Beranda » Berita » Jangan Bergantung pada Amal: Saat Dosa Menguji Harapan

Jangan Bergantung pada Amal: Saat Dosa Menguji Harapan

hikam 2

Mengawali dengan Niat: Pamrih dan Kemurnian Ibadah

Surau.co Pamrih memang sulit dihindari. Kalimat “bekerja tanpa pamrih” kerap tinggal semboyan kosong. Dalam praktiknya, sebagian orang masih berharap balasan dari manusia, bukan semata ridha Tuhan.

Namun, pamrih tak perlu dihapus seluruhnya. Yang diperlukan adalah pengelolaan pamrih secara proporsional. Kita tetap menjaga kemurnian ibadah, sekaligus mencegah penyalahgunaan atau kapitalisasi atas nama ibadah. Jika niat kita lurus, hasilnya akan ikut terjaga.tak menggantungkan pada yang lain selain bergantung pada Amal.

Hikmah Ibn Athaillah: Harapan yang Hilang Saat Berdosa

Salah satu hikmah penting dari Ibn ‘Aṭā’illah al-Iskandarī dalam al-Ḥikam berbunyi:

الاعتماد على العمل + نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Salah satu tanda seseorang bergantung pada amalnya adalah hilangnya harapan ketika ia tergelincir dalam kesalahan.

Pesan Penutup Kitab Bahjatul Wasail: Mewujudkan Kehidupan Islami yang Penuh Rahmat

Hikmah ini menyoroti jebakan spiritual: ketika seseorang merasa tumpukan amalnya sirna saat ia jatuh dalam dosa. Ia merasa Tuhan meninggalkannya, padahal Allah senantiasa hadir. Ini menunjukkan bahwa cinta dan ibadahnya masih bersyarat.Tak bergantung pada Amal tapi pada substasinya.

baca juga: Dzikir Pagi Petang: Perisai Spiritual Seperti Baju Besi

Dampak Psikologis Ketergantungan pada Amal

Saat terlalu bergantung pada amal, kejatuhan kecil terasa sangat memukul. Orang jadi kecewa berat, lalu merasa tak layak. Padahal, rahmat Allah jauh lebih luas dari dosa manusia.

“Tidak ada seorang pun di antara kalian yang masuk Surga karena amalnya… Bahkan aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya padaku.”
– HR. Bukhari dan Muslim

Orang yang terlalu mengandalkan amal biasanya kurang memahami konsep rahmat. Ia juga rentan ego spiritual, merasa dirinya suci, dan hancur ketika gagal.

Selalu Ada Jalan untuk Kembali: Menemukan Rahmat dalam Penyesalan

Memahami Keseimbangan: Rajā’ dan Khawf

Dalam tasawuf, para ulama menekankan keseimbangan antara harapan (rajā’) dan rasa takut (khawf).

Al-Ghazālī menyebut bahwa harapan tanpa takut bisa menimbulkan takabbur.

Yāsir Qadhī menambahkan bahwa takut tanpa harapan membuat jiwa terpenjara.

QS Az-Zumar [39]:53 juga menegaskan:

“Wahai hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…”

Boleh Gagal Berkali-kali, Asal Jangan Putus Harapan

 Amal Adalah Sarana, Bukan Jaminan

Banyak orang mengira amal adalah jaminan. Padahal, amal hanyalah jalan mendekat, bukan kunci keselamatan. Seperti ditegaskan Ibn ‘Aṭā’illah, orang yang benar-benar bertauhid tetap memelihara harapan meski jatuh dalam kesalahan.

“الاعتماد على العمل + نقصان الرجاء عند وجود الزلل“Salah satu tanda bergantungnya seseorang kepada amal adalah kurangnya harapan saat ia berbuat kesalahan.”
– Ibn ‘Aṭā’illāh al-Iskandarī, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah

baca juga: The Meaning of Ikhlas (Sincerity) Read More on: The Meaning of Ikhlas (Sincerity) – Fiqh – Islam

Ketika Amal Menjadi Penyebab Kejatuhan

Bisa jadi amal kita sebenarnya tak murni. Barangkali sarat dengan kesombongan, riya’, atau niat yang tidak lurus.

“Kesombongan amal hanya menjadi kompor yang meledakkan rudal ketidakmurnian.”

Jika kita tidak membenahi niat, maka amal justru bisa menjadi jebakan. Kita limbung saat krisis datang karena sebelumnya terlalu menggantungkan diri pada jumlah ibadah, bukan kualitas kedekatan pada Allah.

Solusi: Beramal Tanpa Bergantung pada Amal

Solusinya adalah beramal tanpa bergantung pada amal itu sendiri. Artinya, kita tetap melakukan amal saleh dengan penuh keikhlasan, sambil menyadari bahwa keselamatan hanya dari rahmat Allah.

Ketika terjatuh, bangkitlah. Jangan larut dalam putus asa. Dalam momen kegagalan, Allah sering kali mendidik kita agar lebih rendah hati, lebih jujur, dan lebih dekat dengan-Nya.

Rujukan Ulama dan Tasawuf Modern

Para sufi seperti Ahmad Zarruq dan Ibn Abbad menekankan bahwa amal lahiriah penting, tapi yang lebih utama adalah roh amal: yaitu ikhlas dan harap.

Studi oleh Rosmizi et al. menegaskan pentingnya integrasi antara dimensi batin dan lahir dalam ibadah. Tanpa jiwa, amal menjadi kosong dan bisa menjerumuskan.

Semerkand Magazine juga mencatat bahwa kehilangan harapan bisa berujung nihilisme bahkan kekufuran, jika tak diimbangi keyakinan akan rahmat Allah.

Syirik Halus: Ketergantungan pada Amal

Syirik khafi atau syirik halus bisa muncul saat hati lebih percaya pada amal ketimbang Allah. Ulama seperti al-Sindhī menekankan bahwa menyandarkan diri pada amal adalah bentuk lupa diri.

Mengelola Pamrih, Menyempurnakan Ibadah

Bukan pamrih yang harus dijauhi, tapi keterikatan yang tidak pada tempatnya. Arahkan pamrih pada cinta kepada Allah, bukan pada balasan dunia.

Saat cobaan datang, tetaplah bersyukur. Tetap semangat beribadah. Karena sesungguhnya:

“Dosa adalah bagian dari proses menjadi hamba sejati.”

Semoga kita semua mampu meluruskan niat, beramal dengan ikhlas, dan tidak jatuh dalam jerat ketergantungan pada amal. Indonesia akan besar jika dipenuhi pejuang tanpa pamrih yang menyandarkan hidupnya hanya kepada Allah(Abi Elfausto)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement