SURAU.CO — Di tengah tantangan ketenagakerjaan yang semakin kompleks, aturan mengenai batas usia kerja kembali memicu perdebatan. Sebagian pihak menilai kebijakan ini mampu menjaga efisiensi tenaga kerja. Namun, di sisi lain, banyak yang menyebut batas usia sebagai penghalang peluang kerja, terutama bagi mereka yang masih produktif namun tersingkir karena faktor umur.
Apakah aturan ini masih relevan? Bagaimana dampaknya terhadap pencari kerja, perusahaan, dan perekonomian nasional?
1. Banyak Pencari Kerja Tersingkir karena Usia
Fenomena penolakan kerja karena usia masih sering terjadi di Indonesia. Baik sektor swasta maupun instansi pemerintahan sering mencantumkan batas maksimal usia, misalnya 30 tahun untuk staf administrasi atau 35 tahun untuk posisi teknis.
Akibatnya, pencari kerja yang sudah melewati usia tersebut otomatis gugur, meskipun mereka memiliki pengalaman dan keterampilan yang relevan. Bahkan banyak korban PHK di usia 40-an mengalami kesulitan besar saat mencari pekerjaan baru. Mereka dianggap tidak sefleksibel generasi muda dan dinilai membebani perusahaan dalam jangka panjang.
2. Tujuan Batas Usia dan Dampaknya
Pemerintah dan perusahaan menerapkan batas usia kerja dengan dalih efisiensi, kesiapan fisik, dan kemampuan adaptasi terhadap teknologi. Di sektor ASN, misalnya, batas usia CPNS ditetapkan maksimal 35 tahun, agar peserta dapat mengabdi lebih lama dan produktif.
Namun, di sektor swasta, batas usia sering kali lebih ketat dan tidak proporsional. Akibatnya, pekerja usia menengah ke atas tersisih, dan peluang mereka di pasar kerja formal semakin kecil. Kondisi ini berkontribusi terhadap pengangguran terselubung, yaitu orang yang masih mampu bekerja tetapi tak mendapat kesempatan karena syarat administratif semata.
3. Produktivitas Tak Selalu Terkait Usia
Riset global membuktikan bahwa produktivitas kerja tidak bergantung pada usia semata. Justru pengalaman, keterampilan, dan motivasi memiliki pengaruh besar terhadap performa kerja.
Di Jepang dan beberapa negara Eropa, banyak perusahaan justru memanfaatkan tenaga senior untuk posisi manajerial dan pembimbing. Mereka dinilai stabil secara emosi, loyal, dan kaya pengalaman. Sayangnya, di Indonesia, perusahaan masih terjebak dalam narasi “usia muda lebih produktif.” Banyak HRD lebih memilih fresh graduate ketimbang tenaga berpengalaman usia 40-an.
4. Ketimpangan Sosial karena Batas Usia
Batas usia kerja yang kaku berisiko menciptakan ketimpangan sosial. Banyak individu kehilangan mata pencaharian karena dianggap terlalu tua, padahal masih mampu dan ingin bekerja.
Lebih parah lagi, banyak program pelatihan kerja pemerintah menetapkan batas usia maksimal. Akibatnya, kelompok usia menengah ke atas kesulitan mengakses pelatihan untuk meningkatkan daya saing. Padahal, sistem ketenagakerjaan inklusif seharusnya membuka peluang bagi semua usia.
5. Rekomendasi: Cara Mengurangi Diskriminasi Usia
Daripada menolak pelamar kerja karena usia, perusahaan sebaiknya:
-
Menilai kompetensi secara menyeluruh, termasuk pengalaman, portofolio, dan hasil kerja nyata.
-
Membuka pelatihan lintas usia, agar semua pekerja bisa mengikuti perkembangan teknologi.
-
Menerapkan pola kerja fleksibel, seperti paruh waktu atau remote, agar pekerja senior tetap bisa berkontribusi.
-
Membuka program magang berbayar untuk usia 35 tahun ke atas, sebagai jembatan transisi karier.
Pemerintah juga perlu:
-
Melonggarkan batas usia rekrutmen pada program kerja,
-
Mengembangkan pelatihan inklusif untuk sektor informal dan ekonomi digital.
Paradigma Baru: Nilai Manusia Berdasarkan Kapasitas, Bukan Umur
Sudah saatnya Indonesia mengubah cara pandang terhadap usia kerja. Dunia kerja masa depan membutuhkan keberagaman, bukan batasan. Produktivitas bisa datang dari siapa saja, tanpa memandang usia.
Dengan membuka ruang kerja untuk semua kelompok umur, Indonesia akan memiliki sistem ketenagakerjaan yang lebih adil, produktif, dan kompetitif secara global.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
