Jakarta – Di republik ini, pengaduan masyarakat ibarat gema dari jurang sunyi. Keras diucapkan, tapi hilang tanpa jawaban. Rakyat, yang seharusnya menjadi subjek sekaligus sasaran pelayanan publik, justru kerap terpinggirkan dalam praktik pelayanan yang beraroma birokratis, lamban, dan defensif.
Pelayanan publik yang buruk bukan hanya soal antrean panjang atau prosedur rumit. Yang lebih menyakitkan adalah saat keluhan rakyat tidak didengar-atau lebih tepatnya, sengaja diabaikan. Pengaduan masyarakat, yang seyogianya menjadi jembatan korektif antara publik dan negara, justru menjelma menjadi ruang frustrasi tanpa pintu keluar. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah gempita jargon reformasi birokrasi dan pelayanan prima.
Padahal, negara telah menetapkan standar pelayanan publik-lengkap dengan maklumat, indikator kepuasan, hingga mekanisme pengaduan. Namun, standar tak serta-merta menjamin mutu. Di atas kertas, semua tampak ideal. Di lapangan, pengaduan dibiarkan menumpuk di meja resepsionis, atau lebih parah: disenyapkan dengan kalimat normatif seperti “sedang diproses” atau “akan kami tindak lanjuti”.
Mengapa Pengaduan Masyarakat Tak Pernah Serius Dikelola? Karena dalam banyak hal, pengaduan dianggap sebagai ancaman, bukan masukan. Lembaga publik lebih suka menampilkan citra baik ketimbang mengakui kekurangan. Ini adalah watak lama birokrasi feodal yang antikritik namun gemar membentuk tim evaluasi internal yang tak berpihak pada rakyat.
Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal menegaskan bahwa pengelolaan pengaduan publik harus menjadi instrumen utama dalam peningkatan kualitas layanan-bukan sekadar formalitas pemenuhan regulasi. Dalam banyak kasus, ketika pengaduan diabaikan, kepercayaan publik pun runtuh. Dan ketika kepercayaan runtuh, negara kehilangan legitimasi pelayanan.
Maka, kami menuntut perubahan paradigma dalam penanganan pengaduan masyarakat. Bukan sekadar membuat kanal pelaporan, tetapi menciptakan sistem tanggap cepat berbasis transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Karena hanya dengan mendengar secara serius, negara bisa belajar untuk melayani dengan sungguh-sungguh.
Partisipasi Publik: Jalan Menuju Pelayanan Publik yang Beradab
Kami percaya, pengelolaan pengaduan yang baik adalah pintu masuk demokrasi pelayanan publik. Pengaduan bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan sinyal korektif yang harus direspons dengan tanggung jawab moral dan etika administratif. Setiap laporan dari rakyat adalah bahan evaluasi, bukan gangguan operasional.
Negara harus membuka akses partisipatif seluas-luasnya. Publik harus dilibatkan sebagai co-creator dalam perbaikan layanan. Jika tidak, maka standar layanan hanyalah ilusi, dan pengaduan hanyalah retorika kosong dalam pidato pejabat. Sudah saatnya, pelayanan publik tidak lagi dimaknai sebagai kebaikan hati pemerintah kepada rakyat, tetapi sebagai kewajiban konstitusional yang melekat pada setiap rupiah pajak yang dibayarkan oleh warga negara. Jika negara tidak bisa mendengar rakyat, untuk apa negara itu ada?
Partisipasi Rakyat dalam Pelayanan Publik: Antara Hak Konstitusional dan Sekadar Formalitas
Dalam alam demokrasi modern, rakyat bukanlah objek kebijakan, melainkan subjek utama pelayanan publik. Namun sayangnya, semangat partisipatif yang dijamin secara hukum kerap redup dalam praktik. Negara tampak rajin membuat peraturan, tapi enggan membuka ruang kendali rakyat. Maka tak heran jika pelayanan publik di negeri ini lebih sering tampil sebagai panggung seremonial daripada proses substantif yang melibatkan rakyat sebagai mitra sejajar.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dengan tegas menyatakan bahwa peran serta masyarakat diwujudkan dalam seluruh tahapan pelayanan-dari penyusunan standar pelayanan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi dan pemberian penghargaan. Undang-undang ini secara eksplisit mengafirmasi bahwa masyarakat adalah bagian tak terpisahkan dari tata kelola pelayanan publik yang akuntabel.
Tak berhenti di situ, Pasal 42 PP Nomor 96 Tahun 2012 bahkan memperluas saluran partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan, tanggapan, laporan, dan pengaduan, baik kepada penyelenggara, atasan langsung, hingga pihak eksternal termasuk media massa. Artinya, hukum membuka ruang koreksi publik secara luas-bahkan bila perlu, secara terbuka dan frontal.
Mengapa Hak Partisipatif Ini Seolah Dikebiri?
Meski hukum memberi ruang, dalam praktiknya rakyat sering kali dijadikan simbol dalam brosur, bukan mitra dalam sistem. Ketika masyarakat menyampaikan pengaduan karena layanan yang diterima tidak sesuai standar, respons yang muncul lebih bersifat defensif ketimbang solutif. Alih-alih dipeluk sebagai masukan, pengaduan dianggap serangan terhadap citra institusi.
Inilah yang disebut sebagai “negara administratif tanpa roh pelayanan“-sebuah sistem yang sibuk mengelola prosedur tapi lupa substansi. Di banyak daerah, unit pengaduan sekadar formalitas-berfungsi mencatat, bukan menyelesaikan. Hasilnya: pengaduan menguap, pelayanan tak kunjung berubah, dan rakyat semakin apatis terhadap mekanisme pengawasan yang sejatinya dijamin undang-undang.
Pengawasan Publik: Pilar Demokrasi yang Sengaja Dilemahkan
Sebagai pengguna layanan, masyarakat bukan hanya boleh, tetapi wajib melakukan pengawasan terhadap standar pelayanan publik. Jika standar tidak ditegakkan, rakyat berhak mengadukan. Namun tanpa sistem responsif dan transparan, hak ini tak lebih dari ilusi. Negara seolah meminta rakyat terlibat, tetapi menutup pintu ketika suara mereka mulai menggugat.
Kami di Peduli Nusantara Tunggal meyakini bahwa pengaduan adalah bentuk partisipasi yang paling otentik dan bermakna. Ia bukan keluhan kosong, melainkan sinyal perbaikan. Pengaduan yang disampaikan rakyat seharusnya menjadi data strategis untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar arsip.
Pengaduan Publik: Senjata Rakyat yang Tak Boleh Ditumpulkan Negara.
Di tengah gempita demokrasi dan reformasi birokrasi, pengaduan masyarakat terhadap pelayanan publik seharusnya menjadi alat koreksi paling ampuh. Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: pengaduan dipandang sebagai gangguan, bukan sebagai bahan perbaikan. Ini bukan hanya kesalahan manajerial, tapi kegagalan ideologis dalam memahami posisi rakyat dalam negara demokratis.
Padahal, secara normatif, negara sudah memberikan landasan hukum yang kuat untuk memastikan pengelolaan pengaduan berjalan secara sistematis, adil, dan melindungi semua pihak. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik adalah bukti bahwa pengaduan bukanlah tindakan sepele, melainkan bagian integral dari sistem pelayanan yang sehat dan akuntabel.
Dalam Perpres ini, kita temukan sejumlah prinsip penting:
Hak pengadu untuk menyampaikan keluhan secara bebas;
Kewajiban penyelenggara untuk menyediakan sarana dan mekanisme pengaduan; Tanggung jawab pengelola dalam menindaklanjuti setiap laporan;Larangan dan sanksi atas penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan pengaduan; Dan yang sangat penting: jaminan perlindungan terhadap identitas pengadu. Mengapa Perlindungan Pengadu Itu Penting? Karena dalam banyak kasus, pengadu bukan sekadar “pengeluh”-mereka adalah whistleblower, penjaga moralitas pelayanan publik. Sayangnya, banyak dari mereka yang justru mendapatkan intimidasi, pembungkaman, bahkan balasan secara sosial maupun struktural.
Perpres 76/2013 secara eksplisit mewajibkan penyelenggara untuk merahasiakan identitas pengadu. Tapi apakah hal ini benar-benar dijalankan? Atau hanya berhenti sebagai dokumen normatif yang tak pernah membumi?
Penyelenggara layanan publik sering berdalih telah menyediakan kanal pengaduan. Tapi apalah arti kanal, bila suara yang masuk hanya berakhir sebagai statistik, bukan solusi? Di sinilah letak persoalan: negara tampak siap menerima laporan, tapi enggan menindaklanjuti secara serius.
LAPOR MAS WAPRES: GAGAH DI AWAL, SERIUSKAH DI AKHIR?
Pada Senin, 11 November 2024, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memperkenalkan Lapor Mas Wapres, sebuah kanal layanan pengaduan masyarakat yang diklaim terintegrasi dengan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N). Langkah ini, dalam retorika politik, tentu terdengar mulia: membuka kanal komunikasi dua arah antara rakyat dan pemimpin, dengan semangat pelayanan dan keterbukaan.
Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah ini hanya kosmetika kekuasaan atau sungguh-sungguh menjadi ruang koreksi institusional?
Menurut hemat kami di Peduli Nusantara Tunggal, ada lima syarat fundamental yang harus dipenuhi agar layanan ini tidak berujung seperti banyak program seremonial lainnya-hangat-hangat tai ayam di awal, dingin dan basi di kemudian hari.
1. Skala Prioritas: Serius atau Serius-seriusan?
Layanan pengaduan nasional bukan pekerjaan kecil. Dibutuhkan parameter teknokratik untuk menentukan skala prioritas aduan yang harus direspons terlebih dahulu. Apakah keluhan terkait pelayanan rumah sakit, bantuan sosial, akses pendidikan, atau praktik pungli di lapangan?
Tanpa klasifikasi prioritas berdasarkan urgensi, frekuensi, dan dampak, maka semua aduan akan numpuk, dan tak ada yang selesai. Birokrasi jadi buntu. Solusi menjadi wacana. Jangan sampai Lapor Mas Wapres menjadi etalase aspirasi tanpa gudang solusi.
2. Koordinasi Lintas Lembaga: Jangan Duplicity, Jangan Lempar Bola
Kita tidak kekurangan lembaga pengaduan. Ombudsman RI sudah ada, Komnas HAM eksis, Komisi Yudisial bekerja, bahkan kementerian punya call center sendiri. Maka, kehadiran Lapor Mas Wapres wajib sinergis, bukan tumpang tindih. Ini bukan hanya soal komunikasi antarlembaga, tapi political will untuk menyelesaikan aduan rakyat secara sistemik. Perlu payung koordinasi yang jelas hingga ke Presiden Prabowo Subianto. Jika tidak, Lapor Mas Wapres bisa jadi hanya ‘kotak saran digital’ yang tidak didengar siapa-siapa.
3. Jangan Jadi Pemberi Harapan Palsu
Harapan adalah barang mahal di republik ini. Jika rakyat sudah melapor, maka mereka berharap solusi, bukan sekadar notifikasi “laporan Anda sedang diproses.”
Jika layanan ini hanya mengoleksi keluhan tanpa tindak lanjut konkret, maka ia tak ubahnya jebakan batman: mengundang antusiasme lalu membiarkannya mati pelan-pelan. Ingat, rakyat bukan obyek eksperimen komunikasi politik.
4. Hindari Gimik, Tolak Politainment
Wapres Gibran harus menjauh dari jebakan sinetron kekuasaan: datang ke lokasi, bertemu warga, difoto, diwawancara media, lalu pulang tanpa solusi jangka panjang. Program pelayanan publik bukan panggung pencitraan, tapi ladang kerja nyata. Jika Lapor Mas Wapres hanya dijadikan alat legitimasi popularitas, maka rakyat hanya akan menjadi figuran dari drama politik lima tahunan.
5. Konsistensi: Bukan Sekadar Proyek Musiman
Program layanan publik hanya akan dipercaya jika konsisten, tidak musiman, tidak hilang arah setelah headline media mulai meredup. Butuh tata kelola follow-up mechanism, audit kinerja, hingga pelibatan pihak independen dalam mengevaluasi laporan.
Banyak program pemerintah yang meriah di peluncuran, tapi senyap dalam implementasi. Jangan biarkan Lapor Mas Wapres mengikuti jejak itu.
Program “Lapor Mas Wapres”: Jangan Jadi Gimik Politik Tanpa Arah
Program Lapor Mas Wapres yang digagas oleh Wakil Presiden RI seyogianya menjadi kanal komunikasi publik yang efektif, terintegrasi, dan akuntabel. Namun, program ini justru terancam menjadi proyek populis tanpa bobot strategis apabila tidak dirancang secara sistemik dan dikoordinasikan secara menyeluruh. Dalam konteks pemerintahan yang menjelang transisi kekuasaan menuju Presiden terpilih Prabowo Subianto, koordinasi lintas kelembagaan bukanlah pilihan-melainkan keharusan mutlak.
Pertanyaannya, apakah Wapres hari ini ingin menciptakan warisan sistem pengaduan publik yang kokoh, atau sekadar melambungkan citra pribadi pada masa jabatan?
Publik tidak membutuhkan kanal pengaduan baru yang hanya kosmetik dan tumpang tindih dengan sistem yang sudah ada-semisal Lapor.go.id, Ombudsman, hingga berbagai kanal aduan di kementerian dan lembaga. Yang dibutuhkan adalah integrasi, sinergi, dan koordinasi yang kuat. Oleh sebab itu, Lapor Mas Wapres harus terkoordinasi secara intensif dan substansial dengan Presiden terpilih Prabowo, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Kominfo, bahkan lembaga pengawas independen. Tanpa itu, program ini hanya akan menjadi duplikasi tidak berguna-dan lebih jauh, bentuk pemborosan anggaran yang tidak bertanggung jawab.
Secara akademik, program pelayanan publik berbasis pengaduan mensyaratkan tiga prinsip utama: responsiveness, inter-agency coordination, dan policy feedback loop. Jika program ini lahir tanpa kerangka kebijakan publik yang jelas dan tidak berdasar pada kebutuhan struktural, maka publik berhak curiga-apakah ini betul kanal partisipatif, atau justru mekanisme pelarian dari kebuntuan komunikasi politik?
Terakhir, jika Wapres serius ingin meninggalkan legacy yang berarti, maka transparansi desain kebijakan, keterlibatan pemangku kepentingan lintas sektor, serta kesinambungan pasca-2024 adalah harga mati. Tanpa itu semua, LAPOR MAS WAPRES TAK LEBIH DARI JARGON KOSONG DI UJUNG KEKUASAAN. (Daniel Minggu)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
