Jangan Sedih Jika Anakmu Tidak S1, S2, atau S3 — Tapi Sedihlah Jika Ia Tidak Mengenal Rabb-nya.
Dalam masyarakat kita yang modern dan serba kompetitif, pencapaian akademik sering dijadikan tolok ukur keberhasilan. Banyak orang tua menaruh harapan besar agar anaknya menjadi sarjana, meraih gelar S1, bahkan S2 dan S3. Tak sedikit pula yang merasa malu atau kecewa jika anak mereka tidak bisa melanjutkan kuliah atau hanya memiliki pendidikan rendah.
Namun, pernahkah kita bertanya dalam hati: Apakah benar anak yang tidak kuliah itu gagal? Apakah hanya anak yang berpendidikan tinggi yang bisa membanggakan orang tua?
Gambar yang berisi kutipan dari Al-Ustadz Firanda Andirja ini menyentak kesadaran banyak orang tua. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan duniawi hanyalah sebagian kecil dari misi hidup manusia. Justru yang paling penting — yang akan dibawa ke alam kubur — adalah pemahaman anak terhadap agamanya. Bukan ijazah. Bukan gelar akademik. Tapi iman, akhlak, dan ibadah.
Pendidikan Duniawi Bukan Segalanya
Pendidikan formal tentu penting. Tak ada yang meragukan nilai ilmu pengetahuan. Bahkan dalam Islam, ilmu itu sangat dimuliakan. Tetapi ilmu duniawi tanpa pondasi keimanan dan akhlak hanyalah bangunan rapuh. Ia bisa runtuh kapan saja. Seorang yang cerdas tetapi tidak mengenal Allah bisa menyalahgunakan ilmunya untuk kerusakan. Seorang bergelar doktor tapi tidak takut akhirat bisa menjadi perusak umat.
Sebaliknya, seseorang yang mungkin tidak sempat menempuh bangku kuliah, namun istiqamah dalam sholat, menjaga lisannya, menghormati orang tua, dan membaca Al-Qur’an setiap hari, lebih berharga di sisi Allah dan lebih menenangkan hati orang tua yang beriman.
Sholat: Tiang Agama yang Sering Diremehkan
Dalam kutipan tersebut disebutkan: “Sedihlah jika anakmu tidak sholat.” Ini bukan perkara sepele. Sholat adalah tiang agama. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Perjanjian antara kami dan mereka adalah sholat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i)
Bayangkan seorang anak yang tak pernah mengerjakan sholat, tidak tahu tata caranya, bahkan enggan diajak ke masjid. Lalu kelak orang tuanya wafat. Ketika jenazah dibawa ke rumah, apakah anak itu akan memimpin sholat jenazah? Apakah ia mampu mendoakan orang tuanya? Apakah ia akan mengerti tata cara penguburan yang sesuai sunnah?
Betapa hancur hati orang tua jika melihat anak yang dibesarkannya bertahun-tahun, tak mampu berdiri di belakang jenazahnya untuk sholat. Tak tahu apa itu doa qunut, tak tahu bacaan dalam sujud, tak pernah menyentuh mushaf Al-Qur’an.
Anak Gadis yang Tidak Berhijab Syar’i
Dalam potongan lain, disebutkan pula tentang anak gadis yang tidak berhijab syar’i. Ini adalah cerminan dari kurangnya pengajaran agama sejak dini. Bukan hanya tentang penutup aurat, tetapi tentang bagaimana menanamkan rasa malu, rasa takut kepada Allah, dan kecintaan kepada syariat-Nya.
Hijab bukan semata-mata penutup kepala, tapi simbol ketaatan. Ia adalah penjaga kehormatan wanita muslimah. Jika anak tidak diajarkan sejak dini tentang keindahan menjaga diri, maka ia akan mudah terbawa arus mode, budaya liberal, dan pandangan yang menyesatkan.
Tak Mau Belajar Agama dan Tak Bisa Baca Qur’an
Banyak anak muslim saat ini yang lebih fasih menyebut karakter animasi dalam bahasa asing daripada menyebut 25 nama nabi. Mereka lebih semangat menonton film luar negeri daripada membaca satu halaman Al-Qur’an. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam main game, tapi malas datang ke majelis ilmu.
Siapa yang harus disalahkan? Tentu bukan sepenuhnya anak. Dalam banyak kasus, orang tua adalah cermin awal yang dilihat anak. Jika orang tua lebih bangga saat anak juara lomba matematika tapi diam saat anak bisa menghafal surat Al-Baqarah, maka anak akan menyimpulkan bahwa agama bukan prioritas.
Kematian Adalah Kenyataan Pasti
Ketika seseorang meninggal, satu-satunya yang dibawanya adalah amal. Tak ada ijazah yang dikuburkan bersamanya. Tak ada nilai IPK yang bisa menyelamatkan di alam barzakh. Maka pertanyaan pentingnya adalah: Sudahkah kita mempersiapkan anak-anak kita agar mampu menjadi penerang dalam kubur kita kelak?
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Anak sholeh yang mendoakan kita. Inilah warisan terbaik. Anak yang tahu tata cara menyolatkan jenazah. Anak yang membaca Yasin untuk ayahnya. Anak yang menyumbang sedekah atas nama ibunya. Anak yang terus memohonkan ampun untuk orang tuanya setiap hari. Anak seperti inilah yang mahal harganya.
Pendidikan Agama Harus Dimulai dari Rumah
Sekolah bisa mengajarkan ilmu. Madrasah bisa membimbing hafalan. Tapi rumah adalah madrasah pertama. Orang tua adalah guru pertama. Jangan tunggu guru ngajinya, tapi jadilah guru pertama bagi anakmu.
Ajarkan ia sholat sejak usia tujuh. Kenalkan ia pada wudhu, ajarkan adab makan, biasakan mengucap salam, tanamkan cinta pada Nabi. Bacakan kisah para sahabat. Jadikan Al-Qur’an sebagai sahabat harian di rumah. Jangan biarkan rumah kosong dari dzikir.
Jangan Sibuk Mengejar Dunia Saja
Sebagai orang tua, kita tentu ingin yang terbaik untuk anak. Tapi definisi “terbaik” itu jangan hanya bersifat duniawi. Anak yang berhasil bukan semata yang bekerja di kantor mewah. Anak yang sukses bukan hanya yang digaji tinggi. Tapi anak yang tahu hakikat hidup, tahu tujuan hidup, tahu siapa Rabb-nya, dan tahu bagaimana menyiapkan akhiratnya.
Jangan sampai kita terlalu sibuk menabung untuk biaya kuliah anak, tapi lupa menabung amal yang membuat Allah ridha. Jangan sampai kita semangat membayar bimbingan belajar, tapi enggan membayar guru ngaji. Jangan sampai kita sibuk memilih universitas terbaik, tapi tidak pernah memilihkan majelis taklim terbaik untuk anak-anak.
Penutup: Ukuran Keberhasilan Anak yang Sesungguhnya
Ukuran keberhasilan anak bukan pada gelarnya, tapi pada doanya setelah kita tiada. Bukan pada jumlah sertifikatnya, tapi pada jumlah ayat yang dihafalnya. Bukan pada kehebatannya berbicara di seminar, tapi pada kekhusyukannya dalam tahajud. Bukan pada banyaknya follower, tapi pada banyaknya kebaikan yang ia wariskan.
Maka jangan sedih jika anakmu tidak kuliah. Tapi bersedihlah jika ia jauh dari agama. Karena dunia hanya sementara, sedangkan akhirat selamanya. Jika anak kita berhasil di dunia tapi gagal di akhirat, itu kerugian besar bagi orang tua.
Semoga kita semua diberi kekuatan untuk mendidik anak-anak dalam cahaya Islam. Dan semoga kelak ketika jasad kita terbujur kaku, ada anak-anak yang sholeh dan sholehah berdiri di belakang jenazah kita, mengangkat tangan, dan berkata:
“Ya Allah, ampunilah kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sejak kecil…” Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
