Surau.co – Meski momen 1 Muharram hanya sekejap dalam kalender nasional, bulan ini tetap menyimpan denyut keislaman dan kebudayaan yang kuat. Di balik namanya yang lebih sunyi dibanding tahun baru masehi, banyak masyarakat di pelosok negeri justru menyambut Muharram dengan penuh makna.
Masyarakat menyambut bulan Muharram—atau yang lebih dikenal sebagai bulan Suro dalam penanggalan Jawa—dengan beragam tradisi lokal yang unik. Mereka memadukan nilai keislaman dan budaya setempat, lalu melahirkan bentuk peringatan yang beragam. Ada yang berdoa dengan khusyuk, dan ada pula yang menggelar prosesi budaya yang semarak.
Menyambut Muharram dengan Bubur Suro/Asyura
Sebagian masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta, Solo, dan wilayah Tapal Kuda di Jawa Timur, merayakan Muharram dengan memasak bubur suro—bubur gurih yang berasal dari beras dan disajikan bersama lauk sederhana seperti telur rebus, ayam suwir, dan kacang-kacangan.
Masyarakat membuat bubur ini sebagai wujud syukur dan doa keselamatan. Mereka meyakini bahwa bubur ini bukan sekadar sajian, tetapi juga simbol tolak bala. Biasanya, mereka membagikan bubur ini kepada tetangga dan kerabat, membacakan doa keselamatan, lalu memakannya bersama-sama.
Sementara itu, masyarakat di wilayah Melayu seperti Aceh, beberapa daerah Sumatera dan Kalimantan menyebutnya bubur Asyura. Mereka memasak bubur ini dari berbagai bahan, biasanya terdiri atas 7 hingga 12 jenis.
Tradisi ini merujuk pada kisah Nabi Nuh yang mengolah sisa-sisa bahan makanan setelah kapal mendarat. Masyarakat membagikan bubur Asyura kepada tetangga atau jamaah masjid sebagai bentuk berbagi rezeki.
Kirab Pusaka 1 Suro
Keraton-keraton Jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta, menggelar kirab pusaka pada malam 1 Suro. Mereka mengarak benda-benda keramat milik keraton dalam suasana hening dan penuh doa. Para abdi dalem berjalan kaki tanpa alas mengelilingi benteng keraton sebagai bentuk laku spiritual.
Sementara itu, keraton Cirebon memperingati malam 1 Suro dengan sejumlah tradisi, seperti pawai obor, pembacaan babad Cirebon, doa bersama, hingga ziarah kubur.
Menyambut Muharram dengan Tabuik
Masyarakat di kota kecil Pariaman, Sumatera Barat, menyambut Muharram dengan perayaan Tabuik—sebuah ritual Syiah yang telah berakulturasi dengan budaya Minangkabau.
Mereka menggelar prosesi megah untuk mengenang gugurnya Imam Husain bin Ali di Padang Karbala. Menurut Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Sumbar, tradisi ini berasal dari pasukan Sipahi India yang datang pada masa kolonial Inggris. Keturunan India Muslim pun melanjutkan warisan budaya ini di Pariaman.
Masyarakat membangun dua menara tinggi berhias kertas warna-warni dan ukiran kuda bersayap. Mereka mengaraknya keliling kota sebelum melarungnya ke laut. Selain ritual duka, Tabuik juga menjadi festival rakyat lengkap dengan pasar malam, pertunjukan silek (silat), dan bunyi gandang tasa yang menggema keras. Mereka merayakan tradisi ini selama beberapa hari sebagai daya tarik budaya tahunan.
Melaksanakan Nganggung 1 Muharram
Masyarakat di Bangka Belitung menyambut 1 Muharram dengan tradisi Nganggung, yakni kenduri bersama yang berlangsung di masjid. Warga membawa dulang (talam) berisi makanan, lalu menyantapnya bersama.
Mereka menjadikan tradisi ini sebagai ajang memperkuat gotong royong, berbagi rezeki, dan mempererat tali silaturahmi di awal tahun Islam.
Mengadakan Pawai Obor dan Zikir Keliling
Di banyak daerah di Indonesia, masyarakat menggelar pawai obor dan zikir keliling untuk menyambut Muharram. Mereka juga menampilkan atraksi seperti egrang, patung kerbau, dan pertunjukan budaya lain sesuai tradisi daerah masing-masing.
Tujuan mereka satu: menyemarakkan dakwah Islam dan menandai awal tahun baru Hijriah dengan semangat kebersamaan.
Menggelar Pengajian dan Doa Awal Tahun
Masyarakat sering mengadakan pengajian dan doa bersama di masjid atau majelis taklim. Mereka memanfaatkan momen Muharram untuk bermuhasabah, membaca doa akhir dan awal tahun, serta menyantap hidangan bersama. Tak jarang, mereka juga mengisi acara dengan hiburan bernuansa Islami.
Melalui ragam tradisi tersebut, masyarakat Indonesia tidak hanya menandai pergantian tahun dalam kalender Islam, tetapi juga merawat identitas budaya dan nilai spiritual.
Mereka mewariskan kekayaan kultural penuh makna—mengenang sejarah, merawat kebersamaan, dan menghidupkan nilai-nilai tauhid. Meski bentuknya berbeda-beda, semua tradisi itu bermuara pada hal yang sama: doa, refleksi, dan harapan akan tahun yang lebih baik.
Menghidupkan Tradisi Ulama bagi Gen-Z: Kunci Menjaga Jati Diri Lewat Tulisan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
