Opinion
Beranda » Berita » Jeritan Sunyi dari Bumi Cenderawasih: Keadilan yang Tak Kunjung Datang

Jeritan Sunyi dari Bumi Cenderawasih: Keadilan yang Tak Kunjung Datang

Jeritan Sunyi dari Bumi Cenderawasih: Keadilan yang Tak Kunjung Datang.

 

Di balik keindahan alam Papua yang memukau, tersimpan jeritan hati yang sunyi namun menggetarkan. Gambar yang memperlihatkan seorang anak Papua menangis sambil memegang papan bertuliskan: “Melawan dibilang teroris, diam kekayaan alam dicuri terus, tidak ada hasil buat kami orang Papua” adalah potret perasaan yang terpendam begitu lama. Ini bukan sekadar curahan emosi, melainkan cermin dari realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat Papua sejak lama.

Papua adalah wilayah yang kaya raya. Emas, tembaga, hutan lebat, laut yang penuh ikan, dan tanah yang subur adalah berkah alam yang luar biasa. Namun, ironinya, kekayaan tersebut belum mampu menghadirkan kemakmuran yang merata bagi penduduk aslinya. Sebaliknya, justru menjadi sumber konflik dan penderitaan.

Ketika Melawan Disebut Teroris

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Narasi “melawan berarti teroris” adalah stigma yang menyakitkan dan berbahaya. Di banyak kasus, masyarakat Papua yang menyuarakan hak-haknya, memperjuangkan keadilan, atau sekadar menuntut perhatian dari pemerintah pusat, sering kali diberi label negatif. Mereka dianggap ancaman keamanan, bukan warga negara yang sedang memperjuangkan hak hidup layak.

Padahal, tindakan membela diri dari ketidakadilan adalah hak setiap manusia. Jika masyarakat Papua menyuarakan protes karena ketimpangan pembangunan, ketidakterwakilan dalam kebijakan, atau karena eksploitasi alam mereka, itu seharusnya menjadi alarm bagi negara untuk mendengarkan, bukan menindas.

Diam, Kekayaan Alam Dicuri Terus

Selama puluhan tahun, tambang-tambang raksasa telah mengeksploitasi isi perut bumi Papua. Perusahaan besar menambang emas, tembaga, dan hasil bumi lainnya dengan nilai triliunan rupiah. Namun, sebagian besar dari kekayaan itu tidak kembali ke masyarakat lokal. Yang tersisa hanyalah luka di tanah mereka, sungai yang tercemar, dan hutan yang gundul.

Masyarakat lokal yang bergantung pada alam untuk hidup—berburu, menangkap ikan, bertani—menjadi korban langsung dari eksploitasi ini. Sungai-sungai yang dahulu menjadi sumber air bersih kini tercemar limbah industri. Hutan yang dulu menjadi tempat berburu kini berganti menjadi lahan tambang atau perkebunan besar.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Tidak Ada Hasil Buat Kami Orang Papua

Kalimat ini menggambarkan betapa getirnya kenyataan yang harus diterima. Meskipun Papua menyumbang kekayaan besar bagi Indonesia, tingkat kemiskinan di wilayah ini masih tinggi. Akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sangat timpang dibandingkan daerah lain.

Listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan yang layak masih menjadi kemewahan di banyak wilayah pedalaman Papua. Sekolah-sekolah masih kekurangan guru dan fasilitas. Rumah sakit sering kali tidak memiliki tenaga medis yang cukup. Anak-anak Papua masih harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk belajar, atau bahkan putus sekolah karena tidak adanya akses pendidikan yang memadai.

Persoalan Bukan Sekadar Ekonomi

Masalah yang dihadapi Papua bukan hanya soal ekonomi atau pembangunan. Ini juga menyangkut pengakuan terhadap identitas dan martabat mereka sebagai manusia dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Masyarakat Papua merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan besar yang menyangkut tanah leluhur mereka.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ketika suara mereka dibungkam, ketika perjuangan mereka disalahpahami, ketika identitas mereka dipinggirkan, maka wajar jika mereka merasa terasing di tanah sendiri. Rasa kecewa, marah, dan frustrasi adalah wujud dari luka yang terus dibiarkan menganga.

Solusi: Dengarkan, Hargai, Berdayakan

Sudah saatnya kita berhenti menilai Papua hanya dari segi kekayaan alamnya. Kita harus mulai melihat Papua dari sisi manusianya—dari anak-anak yang ingin sekolah, dari petani yang ingin hidup layak, dari ibu-ibu yang ingin kesehatan untuk anaknya, dari pemuda yang ingin masa depan cerah.

Pemerintah harus membuka ruang dialog yang adil dan setara, bukan menekan aspirasi dengan senjata dan stigma. Keadilan hanya bisa hadir jika suara dari akar rumput didengar dengan hati terbuka. Pembangunan di Papua harus berbasis partisipasi, bukan sekadar proyek infrastruktur yang kadang tak menyentuh kebutuhan masyarakat setempat.

Lebih penting lagi, hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah, hutan, dan sumber daya mereka harus dijamin. Jangan sampai mereka terusir dari tanah leluhur sendiri karena investasi dan kepentingan korporasi.

Anak Itu Adalah Suara Generasi

Gambar anak yang menangis sambil memegang papan protes adalah simbol dari generasi baru Papua yang tidak ingin masa depan mereka hancur oleh ketidakadilan. Mereka ingin dihormati, dihargai, dan diperlakukan setara sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak Papua tumbuh dalam suasana damai, adil, dan sejahtera. Kita tidak boleh tinggal diam saat ketimpangan terus berlangsung. Karena membiarkan ketidakadilan berarti menjadi bagian dari ketidakadilan itu sendiri.

Penutup

Papua bukan hanya tentang tambang dan hasil bumi. Papua adalah tentang manusia, budaya, martabat, dan masa depan. Jangan sampai mereka terus menangis karena kita semua lalai mendengarkan jeritan mereka. Sudah waktunya Indonesia benar-benar hadir di Papua, bukan hanya dengan proyek, tapi dengan cinta, keadilan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement