Ibadah
Beranda » Berita » Memahami Iman Menurut Para Ulama dan Tingkatannya

Memahami Iman Menurut Para Ulama dan Tingkatannya

Memahami ini untuk memperkuat akidah
Memahami iman penting untuk memperkuat akidah

SURAU.CO. Iman menjadi landasan fundamental bagi seorang muslim. Namun, apa sebenarnya makna iman itu? Para ulama telah membahas konsep iman ini secara mendalam dengan menggali maknanya dari berbagai sudut pandang. Hal tersebut bertujuan agar umat memahami esensi keimanan secara utuh. Memahami iman menjadi penting untuk menguatkan aqidah Islam.

Secara etimologi, kata “iman” berasal dari bahasa Arab dari bentuk masdar “amana-yu’minu-imanan”. Maknanya bisa percaya, tunduk, tentram, dan tenang. Akar kata ini menunjukkan bahwa iman adalah yang membawa ketenangan batin. Seseorang yang beriman akan merasa damai dengan keyakinannya. Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali menghubungkan iman dengan tashdiq. Tashdiq berarti pembenaran dalam hati. Ini adalah komponen inti dari sebuah keyakinan. Jadi, iman bukan sekadar pengetahuan. Iman adalah penerimaan dan pembenaran dari dalam hati.

Mayoritas ulama menyepakati definisi iman yang komprehensif yaitu mencakup tiga pilar utama yang saling terkait. Ketiganya adalah:
Pembenaran dengan Hati (Tasdiq bil Qalbi) atau keyakinan penuh tanpa keraguan. Hati membenarkan semua kebenaran yang datang dari Allah.
Kedua, Ikrar dengan Lisan (Iqrar bil Lisan) yaitu keyakinan hati perlu diucapkan. Wujudnya adalah pengucapan dua kalimat syahadat. Ketiga Amal dengan Perbuatan (Amal bil Arkan). Maksudnya adalah iman harus dibuktikan melalui tindakan. Perbuatan ini mencakup semua bentuk ketaatan.
Ketiga elemen ini tidak dapat dipisahkan. Seseorang baru disebut mukmin sejati saat ketiganya menyatu.

Pandangan Berbagai Ulama Klasik tentang Iman

Para cendekiawan muslim memberikan perspektif yang kaya dalam memahami iman.  Al-Jurjani dalam kitab At-Takrifat menjelaskan iman dari dua sisi. Menurut bahasa, iman adalah membenarkan dengan hati. Sementara menurut syariat, iman adalah meyakini dengan hati dan berikrar dengan lisan. Pandangan ini menyoroti pentingnya keyakinan internal dan pernyataan eksternal.

Berdasarkan definisi ini, Al-Jurjani membuat klasifikasi menarik. Seseorang yang bersaksi dan meyakini, tetapi tidak beramal atau fasik. Orang yang bersaksi dan beramal, tetapi hatinya tidak yakin, disebut munafik. Sementara orang yang tidak bersaksi, meskipun meyakini, tetap dianggap kufur. Definisi lain menegaskan iman sebagai pembenaran pasti. Keyakinan ini harus sesuai dengan realita. Selain itu, keimanan harus didasarkan pada dalil yang kuat. Dalil tersebut bisa berasal dari akal (aqli) maupun wahyu (naqli).

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ada lima tingkatan Iman Menurut Al-Jurjani yaitu Iman Mathbu’. Iman jenis ini adalah iman para malaikat. Iman mereka tetap dan tidak berubah.. Kemudian ada Iman Ma’shum yaitu iman para nabi dan rasul. Iman mereka terjaga dari kesalahan. setelah itu ada iman Maqbul yaitu  iman orang-orang mukmin pada umumnya. Iman ini diterima oleh Allah. Al Jurjani menambahkan lagi jenis iman yaitu iman Mauquf. Iman jenis ini adalah imannya para ahli bid’ah. Keimanannya ditangguhkan atau diragukan. Terakhir ada Iman Mardud yaitu iman orang-orang munafik. Iman mereka ditolak oleh Allah.

Ibnu Hazm Al-Andalusi memiliki pandangan serupa. Namun, ia menekankan bahwa keyakinan hati dan ikrar lisan harus terjadi bersamaan. Menariknya, Ibnu Hazm tidak memasukkan amal dalam definisi iman. Baginya, amal adalah konsekuensi atau buah dari keimanan. Amal menjadi bukti nyata dari iman yang sudah ada.

Rukun Iman Sebagai Fondasi Aqidah

Pembahasan aqidah Islam selalu berpusat pada Rukun Iman. Ini adalah pilar-pilar keyakinan yang wajib diimani. Rukun Iman terdiri dari enam perkara yaitu iman kepada Allah SWT, iman kepada para Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya. Kemudian iman kepada para Rasul-Nya., iman kepada Hari Akhir, iman kepada Qada dan Qadar (Takdir Allah). Keenam rukun ini membentuk struktur dasar keyakinan seorang muslim.

Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki konsensus kuat. Mereka sepakat bahwa amal adalah bagian tak terpisahkan dari iman. Pandangan ini menegaskan bahwa iman bersifat dinamis dan bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Imam Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan hal ini dalam kitabnya At Tamhid. Beliau berkata: “Iman menurut ulama Ahlus Sunnah -di mana mereka adalah Ahlul Atsar dari ulama fikih dan hadits-, mereka telah bersepakat, iman itu perkataan dan perbuatan dan tidak ada amalan kecuali dengan niat. Imam menurut Ahlus Sunnah bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat. Segala ketaatan termasuk bagian dari iman.”

Imam Ibnu Katsir memperkuat pandangan tersebut dalam memahami iman. Dalam tafsirnya, beliau menegaskan hal yang sama. Beliau menyatakan, “Iman menurut pengertian syar’i tidaklah bisa terwujud kecuali dengan adanya keyakinan (i’tiqod), perkataan dan perbuatan. Demikian definisi yang  dari jumhur ulama. Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal serta Abu ‘Ubaid juga ulama lainnya bersepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Imam Al-Baghawi juga menyuarakan kesepakatan serupa dalam Syarhus Sunnah. Beliau mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta ulama Ahlus Sunnah sesudahnya sepakat bahwa amalan termasuk bagian dari iman. Mereka berkata bahwa iman adalah perkataan, perbuatan dan akidah (keyakinan).”

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement