Mode & Gaya
Beranda » Berita » Film The Witness (2018): Ketika Ketakutan Mengalahkan Kemanusiaan

Film The Witness (2018): Ketika Ketakutan Mengalahkan Kemanusiaan

Resensi Film The Witness (2018) yang mengajarkan dilema moral kemanusiaan.
Aktor Utama Sang-hoon berdiri di depan pintu kamar apartemennya.

SURAU.CO – The Witness (judul Korea: 목격자 / Mokgyeokja) adalah film yang merepresentasikan dilema ketakutan dan kemanusiaan. Film thriller Korea Selatan rilisan tahun 2018 (sutradara Jo Kyu-jang dan skenario oleh Lee Young-jong) ini menampilkan pemain utama Lee Sung-min sebagai Sang-hoon, Kim Sang-ho sebagai detektif polisi, serta Kwak Si-yang yang memerankan pembunuh berantai. Dengan durasi 111 menit, film ini tampil secara resmi pada 15 Agustus 2018 dan meraih lebih dari dua juta penonton di bioskop Korea Selatan, membuktikan bahwa tema yang diangkat sangat resonan dengan keresahan masyarakat urban kontemporer.

Film ini mengangkat kisah sederhana namun menggugah: seorang pria biasa bernama Sang-hoon yang tinggal di sebuah apartemen kelas menengah tanpa sengaja menyaksikan pembunuhan brutal yang terjadi di lapangan kosong depan unitnya. Ketika pelaku menyadari bahwa ada saksi, Sang-hoon panik dan memilih diam, tidak melapor ke polisi karena takut menjadi target selanjutnya. Di sisi lain, polisi mulai menyelidiki kasus tersebut dan menduga kuat bahwa pelaku telah mengincar saksi mata yang tidak kunjung mengungkapkan diri. Semakin Sang-hoon mencoba melindungi diri dan keluarganya, semakin besar bahaya yang mendekat, hingga titik di mana ia harus memilih antara mempertahankan rasa aman atau menyuarakan kebenaran.

Sejak awal, film ini mengedepankan ketegangan yang intens berbalut sinematografi yang penuh tekanan psikologis. Ritme penceritaan yang perlahan namun menekan menggambarkan konflik batin Sang-hoon yang terus terliputi rasa bersalah. Sang-hoon adalah gambaran manusia biasa yang hidup di tengah masyarakat yang menormalisasi ketidakpedulian. Sang-hoon menjadi cermin dari kita semua: terperangkap antara dorongan moral dan insting mempertahankan kenyamanan pribadi.

Individu Modern dan Budaya Acuh: Ketika Tetangga Menjadi Orang Asing

Melalui narasi The Witness, kita diajak merenungi kondisi masyarakat modern, khususnya di kota-kota besar yang semakin kehilangan ikatan komunal. Apartemen tempat Sang-hoon tinggal dipenuhi penghuni yang saling tidak kenal, meski hidup bersebelahan. Bahkan ketika pihak kepolisian meminta bantuan saksi untuk mengungkap pelaku, sebagian besar penghuni apartemen justru tidak mau. Alih-alih bersaksi, pimpinan apartemen meminta warga untuk menandatangani surat keputusan bersama demi menghindari keterlibatan dan potensi berkurangnya nilai ekonomi apartemen.

Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam fiksi. Banyak studi sosiologis menunjukkan bahwa masyarakat urban—dengan segala tuntutan mobilitas tinggi dan gaya hidup serba cepat—cenderung bersikap individualistis. Ikatan sosial yang longgar membuat solidaritas menjadi langka. Selain itu, rasa takut atau apatis lebih mendominasi daripada keberanian untuk bertindak atas nama kebenaran.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Film ini secara gamblang menggambarkan apa yang oleh sosiolog Zygmunt Bauman sebagai “masyarakat cair”—relasi antarindividu yang rapuh, serba temporer, dan dangkal. Ketika seseorang menyaksikan kejahatan, pertimbangan utamanya bukan lagi soal benar atau salah, tapi lebih kepada “apakah ini akan membahayakan saya?” atau “apa untungnya bagi saya?”

Dilema Moral di Tengah Ketidakpedulian

Salah satu kekuatan utama The Witness terletak pada ketegangan batin tokoh utamanya. Sang-hoon berkali-kali terhantui rasa bersalah karena tidak segera bertindak, terutama setelah tahu bahwa korban adalah tetangganya sendiri. Ketegangan bertambah ketika sang pembunuh mulai menyusup ke lingkungan apartemen dengan menyamar sebagai pekerja servis, memata-matai para penghuni, dan membunuh siapa saja yang berpotensi membocorkan informasi.

Film ini tidak sekadar menawarkan ketegangan ala thriller konvensional, tetapi justru membongkar sisi paling kelam dari masyarakat: keengganan untuk peduli, bahkan ketika taruhannya adalah nyawa manusia. Bahkan ketika Sang-hoon mencoba melapor, tekanan dari tetangga, manajemen apartemen, dan rasa takut keluarganya sendiri mendorongnya kembali ke posisi diam.

Karya ini juga menyentil sistem sosial yang membebani individu dengan rasa takut akan konsekuensi. Dalam satu scene, Sang-hoon menunjukkan ketidakpercayaaannya pada polisi. Ia menilai bahwa hukum tidak cukup kuat melindungi saksi. Selain itu, sikap warga yang menutup dari media menunjukkan betapa media justru sering memperburuk keadaan dengan mengekspos identitas mereka.

Refleksi: Apakah Kita Juga Seorang “Saksi”?

Resonansi The Witness sangat kuat dalam konteks masyarakat hari ini. Banyak dari kita mungkin tidak pernah menyaksikan pembunuhan, tetapi pernah melihat bentuk ketidakadilan atau pelanggaran lain di sekitar kita. Pertanyaannya: apakah kita bersuara atau memilih diam?

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Melalui film ini, penonton terbawa untuk tidak hanya mengkritik tokoh Sang-hoon, tetapi juga merenungi bagaimana akan bersikap dalam situasi serupa. Apakah solidaritas sosial masih hidup dalam diri kita, atau sudah mati ditelan rasa takut, kepentingan pribadi, dan sikap acuh?

Sebagai kesimpulan, The Witness adalah film yang lebih dari sekadar tontonan thriller—ia adalah cermin bagi masyarakat modern. Lewat kisah sederhana namun kuat, film ini mempertanyakan kembali nilai-nilai kebersamaan, keberanian sipil, dan tanggung jawab moral. Dalam dunia yang makin individualistis, The Witness menjadi pengingat bahwa diam bukanlah selalu pilihan aman. Terkadang, menjadi diam justru awal dari runtuhnya rasa aman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement