Kisah
Beranda » Berita » Kisah Penyakit Hati dari Sebutir Delima Pahit

Kisah Penyakit Hati dari Sebutir Delima Pahit

Ilustrasi : Ibrahim Al Khowasi bertemu seorang kakek.

SURAU.CO –  Penyakit hati sering kali tidak terlihat oleh mata. Ia bersemayam di dalam jiwa, lebih berbahaya dari luka fisik manapun. Inilah pelajaran berharga yang dialami oleh seorang wali besar, Ibrahim Al Khowasi. Ia adalah sosok yang merasa dirinya begitu dekat dengan Allah. Kisah ini menjadi cerminan bagi siapa saja yang meniti jalan spiritual.

Pada suatu hari, Ibrahim Al Khowasi memulai sebuah perjalanan spiritual. Ia melakukan safar untuk mendalami makrifat dan hakikat. Perjalanannya begitu berat. Ia telah menempuh gunung demi gunung. Ia melewati hujan dan panas silih berganti. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah padang tandus yang gersang.

Di tengah padang itu, rasa haus mencekik lehernya. Terik matahari menyengat sekujur tubuhnya dengan kejam. Zat cair di dalam jasadnya seakan diperas hingga habis. Kondisinya sangat lemah. Dahaganya kian memuncak. Bibirnya terasa kering dan pecah-pecah. Pandangan matanya pun mulai berkunang-kunang.

Godaan di Tengah Keputusasaan

Di tengah penderitaannya, Ibrahim Al Khowasi melihat secercah harapan. Di atas sebuah bukit kecil, ia melihat sebatang pohon delima. Pohon itu satu-satunya pohon buah di antara semak gurun yang berduri. Pemandangan itu memberinya kekuatan baru.

Dengan sisa tenaga, ia menyeret langkahnya menuju bukit itu. Ia berharap dapat memuaskan dahaganya. Beruntung, di pohon itu terdapat sebutir buah delima kecil. Warnanya kuning ranum kemerah-merahan, tampak begitu segar.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Tanpa berpikir panjang lagi, Ibrahim Al Khowasi dengan gembira memetik buah itu. Ia tidak memikirkan siapa pemilik pohon tersebut. Ia juga tidak meminta izin terlebih dahulu. Hatinya dipenuhi bayangan manis tentang buah delima. Ia sudah membayangkan sebelumnya, betapa nikmat dan segar rasanya. Terlebih saat memakannya di tengah panas seterik itu.

Namun, kenyataan tidak sesuai dengan bayangannya. Buah delima itu rasanya justru hambar dan pahit. Ia buru-buru memuntahkannya. Mulutnya bahkan terasa getir dan gatal. Rasa kecewa menyelimuti hatinya.

Pertemuan dengan Sang Guru Misterius

Ibrahim kemudian meneruskan perjalanannya. Hari telah petang ketika ia tiba di sebuah daerah yang subur. Tempat itu penuh dengan bunga-bunga yang sedang mekar. Bau harum semerbak menyebar di udara.

Ketika ia hendak beristirahat, sebuah suara mengusik ketenangannya. Tiba-tiba terdengar suara tua mengerang-erang kesakitan. Suara itu berasal dari balik rumpun bunga yang rimbun. Ibrahim cepat-cepat mendatangi tempat itu. Ia berniat memberikan pertolongan jika diperlukan.

Di sana, ia melihat seorang kakek terbaring tanpa daya. Tubuhnya bengkak-bengkak akibat sengatan lebah berbisa. Ibrahim segera berjongkok untuk menolong kakek itu. Namun, kakek itu sudah keburu bangkit. Ia lantas duduk seraya menyapanya.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

“Apa kabar Ibrahim Al Khowasi?”

Wali besar ini sangat kaget mendengar si kakek menyebutkan namanya. Ia pun bertanya dengan penuh keheranan.

”Siapakah Tuan? Di mana Tuan mengenal saya, dan kapan kita pernah berjumpa?”

Kakek tadi menjawab dengan nada yang terdengar angkuh.

“Wahai Ibrahim, mengapa heran? Aku ini orang yang dekat dengan Allah. Aku tidak perlu bertemu dulu untuk mengenal dirimu dan mengetahui apa tujuan kepergianmu.”

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Pelajaran Tentang Penyakit Sebenarnya

Mendengar jawaban itu, Ibrahim Al Khowasi merasa tersinggung. Ia merasa kakek ini begitu sombong. Maka, ia membalas dengan nada menghakimi.

”Hei, orang tua. Alangkah angkuhnya sikapmu? Engkau mengaku dekat dengan Allah, tetapi badanmu penuh dengan luka-luka akibat sengatan lebah berbisa. Kalau memang dekat dengan Allah, bukankah seharusnya, tatkala lebah-lebah itu hendak menyerang tubuhmu, engkau bisa memohon kepada Allah agar melindungimu dari serbuan binatang–binatang kecil itu?”

Kakek tersebut hanya tersenyum mendengar ucapan Ibrahim. Ia lalu menyahut dengan kalimat yang menohok.

“Ternyata engkau masih picik Ibrahim. Aku tahu engkau pun menganggap dirimu telah dekat dengan Allah. Namun mengapa ketika tanganmu terangkat ke atas akan memetik buah delima yang engkau tidak tahu siapa pemiliknya dan engkau belum minta izin kepadanya, engkau tidak memohon agar Allah melindungimu dari perbuatan curang seperti itu? Ibrahim, sakitku ini akibat sengatan lebah, hanyalah sakit badan kasar yang akan sembuh kembali. Tetapi penyakitmu yang masih mudah tergiur oleh hawa nafsu adalah penyakit dalam, penyakit hati, yang akan terus mengeram dan menyebar menjadi benih-benih maksiat sepanjang hidupmu apabila engkau tidak segera bertobat dengan taubatan nasuha. Karena itu pulanglah engkau akan ke negerimu, renungkanlah dosamu, obatilah penyakit hatimu sebelum engkau berusaha mengobati orang lain. Banyaklah berzikir, mengingat Allah di samping beramal menyebarkan manfaat dan kebaikan kepada masyarakat sekelilingmu, kepada alam sekitarmu, tempat engkau dibangkitkan Allah untuk menjadi khalifah memelihara amanat Allah ini.”

Ucapan sang kakek menyadarkan Ibrahim Al Khowasi dari kealpaannya. Ia menyadari bahwa penyakit hati jauh lebih berbahaya. Penyakit seperti kesombongan, ujub, dan mudah mengikuti hawa nafsu adalah musuh sejati. Sementara luka fisik hanyalah ujian duniawi yang akan berlalu. Kisah penyakit hati Ibrahim Al Khowasi ini mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap godaan batin dan senantiasa menjaga kerendahan hati di hadapan Allah. (Tri)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement