Cemburu yang Dibenarkan oleh Syariat Islam
Dalam kehidupan rumah tangga, perasaan cemburu adalah hal yang sangat manusiawi. Namun dalam Islam, tidak semua bentuk cemburu dianggap buruk. Bahkan, ada cemburu yang justru dipuji dan dianjurkan karena muncul dari rasa cinta yang dilandasi iman, akhlak, dan tanggung jawab terhadap kehormatan serta batasan-batasan syariat. Inilah yang disebut sebagai ghirah dalam bahasa Arab, yakni cemburu yang dibenarkan oleh syariat.
1. Makna Ghirah dalam Islam
Ghirah adalah kecemburuan yang timbul karena adanya pelanggaran terhadap kehormatan atau nilai-nilai Islam. Perasaan ini bukan hanya milik suami terhadap istri, tetapi juga sebaliknya, dan bahkan bisa meluas pada seorang Muslim yang merasa tidak rela ketika melihat kemungkaran terjadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan orang mukmin pun cemburu. Dan kecemburuan Allah adalah ketika seorang mukmin melakukan sesuatu yang diharamkan oleh-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, ghirah bukan sekadar emosi, tetapi merupakan refleksi dari keimanan seseorang yang tidak rela jika aturan-aturan Allah dilanggar.
2. Cemburu yang Terpuji (Cemburu Syari’i)
Beberapa bentuk cemburu yang dibenarkan dalam syariat antara lain:
a. Cemburu terhadap kehormatan pasangan
Suami atau istri boleh merasa cemburu bila pasangannya menunjukkan sikap yang berpotensi mengundang godaan lawan jenis, seperti cara berpakaian, berbicara, atau berinteraksi yang tidak pantas. Dalam hal ini, cemburu adalah bentuk penjagaan terhadap martabat keluarga.
> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tiga golongan yang Allah haramkan surga atas mereka: pecandu khamr, orang yang durhaka kepada orang tuanya, dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap keluarganya).” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Dayyuts adalah pria yang membiarkan kemungkaran terjadi pada keluarganya tanpa rasa cemburu. Maka, cemburu yang mencegah kehinaan dan maksiat dalam rumah tangga adalah cemburu yang terpuji.
b. Cemburu ketika pasangan mulai lalai dari agama
Jika seorang suami atau istri melihat pasangannya mulai meninggalkan kewajiban agama, maka rasa cemburu bisa tumbuh dalam bentuk keprihatinan dan dorongan untuk kembali ke jalan yang benar. Misalnya, istri yang merasa “cemburu” ketika suaminya mulai lalai shalat berjamaah, atau suami yang merasa tidak nyaman saat istrinya tidak lagi mengenakan hijab.
Ini adalah bentuk kecemburuan terhadap kualitas iman pasangan yang sangat dianjurkan.
c. Cemburu terhadap perhatian pasangan kepada lawan jenis
Seorang Muslim diperbolehkan merasa cemburu jika pasangannya terlalu dekat atau akrab dengan lawan jenis yang bukan mahram, meski sekadar melalui percakapan online atau interaksi sosial. Cemburu dalam hal ini bisa menjadi penjaga keharmonisan dan batasan syariat.
3. Batasan Cemburu dalam Islam
Walau cemburu dibolehkan dan bahkan dianjurkan dalam hal tertentu, Islam tetap memberikan batas agar cemburu tidak berubah menjadi sikap yang berlebihan (ghirah yang buta).
> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya ada cemburu yang Allah cintai, dan ada pula yang Allah benci. Cemburu yang Allah cintai adalah cemburu dalam hal yang patut dicemburui, dan yang dibenci adalah cemburu dalam hal yang tidak patut dicemburui.” (HR. Abu Dawud)
Dengan kata lain, cemburu harus didasari fakta dan sikap bijak, bukan hanya perasaan atau prasangka. Islam melarang suami atau istri menjadi pencemburu buta yang terus mencurigai tanpa dasar.
4. Contoh Cemburu Terpuji dalam Kehidupan Nabi
Kisah para istri Rasulullah ﷺ pun menunjukkan bahwa cemburu adalah bagian dari dinamika rumah tangga yang wajar, namun bisa dikendalikan dengan keimanan dan akhlak mulia.
Suatu ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha merasa cemburu kepada istri Nabi yang lain dan menunjukkan reaksinya. Namun, Rasulullah ﷺ dengan lembut menasihatinya tanpa membentak atau mempermalukan. Ini menunjukkan bahwa cemburu bukan untuk dipadamkan sepenuhnya, tapi diarahkan dengan kebijaksanaan.
5. Cemburu yang Tidak Dibenarkan
Islam mengecam beberapa bentuk cemburu, di antaranya:
Cemburu berlebihan tanpa alasan, yang menyebabkan fitnah, tuduhan, dan pertengkaran.
Cemburu karena ingin menguasai secara egois, hingga membatasi pasangan dalam hal yang dibolehkan agama.
Cemburu terhadap keberhasilan atau perhatian orang lain, yang berujung pada iri hati atau hasad.
6. Menumbuhkan Cemburu yang Sehat dalam Rumah Tangga
Berikut beberapa cara agar rasa cemburu dalam rumah tangga tetap dalam koridor syariat:
Bangun komunikasi terbuka. Jika ada yang membuat tidak nyaman, bicarakan dengan jujur dan penuh kasih sayang.
Perkuat iman dan akhlak. Cemburu yang sehat lahir dari hati yang ingin menjaga, bukan mencurigai.
Jaga batasan pergaulan. Baik suami maupun istri hendaknya menjauhi hal-hal yang menimbulkan kecurigaan.
Berprasangka baik. Jangan terburu-buru menuduh. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip husnuzhan.
7. Penutup: Cemburu yang Menjaga, Bukan Membakar
Cemburu dalam Islam bukanlah musuh, melainkan penjaga. Ia menjaga cinta dari keburukan, menjaga kehormatan dari kerusakan, dan menjaga iman dari godaan syaitan. Namun, ia harus dipandu dengan ilmu dan akhlak.
Cemburu yang syar’i adalah ekspresi dari cinta yang tulus dan tanggung jawab moral sebagai pasangan. Ia bukan pemicu keretakan, tetapi perekat kepercayaan dan penjaga kesetiaan.
Maka, milikilah cemburu karena Allah, bukan karena nafsu. Jadikan ghirah sebagai bentuk ibadah, bukan luapan amarah. Dengan begitu, rumah tangga akan tetap hangat dalam cinta dan terlindungi dalam ridha-Nya.
> “Ya Allah, anugerahkan kepada kami hati yang bersih dari iri dan dendam, serta ghirah yang menjaga kehormatan tanpa melampaui batas.” (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
