Mode & Gaya
Beranda » Berita » Kota dan Ruang Hijau: Mengapa Alam bersifat Krusial di Tengah Urbanisasi?

Kota dan Ruang Hijau: Mengapa Alam bersifat Krusial di Tengah Urbanisasi?

Kota dan Ruang Hijau
Kota dan Ruang Hijau

Pertumbuhan Kota Mengancam Kesehatan Kita

Pada 2050, sekitar 68% penduduk dunia diprediksi akan tinggal di perkotaan. Itu berarti penambahan 2,5 miliar manusia di ruang urban yang padat. Saat ini pun, tiga dari empat warga Eropa hidup di kota-kota besar, dan dampaknya pada kesehatan semakin nyata.

Polusi udara menyebabkan sekitar sembilan juta kematian setiap tahun. Di London, dua juta orang—termasuk 400.000 anak-anak—tinggal di zona dengan udara beracun.

 

Mengapa Kita Butuh Alam di Perkotaan?

Menurut Dr. Cecil Konijnendijk, Profesor Urban Forestry di University of British Columbia, ruang hijau bukan hanya estetika. Ia menyebut, “Research shows really clearly that we need nature in our surroundings. We need trees in our streets, plants in our gardens and flowers on our balcony. We need nature as our neighbour all the time.”

Cecil menekankan bahwa kita harus menjaga alam di kota. Sebagai imbalannya, kesehatan kita akan meningkat drastis.

Mengenal Perbedaan Hijab, Jilbab, dan Khimar dalam Tren Fashion Muslimah

 

Efek Pulau Panas Perkotaan dan Kerusakan Siklus Air

Ruang hijau penting untuk mengatasi urban heat island effect—fenomena terperangkapnya panas di kawasan padat penduduk. Beton, aspal, dan gedung menyimpan panas, membuat suhu kota bisa 3–4°C lebih tinggi dibanding pedesaan.

Panas ekstrem ini meningkatkan permintaan pendingin ruangan. Akibatnya, konsumsi energi dan emisi karbon naik, memperburuk kualitas udara. Lebih parah lagi, permukaan kota yang panas menyebabkan air hujan menjadi terlalu panas saat masuk saluran air. Suhu air yang tinggi bisa merusak ekosistem perairan dan membunuh makhluk hidup di sungai dan danau.

 

Manfaat Langsung Ruang Hijau di Kota

Solusi dimulai dari desain kota yang mengintegrasikan elemen alam, seperti atap hijau. Tanaman di atap membantu menurunkan suhu, menyaring air hujan, dan mengurangi kebutuhan energi. Selain itu, vegetasi juga menyerap polusi udara.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Contoh sukses adalah Gardens by the Bay di Singapura. Taman ini menghadirkan struktur raksasa “Supertree” yang menjadi habitat bagi berbagai spesies anggrek, paku, dan tanaman merambat. Kota ini memadukan arsitektur modern dengan alam untuk menciptakan ekosistem mini yang mendukung keanekaragaman hayati.

Cecil menjelaskan, “By increasing the diversity of trees on our streets we can create miniature forests.” Hutan mini ini menarik burung dan serangga yang menjaga kesehatan pepohonan. Ekosistem alami yang sehat juga lebih hemat biaya pemeliharaan.

 

Tidak Cukup Hanya Ruang Hijau—Harus Adil dan Inklusif

Meskipun ruang hijau membawa banyak manfaat, masyarakat belum menikmati akses yang merata. Studi oleh Richard Mitchell dan Frank Popham (Lancet, 2008) mengungkapkan bahwa di kota-kota Inggris, warga miskin hidup hingga 10 tahun lebih singkat dibandingkan warga kaya. Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan akses terhadap ruang terbuka hijau.

Menambahkan taman di kawasan berpenghasilan rendah tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Dr. Matilda van den Bosch dari University of British Columbia menjelaskan, “What’s happening is that green spaces are being created, but suddenly those areas become more desirable and housing costs go up – often pricing out the people currently living there.” Dengan kata lain, pembangunan ruang hijau justru mendorong naiknya harga hunian, yang kemudian memaksa warga lama meninggalkan tempat tinggal mereka.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Kita menyebut fenomena ini sebagai “green gentrification”—situasi ketika kehadiran ruang hijau menaikkan nilai properti dan secara tidak langsung menggusur warga setempat. Untuk menghindari dampak ini, Matilda menyarankan agar kita menciptakan ruang hijau yang benar-benar inklusif. Artinya, semua orang harus bisa mengakses taman secara gratis, mudah, dan tanpa tekanan sosial untuk berbelanja atau bergaya hidup tertentu. Ruang hijau seharusnya menjadi tempat bertemu bagi seluruh komunitas, bukan hanya segelintir kelompok yang mampu.

 

Alam Tidak Selalu Harus Rapi

Lebih lanjut, Cecil menambahkan bahwa kita perlu let go dari obsesi mengatur dan menata alam secara berlebihan. Faktanya, alam yang tampak “berantakan” justru memberikan manfaat besar bagi keberlangsungan ekosistem sekaligus perkembangan anak-anak. Ia menyatakan, “Messy nature isn’t just a great habitat for wildlife but it’s good for children to play in.”

Selain manfaat ekologis, keterpaparan langsung pada alam juga berdampak positif bagi kesehatan mental. Bahkan, hanya dengan beristirahat lima hingga sepuluh menit di taman, seseorang dapat merasakan perbaikan suasana hati dan peningkatan produktivitas kerja. Maka dari itu, menjaga interaksi dengan lingkungan alami menjadi semakin penting dalam keseharian kita yang penuh tekanan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Untuk mewujudkan kota yang lebih hijau dan sehat, kita tidak harus menunggu kebijakan besar. Sebaliknya, langkah kecil dari masyarakat bisa menjadi awal perubahan. Misalnya, kita bisa mulai dengan memanfaatkan dan merawat taman yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Tindakan sederhana ini menunjukkan bahwa ruang hijau memiliki arti penting bagi warga kota.

Selain itu, jangan ragu menyuarakan aspirasi. Hubungi pihak berwenang—seperti dinas pertamanan, pemerintah kota, atau wakil rakyat setempat—dan sampaikan pandangan tentang pentingnya menjaga serta menambah ruang terbuka hijau di kota.

Pada akhirnya, perlu diingat bahwa kota masa depan yang benar-benar sehat bukan hanya diukur dari deretan gedung pencakar langit. Melainkan, kota yang ideal adalah kota yang menyediakan ruang tumbuh bagi kehidupan—baik manusia maupun alam—secara seimbang dan berdampingan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement