Beranda » Berita » Makna Banjir di Segeri: Antara Kehendak Tuhan dan Berkah Tersembunyi

Makna Banjir di Segeri: Antara Kehendak Tuhan dan Berkah Tersembunyi

Ilustrasi Gambar Banjir menggenangi sebuah permukiman warga

Bagi banyak orang, banjir adalah bencana. Namun, bagi masyarakat pedesaan di Segeri, fenomena alam ini memiliki banyak makna. Mereka meyakini banjir sebagai perwujudan kuasa dewa dan tanda kebaikan Tuhan. Pemikiran ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia terbentuk dari jalinan kompleks antara kepercayaan lokal dan ajaran Islam-Sufisme yang mengakar kuat. Tulisan ini merujuk pada hasil penelitian Harifuddin dan Zainuddin (2017), yang menguraikan bagaimana makna banjir di Segeri dikonstruksi secara sosial oleh kedua faktor tersebut.

Kearifan Lokal dalam Menghadapi Banjir

Masyarakat Segeri telah akrab dengan banjir yang datang – kali setahun. Pengalaman bertahun-tahun ini membentuk sebuah ‘pengetahuan lokal’. Pengetahuan ini adalah hasil pengamatan jangka panjang terhadap fenomena alam. Mereka belajar dari setiap kejadian dan menemukan cara baru untuk bertahan hidup.

Masyarakat bahkan memiliki istilah unik untuk menamai banjir yang mereka alami. Ada sebutan ‘banjir baik’ untuk banjir yang tidak merusak. Sebaliknya, ‘banjir buruk’ adalah sebutan untuk banjir yang memorak-porandakan infrastruktur. Kepercayaan ini juga terkait dengan mitos adanya ‘Dewa air baik’ bernama La Bulalleq dan ‘Dewa air buruk’ bernama La Eppang. Karena sudah terbiasa, mereka tidak lagi merasa takut atau panik saat musim hujan tiba.

Peran Sentral Kepercayaan Leluhur dan Mitos ‘To Manurung’

Sebelum Islam masuk, masyarakat Sulawesi Selatan menganut animisme dan dinamisme. Kepercayaan leluhur ini berpusat pada ‘Dewata Seuwwae’ dan ‘Pototoe’, kekuatan transendental yang tak terjangkau logika. Mereka percaya ada roh leluhur yang melindungi, namun ada pula roh jahat yang membawa bencana. Untuk itu, ritual dan sesajen perlu diadakan untuk memohon perlindungan.

Dalam konteks ini, masyarakat Segeri mengenal mitos tentang utusan Dewata Seuwwae di bumi yang disebut ‘To Manurung’. ‘To Manurung’ bertujuan menciptakan keharmonisan hidup manusia di bawah bimbingan Tuhan. Mitos ini menunjukkan adanya pengaruh religius yang kuat dalam budaya Segeri.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Figur penting lain dalam kepercayaan lokal adalah Bissu. Bissu berperan memimpin semua ritual tradisional. Dalam manuskrip ‘I La Galigo’, Bissu disebut sebagai pelengkap kehadiran ‘Batara Guru‘ yang turun dari langit. Posisi mereka sangat strategis dalam sistem kerajaan masa lalu, sering kali menjadi penasihat raja. Keberadaan Bissu dan ritualnya memberikan rasa aman serta menjaga keharmonisan sosial di tengah masyarakat.

Pengaruh Islam-Sufisme dan Ajaran Kepasrahan

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan memiliki ciri ‘sufistik‘ yang kuat. Hal ini turut membentuk keyakinan keagamaan masyarakat setempat. Salah satu ajaran yang paling berpengaruh berasal dari tarekat Khalwatiyah Samman dan Khalwatiyah Yusuf al-Makassary.

Inti ajaran kedua tarekat ini serupa, yakni tentang kepasrahan mutlak (tawakkal) terhadap kehendak dan takdir Tuhan. Beberapa ajaran utamanya meliputi:

  • Taubat: Menyesali segala dosa dan berjanji tidak mengulanginya.
  • Zuhud: Mengurangi hasrat terhadap kenikmatan duniawi.
  • Tawakkal: Menyerahkan seluruh urusan, sikap, dan tindakan kepada Tuhan.
  • Sabar: Menerima segala cobaan dan musibah yang terjadi.
  • Ridha: Ikhlas menerima takdir (qadha dan qadr) dari Allah SWT.

Ajaran ini menekankan bahwa masalah duniawi hanya menghalangi seseorang dari cinta Tuhan.

Sintesis Keyakinan: Saat Banjir Menjadi Berkah

Ketika ajaran Islam-Sufisme bersinggungan dengan kepercayaan lokal, masyarakat menciptakan perpaduan keyakinan yang unik. Mereka menerima ajaran Khalwatiyah tentang hal gaib dan roh karena merasa sejalan dengan kepercayaan lokal yang sudah lebih dulu ada. Mereka tetap menjalankan ritual lokal, tetapi membingkainya dengan nuansa Islam. Sebagai contoh, mereka menanam pohon sambil membacakan barzanji atau syair-syair Islami.

Al-Qur’an dan Solusi Menghadapi Bencana

Bagi masyarakat Segeri, banjir bukan sekadar bencana, melainkan kehendak dan cobaan dari Dewata Seuwwae (Tuhan). Mereka memaknai banjir sebagai bentuk ujian yang bisa menggugurkan dosa, sehingga mereka bersikap pasrah dan menerima dengan tenang.

Masyarakat bahkan menyesuaikan cara mereka bertani dengan keyakinan ini. Saat mereka memprediksi banjir akan datang, mereka memilih untuk tidak mengolah lahan. Sebaliknya, mereka menggali kolam kecil di tengah sawah untuk menampung ikan yang terbawa air. Mereka memaknai banjir sebagai berkah yang menyuburkan tanah dan membawa rezeki dalam bentuk ikan melimpah.

Konstruksi Sosial di Balik Bencana

Pemahaman masyarakat Segeri terhadap banjir adalah hasil konstruksi sosial antara kepercayaan lokal dengan Islam-Sufisme. Sikap ‘pasrah’, ‘merasa cukup’, dan ‘menerima semua ketentuan Tuhan’ telah menjadi budaya yang diwariskan turun-temurun. Bagi mereka, banjir bukanlah akhir dari segalanya. Lebih lanjut, bagi masyarakat Segeri ini adalah cobaan yang membawa berkah, sebuah cara Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa umat-Nya. Realitas ini menegaskan bahwa cara pandang sebuah masyarakat terhadap suatu peristiwa sangat dipengaruhi oleh akumulasi tindakan dan keyakinan dari masa lalu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement