengutip ayat-ayat Alquran untuk menguatkan argumennya.
Citra ini memperkuat posisinya di mata konstituen yang menginginkan pemimpin religius, tidak hanya sekadar manajer teknokratik. Raisi menggambarkan sosok pemimpin Iran klasik—berideologi Islam, anti-Barat, dan berkomitmen menjaga nilai revolusi.
Antara Harapan dan Tantangan
Sebagai Presiden, Ebrahim Raisi menghadapi tekanan besar dari luar dan dalam negeri. Dunia mengawasinya dengan kritis, namun para pendukungnya tetap yakin ia dapat membawa Iran ke arah yang kuat dan mandiri.
Apakah Raisi akan menjadi presiden transisi atau figur penting dalam sejarah panjang Iran, waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, ia telah menjadi tokoh sentral dalam politik regional dan global. Sosoknya mencerminkan realitas kompleks Republik Islam Iran—antara teologi, nasionalisme, dan gejolak zaman.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
