Mendamaikan Dua Pemikiran: Seni Menyatukan Perbedaan dengan Hati dan Hikmah.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada dua pemikiran yang bertentangan. Bisa itu antara dua orang, dua kelompok, bahkan dua arus dalam diri sendiri. Salah satu tanda kedewasaan dan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mendamaikan dua pemikiran, bukan sekadar memenangkan satu sisi dan mengalahkan sisi lain. Karena damai bukan berarti semua orang setuju, tapi semua pihak bisa hidup berdampingan tanpa permusuhan.
1. Mengapa Pemikiran Bisa Bertentangan?
Perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Hal ini bisa disebabkan oleh:
Latar belakang yang berbeda (pendidikan, pengalaman, budaya).
Sudut pandang yang tidak sama.
Tujuan dan kepentingan yang tak searah.
Emosi yang mempengaruhi cara berpikir.
Kurangnya komunikasi yang jernih.
Namun, perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dikelola dengan bijak.
2. Nilai Penting di Balik Mendamaikan Pemikiran
Menumbuhkan saling pengertian.
Mencegah konflik yang merusak.
Menghasilkan solusi yang lebih adil dan menyeluruh.
Membangun hubungan yang kuat dan tahan uji.
Mencerminkan akhlak dan kecerdasan emosional.
Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling berselisih. (QS. Al-Hujurat: 13)
3. Langkah-Langkah Mendamaikan Dua Pemikiran
a. Dengarkan Kedua Sisi dengan Tulus
Banyak konflik bertahan bukan karena perbedaan, tetapi karena tidak ada yang mau benar-benar mendengar. Dengarkan bukan untuk membalas, tapi untuk memahami.
b. Cari Titik Temu, Bukan Titik Menang
Tujuan bukan membenarkan salah satu, tetapi mendekatkan pandangan agar bisa selaras atau minimal bisa saling menerima.
c. Kendalikan Emosi
Ketika emosi naik, logika turun. Mendamaikan dua pemikiran membutuhkan hati yang tenang dan kepala yang dingin.
d. Gunakan Bahasa yang Netral
Pilih kata-kata yang tidak memicu pertahanan diri. Hindari kata “kamu salah” dan gunakan pendekatan “bagaimana kalau kita lihat dari sisi lain?”
e. Kembali pada Prinsip Bersama
Dalam Islam, kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah adalah jalan terbaik. Dalam hubungan umum, kembali pada nilai bersama seperti keadilan, kebaikan, dan kemanusiaan bisa menjadi jembatan penyatu.
4. Contoh Sederhana
Dalam keluarga: Suami ingin pindah kota karena pekerjaan, istri ingin tetap dekat keluarga. Maka, solusi bisa dicari dengan diskusi: apakah bisa mencoba beberapa bulan dahulu, atau mencari alternatif kerja yang tidak terlalu jauh.
Dalam organisasi: Dua pengurus berbeda pendapat soal program kerja. Yang satu ingin kegiatan dakwah ke luar, yang satu ingin fokus pembinaan internal. Pemimpin yang bijak akan melihat bahwa keduanya penting, dan merancang jadwal agar keduanya berjalan bergantian.
5. Kisah Bijak dari Sejarah Islam
Imam Syafi’i dan Imam Malik pernah berbeda pendapat soal fiqih. Tapi perbedaan mereka tidak membuat hati mereka keras atau saling menyalahkan. Justru mereka saling menghormati dan mencontohkan adab dalam perbedaan.
Begitu pula Sayyidina Ali dan Mu’awiyah, meski memiliki konflik politik besar, masih saling menjaga martabat masing-masing. Tidak memaki, tidak mencaci. Karena di atas perbedaan pemikiran, ada ukhuwah Islamiyah.
6. Perbedaan Itu Ujian, Tapi Juga Anugerah
Kadang, dua pemikiran bertentangan bukan untuk dipilih salah satu, tetapi untuk dipadukan demi solusi yang lebih kuat.
Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan satu warna. Langit dan bumi, siang dan malam, laki-laki dan perempuan — semuanya berbeda, tapi saling melengkapi.
Demikian juga pemikiran manusia. Dengan kehendak Allah, masing-masing diberi kemampuan menilai, menimbang, dan memahami. Maka tugas kita bukan memaksakan satu cara pandang, tetapi menyatukan hati dalam keberagaman sudut pandang.
7. Penutup: Damai Itu Pilihan Orang Besar
Mendamaikan dua pemikiran bukan pekerjaan orang lemah. Itu kerja orang kuat — yang berani merendah, yang rela mendengar, yang mampu mengedepankan hikmah di atas ego.
> “Bukan kuat karena bisa mengalahkan orang lain, tapi kuat adalah yang bisa mengalahkan dirinya saat marah.”
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita belajar menjadi penengah, bukan pemecah. Pendamai, bukan penghasut. Karena damai itu tidak hanya indah, tapi juga menyelamatkan. Jika Anda ingin konten ini dikembangkan dengan kisah tambahan atau kutipan dari tokoh dan ulama, saya siap membantu. (Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
