Mode & Gaya
Beranda » Berita » Inovasi Perpustakaan Kekinian untuk Tingkatkan Minat Baca Anak Muda Indonesia

Inovasi Perpustakaan Kekinian untuk Tingkatkan Minat Baca Anak Muda Indonesia

Seorang anak muda terlihat sedang memilih buku

Minat baca generasi muda Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal literasi. Kondisi ini tentu tidak terjadi tanpa sebab. Beberapa faktor turut memengaruhi, mulai dari dominasi gawai dalam keseharian anak muda hingga citra perpustakaan yang dianggap kuno, kaku, dan membosankan.

Membaca (seharusnya) Bukan Aktivitas yang Membosankan

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pengelola perpustakaan menghadirkan pendekatan baru untuk menumbuhkan budaya literasi—yakni library cafe. Mereka merancang perpustakaan dengan format yang lebih segar dan menarik. Alih-alih mempertahankan ruang sunyi yang penuh aturan, mereka menciptakan suasana santai, penuh warna, dan ramah bagi pengunjung. Penambahan makanan dan minuman di dalamnya juga membuat pengunjung merasa lebih nyaman dan menikmati aktivitas membaca.

Para pengelola library cafe tidak hanya menyediakan tempat untuk membaca, tetapi juga membentuk peran sosial dan kultural yang semakin penting. Lubis dan Azhar dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tren library cafe menjalankan tiga fungsi utama. Pertama, mereka menyelenggarakan kegiatan storytelling untuk mendekatkan masyarakat pada budaya membaca sejak dini. Kedua, mereka terus memperbarui dan meningkatkan fasilitas perpustakaan agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Ketiga, mereka rutin menggelar kegiatan penunjang seperti diskusi publik, pelatihan literasi, dan pemutaran film edukatif.

Library Cafe: Ruang Baca dan Nongkrong yang Berpadu

Konsep library cafe menggabungkan dua hal yang digemari anak muda: membaca buku dan nongkrong. Di tempat ini, pengunjung bisa menyeruput kopi sambil menikmati buku sastra, berdiskusi tugas kuliah, atau menonton film edukatif bersama teman.

Tren ini terus berkembang dan mendapat sambutan hangat. Di Jogja, misalnya, banyak mahasiswa lebih memilih library cafe karena suasananya terasa santai dan tidak mengintimidasi. Mereka merasa lebih nyaman menulis skripsi atau membaca jurnal di tempat seperti ini dibanding di perpustakaan konvensional yang cenderung kaku.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Edukasi Bertemu Gaya Hidup

Lubis dan Azhar menyebutkan bahwa masyarakat selama ini menganggap perpustakaan sebagai tempat yang formal, kaku, dan membosankan. Persepsi ini menjadi penghalang utama tumbuhnya minat baca. Namun, kehadiran konsep cafe berhasil mentransformasi citra perpustakaan—dari ruang yang konservatif menjadi ruang yang kreatif.

Kafe perpustakaan pun bisa memainkan peran sebagai panggung literasi. Pengelola bisa mengadakan kegiatan seperti bedah buku, pelatihan menulis, atau diskusi publik sambil menyuguhkan secangkir teh. Cara ini membuat interaksi dengan buku dan pengetahuan terasa lebih hidup dan menyenangkan.

Kenyamanan Fisik Mendorong Literasi Psikologis

Menurut penelitian tersebut, minat baca anak muda sangat dipengaruhi faktor eksternal, termasuk kenyamanan ruang dan akses bahan bacaan. Library cafe menyediakan itu semua dalam satu paket. Mereka tidak hanya membaca karena tugas, tapi karena menikmati prosesnya.

Desain interior yang estetik, pencahayaan yang hangat, koleksi buku beragam, dan akses Wi-Fi menjadikan tempat ini disukai anak muda. Faktor ini penting karena, seperti ditulis Lubis, “generasi muda cenderung harus terlebih dahulu diajak, dibujuk, dan diberi dorongan supaya mau membaca.”

Transformasi Perpustakaan di Era Digital

Di era digital, perpustakaan tak bisa lagi hanya mengandalkan rak-rak buku. Anak muda kini lebih sering menjelajahi Instagram dan TikTok daripada membuka katalog manual. Karena itu, para pengelola perpustakaan perlu memadukan gaya hidup digital dengan literasi fisik sebagai tantangan sekaligus peluang.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pemerintah sebenarnya sudah mendukung digitalisasi perpustakaan dengan meluncurkan aplikasi e-book dan memberikan akses ke iPusnas. Meski begitu, perpustakaan tetap perlu menghadirkan library cafe untuk menghidupkan kembali interaksi manusia dalam budaya membaca.

Gaya Baru dan Literasi Baru

Library cafe bukan sekadar tren, tapi strategi literasi yang cerdas dan kontekstual. Ia menjawab tantangan zaman dengan menggabungkan edukasi dan hiburan, membaca dan bersosialisasi, belajar dan menikmati.

Di tengah tantangan rendahnya minat baca, hadirnya library cafe menunjukkan bahwa membaca bisa menyenangkan, relevan, dan sesuai gaya hidup generasi muda. Kini saatnya kita membangun lebih banyak ruang seperti ini—di sekolah, kampus, dan pusat kota—agar budaya baca tumbuh subur di hati anak muda Indonesia.

 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement