SURAU.CO. Dunia tasawuf mengenal banyak tokoh besar. Mereka menjadi panutan bagi generasi setelahnya. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim al Khawash. Beliau merupakan seorang ulama sufi terkemuka. Hidupnya sezaman dengan para wali besar lainnya. Sebut saja Junaid al-Baghdadi dan Imam An-Nuri. Syekh Ibrahim al Khawash mendapat julukan istimewa. Ia dikenal sebagai imam bagi orang-orang yang bertawakal. Artinya, beliau adalah pemimpin dalam hal berserah diri kepada Allah SWT.
Banyak sekali kisah hikmah dari perjalanan hidupnya. Salah satu yang paling terkenal adalah sebuah paradoks spiritual. Kisah ini melibatkan hewan buas dan seekor nyamuk kecil. Peristiwa ini menunjukkan betapa dalamnya pemahaman tawakal beliau. Sebuah kisah yang membuat kita merenung tentang hakikat kehadiran hati bersama Sang Pencipta.
Tenang di Tengah Kepungan Binatang Buas
Kisah ini bermula dari sebuah perjalanan spiritual. Syekh Ibrahim al Khawash mengembara bersama sahabatnya. Sahabat itu bernama Hamid al-Aswad. Keduanya melakukan perjalanan jauh melintasi berbagai wilayah. Suatu ketika, mereka tiba di sebuah desa terpencil. Malam pun tiba. Keduanya memutuskan untuk beristirahat di tempat itu.
Suasana malam yang sunyi tiba-tiba berubah mencekam. Sekawanan binatang buas datang mendekat. Gerombolan itu mengelilingi tempat mereka beristirahat. Hamid al-Aswad merasa sangat ketakutan. Ia melihat serigala, singa, dan hewan liar lainnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera memanjat pohon terdekat. Ia mencari perlindungan dari ancaman nyata di depan mata.
Namun, Syekh Ibrahim al Khawash menunjukkan reaksi berbeda. Beliau tampak sangat tenang dan tidak terpengaruh. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ulama besar ini justru merebahkan tubuhnya di tanah. Ia bersikap santai seolah tidak ada bahaya. Binatang-binatang buas itu hanya mengendus dan menjilatinya. Mereka tidak melukai Syekh Ibrahim sedikit pun. Tak lama kemudian, beliau pun tertidur pulas di tengah kepungan maut.
Menjerit Keras Karena Gigitan Nyamuk
Fajar akhirnya menyingsing. Kawanan binatang buas itu pun pergi. Hamid al-Aswad turun dari pohon dengan perasaan takjub. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia saksikan semalam. Bagaimana mungkin sahabatnya bisa setenang itu? Perjalanan pun mereka lanjutkan dengan keheranan di benak Hamid.
Keduanya tiba di sebuah masjid untuk beristirahat sejenak. Mereka melepaskan lelah setelah perjalanan malam yang menegangkan. Suasana masjid begitu tenang dan damai. Tiba-tiba, sebuah suara jeritan memecah keheningan. “Aaargh!” Suara itu berasal dari Syekh Ibrahim al Khawash. Beliau menjerit dengan sangat keras.
Hamid al-Aswad langsung menghampirinya dengan panik. Ia mencari sumber masalah yang membuat sahabatnya berteriak. Ternyata, penyebabnya adalah seekor nyamuk. Nyamuk kecil itu menggigit kulit Syekh Ibrahim. Kejadian ini membuat Hamid al-Aswad semakin bingung. Ia menggelengkan kepala karena tidak habis pikir.
Hamid pun memberanikan diri untuk bertanya. “Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa hanya digigit nyamuk engkau menjerit? Sedangkan semalam engkau dikerumuni binatang buas tidak merasa takut sedikitpun,” tanya Aswad.
Jawaban Syekh Ibrahim al Khawash sangat mendalam dan penuh makna. Jawaban itu menjelaskan segalanya.
“Aku tidak takut dengan kerumunan binatang buas yang mengerumuniku karena Aku bersama Allah SWT. Sedangkan aku digigit nyamuk kemudian menjerit karena aku bersama diriku sendiri,” jawabnya.
Hamid al-Aswad terdiam mendengar penjelasan itu. Ia merenungkan setiap kata yang diucapkan sahabatnya. Jawaban itu membuka tabir rahasia di balik sikap aneh Syekh Ibrahim.
Makna di Balik Kehadiran Hati
Kisah Ibrahim al Khawash ini adalah pelajaran tasawuf tingkat tinggi. Saat dikelilingi hewan buas, hatinya sepenuhnya hadir bersama Allah. Ia memasrahkan jiwa dan raganya secara total. Inilah puncak dari tawakal. Ketika seseorang bersama Allah, maka tidak ada lagi ruang untuk rasa takut pada makhluk.
Namun, saat digigit nyamuk, situasinya berbeda. Saat itu, beliau sedang beristirahat santai. Hatinya tidak dalam kondisi waspada dan zikir penuh seperti semalam. Pikirannya sedang “bersama dirinya sendiri”. Ia merasakan gangguan fisik yang bersifat personal. Kehadiran egonya (nafs) membuatnya merasakan sakit dan merespons secara manusiawi, yaitu menjerit.
Syekh Ibrahim al-Khawwas adalah tokoh sufi besar dari Persia. Beliau hidup pada abad ke-3 Hijriah atau abad ke-9 Masehi. Kewaliannya sangat masyhur di kalangan para sufi. Beliau wafat sekitar tahun 291 Hijriah. Warisan pemikirannya tentang tawakal terus menjadi rujukan. Bahkan, nasihatnya tentang “obat hati” atau “tombo ati” menjadi inspirasi tembang spiritual yang populer di masyarakat Jawa hingga kini. Kisah nyamuk ini menjadi bukti nyata. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan pada fisik, melainkan pada bersama siapa hati kita saat itu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
