SURAU.CO. Kementerian Agama (Kemenag) mengambil langkah nyata tentang masjid inklusif. Kemenag ingin memperluas akses layanan keagamaan untuk penyandang disabilitas dan lanjut usia (lansia) dengan mengandalkan dua program utama. Program tersebut adalah Gerakan Majelis Fasholatan dan 1.000 Masjid Inklusif. Inisiatif ini adalah bagian dari upaya Kemenag mendorong masjid menjadi ruang ibadah yang ramah. Menurut Kemenag, masjid harus nyaman dan terbuka bagi seluruh kalangan umat. Tidak ada lagi batasan fisik maupun sosial bagi jemaah yang ingin beribadah.
Mendorong Fasilitas Ramah di 1.000 Masjid Inklusif
Selain penguatan pemahaman ibadah, Kemenag juga fokus pada aspek fisik. Dukungan diperkuat melalui program 1.000 Masjid Inklusif. Program ini mendorong masjid-masjid agar berkomitmen memberikan layanan inklusif. Pemerintah ingin memastikan rumah ibadah dapat diakses oleh semua kalangan. Akses tidak boleh terbatas hanya untuk jemaah yang muda dan sehat.
Abu Rokhmad menekankan pentingnya fasilitas yang memadai. Masjid perlu menyediakan sarana yang memudahkan jemaah disabilitas dan lansia.
“Kita ingin masjid menyediakan fasilitas yang ramah, seperti kursi salat lansia, tempat wudu yang bisa diakses pengguna kursi roda, hingga penyediaan juru bahasa isyarat,” kata Abu.
Sebagai bentuk dorongan nyata, pemerintah tidak hanya mengimbau. Kementerian Agama akan menyalurkan bantuan stimulan. Bantuan ini untuk masjid-masjid yang berkomitmen membangun fasilitas tersebut. Abu mengakui nilai bantuan mungkin belum signifikan. Namun, semangat kolaborasi adalah hal yang utama.
“Jumlah bantuannya mungkin belum besar, tetapi semangat kolaborasi ini yang ingin kita kuatkan,” jelasnya. Ia mengajak pengurus masjid melihat program ini lebih luas. Ini bukan sekadar proyek fisik. Ini adalah bagian dari penguatan fungsi masjid. Masjid adalah ruang ibadah sekaligus ruang memanusiakan manusia.
Memperbaiki Kualitas Ibadah Melalui Majelis Fasholatan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menjelaskan salah satu programnya. Gerakan Majelis Fasholatan hadir untuk meningkatkan pemahaman umat tentang fasholatan. Fokusnya adalah pada gerakan, bacaan, dan makna salat. Program ini secara khusus menyasar kelompok rentan yaitu kelompok belum mendapat bimbingan ibadah sistematis, terutama lansia.
Menurutnya banyak lansia merasa ragu untuk belajar kembali. Mereka segan jika harus bertanya kepada anak atau cucunya. Padahal, keinginan untuk memperbaiki kualitas salat sangat besar. “Banyak dari mereka enggan bertanya karena malu pada anak atau cucunya. Padahal, mereka ingin memperbaiki cara salatnya,” ujar Abu Rokhmad dalam kegiatan yang digelar di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Untuk mengatasi masalah ini, Kemenag telah menyiapkan strategi. Abu Rokhmad merinci mekanisme pelaksanaannya dengan melibatkan para penyuluh agama dan penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Mereka akan bekerja sama dengan pengurus masjid. Pesantren setempat juga akan berkolaborasi dalam menggelar pengajian Fasholatan secara rutin.
Menurutnya, perbaikan kualitas ibadah personal sangat penting. Ibadah yang benar akan membawa dampak positif. Kehidupan sosial masyarakat diyakini menjadi lebih tertib dan harmonis. “Kalau salatnya benar, insyaallah kehidupan sosial dan keagamaan kita juga akan lebih tertata,” tambahnya.
Transformasi Masjid Menjadi Pusat Pemberdayaan Umat
Staf Khusus Menteri Agama, Ismail Cawidu, memberikan pandangan yang lebih luas. Ia menekankan pentingnya transformasi peran masjid. Menurutnya, masjid tidak boleh lagi menjadi tempat yang pasif. Masjid harus bertransformasi menjadi pusat aktivitas sosial. Ia juga harus menjadi pusat kegiatan edukatif dan pemberdayaan umat.
“Masjid tidak boleh hanya fokus pada ibadah mahdhah. Ia harus hadir juga sebagai pusat layanan keilmuan, kesehatan, hingga ekonomi,” ujarnya. Ismail menyebut, partisipasi masyarakat yang tinggi membawa tanggung jawab besar. Pengelola masjid harus mampu menciptakan kenyamanan. Mereka juga wajib memastikan masjid memberi manfaat nyata bagi lingkungan sekitar. Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok rentan.
“Bagi lansia dan difabel, datang ke masjid itu ikhtiar yang luar biasa. Maka sudah semestinya kita menyambut dengan fasilitas yang memudahkan dan konten keilmuan yang mencerahkan,” ujarnya. Ia menunjuk Masjid Istiqlal sebagai salah satu contoh sukses. Masjid nasional ini telah menyediakan layanan yang terintegrasi. Layanan pendidikan, konsultasi, hingga aksesibilitas bagi difabel sudah tersedia.
Kedua program ini, Majelis Fasholatan dan Masjid Inklusif, saling melengkapi. Keduanya mencerminkan visi besar pemerintah untuk mewujudkan Islam yang merangkul semua. Ismail menegaskan bahwa kebijakan keagamaan harus bersifat inklusif. “Kalau negara hadir untuk semua, maka masjid sebagai simpul spiritual juga harus membuka diri seluas-luasnya. Fasholatan dan Masjid Inklusif adalah cermin dari Islam rahmatan lil ‘alamin. Ini bukan hanya soal bangunan, tapi tentang bagaimana kita memuliakan sesama,” pungkasnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
