Harus menjaga SURAU.CO – Makam Raja di Imogiri merupakan sebuah kompleks pemakaman monumental. Tempat ini menjadi peristirahatan terakhir para raja keturunan Mataram. Lokasinya berada di puncak Bukit Merak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompleks ini bukan sekadar pemakaman biasa. Ia adalah saksi bisu sejarah, pusat spiritual, dan warisan budaya agung yang masih terjaga keberadaanya oleh dua keraton besar hingga kini.
Nama resminya adalah Pasarean Imogiri atau Astana Pajimatan Himagiri. Nama Imogiri sendiri berasal dari kata hima (kabut) dan giri (gunung). Maka, Imogiri bermakna gunung yang sering berselimuti kabut. Penamaan ini menggambarkan suasana sakral dan mistis di puncaknya.
Sejarah Pembangunan Makam Raja di Imogiri
Sejarah kompleks ini dimulai pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646 M). Menurut Babad Momana, Sultan Agung awalnya memerintahkan pembangunan makam di Bukit Giriloyo. Pembangunan ini dipimpin oleh Pangeran Juminah, paman Sultan Agung. Namun, takdir berkata lain. Pangeran Juminah wafat sebelum kompleks itu selesai. Beliau pun dimakamkan di Giriloyo.
Karena lokasi tersebut telah digunakan dan lahannya terbatas, Sultan Agung mencari tempat baru. Konon, beliau mendapat petunjuk setelah melempar segenggam tanah dari Mekah. Tanah itu jatuh di Bukit Merak dan mengeluarkan aroma wangi. Sultan Agung pun memilih bukit ini sebagai lokasi makam keluarga raja. Pembangunan Makam Raja Imogiri di Bukit Merak dimulai pada tahun 1554 Caka atau 1632 Masehi seperti dikutip dari laman jogjacagar.jogjaprov.go.id.
Sultan Agung wafat pada tahun 1646 M. Beliau menjadi raja pertama yang dimakamkan di Imogiri. Makamnya menempati posisi tertinggi sebagai penghormatan.
Filosofi dan Arsitektur Penuh Makna
Pemilihan lokasi di atas bukit bukanlah tanpa alasan. Ini merupakan kelanjutan tradisi pra-Islam. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa tempat tinggi memiliki tingkat kesakralan yang tinggi karena di lokasi ini bersemayamnya roh para leluhur.
Arsitektur Makam Raja di Imogiri memadukan unsur Hindu dan Islam secara harmonis. Beberapa keunikan arsitekturnya antara lain:
Ratusan Anak Tangga: Untuk mencapai puncak, peziarah harus menaiki ratusan anak tangga. Jumlahnya yang mencapai 409 undakan disebut melambangkan siklus kehamilan manusia. Tangga ini dibuat pendek agar peziarah yang mengenakan busana adat Jawa dapat melangkah dengan mudah.
Gapura Supit Urang: Ini adalah gerbang utama yang ikonik. Bangunan ini menjadi penanda batas menuju area utama kompleks Kasultanagungan.
Gapura Paduraksa: Berbeda dari Supit Urang, gapura ini memiliki atap dan daun pintu. Ornamen sayap di kedua sisinya melambangkan arwah yang terlepas dari jasad, seperti burung yang terbang bebas dari sangkarnya.
Teknik Bata Kosod: Dinding bangunan di sini tidak memakai semen. Para arsitek zaman dulu menggunakan teknik kosod. Mereka menggosokkan dua permukaan bata dengan sedikit air hingga keluar cairan perekat alami.
Pembagian Kompleks Makam Milik Dua Keraton
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membagi wilayah Mataram. Kerajaan terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Namun, Makam Raja Imogiri tetap menjadi “harta suci” milik bersama. Kedua keraton memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk merawat dan melestarikannya.
Secara garis besar, kompleks makam terbagi menjadi tiga kelompok utama yang berderet dari barat ke timur:
Kelompok Raja-Raja Mataram yang terdiri dari Kedhaton Sultan Agungan dan Kedhaton Pakubuwanan.
Selanjutnya Kelompok Raja-Raja Kasunanan Surakarta yang mencakup Kedhaton Bagusan, Kedhaton Astana Luhur, dan Kedhaton Girimulya.
Kelompok Raja-Raja Kasultanan Yogyakarta: Terdiri dari Kedhaton Kasuwargan, Kedhaton Besiyaran, dan Kedhaton Saptarengga.
Di dalam Kedhaton Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana I dan III dimakamkan di Kasuwargan. Sementara Sri Sultan Hamengku Buwana IV, V, dan VI berada di Besiyaran. Adapun Sri Sultan Hamengku Buwana VII, VIII, dan IX bersemayam di Saptarengga.
Aturan dan Tata Krama Berkunjung
Karena kesakralannya, pengunjung wajib menaati aturan yang berlaku. Harus selalu menjaga sikap sopan dan tutur kata yang baik. Pengelola mewajibkan pengunjung untuk mengenakan pakaian adat Jawa jika ingin memasuki area makam utama. Pengunjung bisa menyewa pakaian ini di sekitar lokasi.
Beberapa aturan penting lainnya adalah larangan mengambil foto di dalam area makam. Di area tertentu, pengunjung juga harus melepaskan alas kaki. Di dekat gerbang, terdapat empat padasan atau gentong besar berisi air suci. Ada kepercayaan bahwa air dari Padasan Kyai Mendhung, Nyai Siyem, Kyai Danumaya, dan Nyai Danumurti ini memiliki khasiat.
Hingga kini, Makam Raja di Imogiri tidak hanya menjadi tujuan wisata sejarah. Ia adalah cerminan kebesaran peradaban Mataram. Setiap sudutnya menyimpan kisah, filosofi, dan kearifan yang abadi di puncak bukit yang agung. (Tri/dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
