SURAU.CO – Di sebuah pelosok negeri Yaman, hiduplah seorang pemuda saleh bernama Uwais Al Qarni. Ia jauh dari kemewahan duniawi, tumbuh sebagai anak yatim yang hidup dalam kefakiran. Seluruh waktunya ia curahkan untuk merawat sang ibu yang sudah sepuh, lumpuh, serta kehilangan penglihatan. Untuk menopang kehidupan mereka, Uwais bekerja sebagai penggembala domba. Namun, upahnya yang sedikit selalu ia utamakan untuk kebutuhan ibunya. Apabila ada sisa makanan, ia tidak menikmatinya sendiri, melainkan memberikannya kepada tetangga yang bernasib sama. Alhasil, ia sendiri lebih sering berpuasa demi menahan lapar.
Wujud Kecintaan yang Mendalam kepada Nabi
Meskipun terpisah oleh jarak yang begitu jauh, kecintaan Uwais kepada Nabi Muhammad SAW tumbuh dengan sangat tulus. Perasaan sedih kerap kali menghampirinya saat melihat orang lain dapat berangkat ke Madinah untuk berjumpa Rasulullah. Di sisi lain, baktinya kepada sang ibu menjadi prioritas yang tak bisa ia tinggalkan. Suatu hari, sebuah berita dari medan perang sampai ke telinganya. Kabar tersebut mengisahkan bahwa gigi Rasulullah patah. Mendengarnya, hati Uwais ikut merasakan kepedihan yang mendalam. Sebagai wujud cintanya, ia lantas melakukan tindakan serupa, memukulkan batu ke giginya hingga patah agar dapat merasakan penderitaan yang sama.
Perjalanan Suci yang Tertunda
Pada akhirnya, kerinduan yang membuncah mendorongnya untuk memohon izin kepada ibunya. Ia menyampaikan hasratnya untuk melakukan perjalanan ke Madinah. Sang ibu, yang melihat ketulusan di mata putranya, memberikan restu dengan sebuah pesan singkat namun tegas.
“Berangkatlah, anakku. Temui Nabi di kediamannya, tetapi setelah berjumpa, segeralah engkau pulang,” pesan sang ibu.
Dengan memegang teguh amanah itu, Uwais memulai perjalanannya yang panjang. Akan tetapi, setibanya di Madinah, takdir berkata lain. Ia tidak mendapati Rasulullah di rumah, sebab beliau sedang memimpin pasukan di medan perang. Hati Uwais dilanda kebimbangan. Namun, ketaatannya pada pesan ibu mengalahkan segalanya. Ia pun memutuskan untuk segera kembali ke Yaman, meski belum berhasil menatap wajah sang Nabi.
Kesaksian Langit dan Tanda Istimewa
Sekembalinya dari pertempuran, Nabi Muhammad SAW langsung menanyakan perihal tamu yang mencarinya. Setelah Aisyah RA menceritakan semuanya, Rasulullah pun mengungkap keistimewaan pemuda itu di hadapan para sahabat. Beliau menjelaskan bahwa Uwais Al Qarni sesungguhnya adalah seorang penghuni langit. Lebih dari itu, Rasulullah memberitahukan sebuah ciri fisik untuk mengenalinya. “Jika kalian bertemu dengannya, perhatikanlah, ia memiliki tanda putih di tengah telapak tangannya,” sabda Nabi. Beliau kemudian berpesan, “Mintalah doa darinya, karena ia adalah penghuni langit, bukan penduduk bumi.”
Pertemuan Bersejarah dengan Khalifah
Wasiat Nabi itu terus terngiang di benak para sahabat hingga masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA. Sang Khalifah tidak pernah melupakannya. Oleh karena itu, ia senantiasa memeriksa setiap kafilah yang datang dari Yaman. Hingga pada suatu hari, penantiannya berakhir. Bersama Ali bin Abi Thalib RA, Khalifah Umar menemukan Uwais. Untuk membuktikan sabda Nabi, keduanya meminta Uwais menunjukkan telapak tangannya. Benar saja, tanda putih itu ada di sana.
Sesuai pesan Rasulullah, keduanya lantas memohon doa dari Uwais. Dengan kerendahan hati, Uwais merasa tidak pantas, namun ia akhirnya mendoakan kedua sahabat mulia itu. Khalifah Umar bahkan menawarkan jaminan hidup kepadanya, tetapi tawaran itu ia tolak dengan halus. “Biarkanlah hamba yang fakir ini tidak lagi dikenali oleh siapa pun,” pintanya.
Kepergian Sang Kekasih Langit
Sesuai permintaannya, Uwais Al Qarni menghabiskan sisa hidupnya dalam kesederhanaan, jauh dari perhatian publik, hingga tiba saatnya ia wafat. Pada hari pemakamannya, sebuah keajaiban besar terjadi. Ribuan sosok asing yang tak pernah dikenal penduduk setempat tiba-tiba datang. Mereka datang silih berganti hanya untuk mengurus jenazah Uwais.
Semenjak peristiwa itu, seluruh penduduk Yaman sadar siapa sesungguhnya tetangga mereka yang selama ini hidup dalam kemiskinan. Mereka yakin, para pelayat itu adalah malaikat yang diutus Allah SWT sebagai bentuk penghormatan terakhir. Dengan demikian, kisah Uwais menjadi bukti abadi bahwa kemuliaan sejati tidak diukur dari harta, melainkan dari ketakwaan dan bakti yang tulus.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
