SURAU.CO – Di selatan Keraton Yogyakarta, sebuah bangunan kokoh berwarna putih berdiri tegak di tengah persimpangan jalan. Bangunan ini dikenal sebagai Panggung Krapyak Yogyakarta. Bentuknya yang unik, menyerupai kubus raksasa, kerap mencuri perhatian siapa pun yang melintas. Meskipun kini berada di tengah permukiman padat, monumen ini menyimpan cerita panjang tentang masa lalu Yogyakarta yang masih berupa hutan belantara. Lokasi tepatnya di Jl Panjaitan-Jl Ali Maksum Dusun Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Panggung Krapyak Yogyakarta bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi bisu sejarah, bagian penting dari Sumbu Filosofis Yogyakarta, dan sebuah simbol kaya makna tentang kehidupan. Dibangun pada tahun 1760, bangunan ini tetap berdiri megah, mengundang kita untuk menelisik lebih dalam asal-usul dan tujuannya.
Sejarah Panggung Krapyak dan Peranannya di Masa Lalu
Untuk memahami fungsi Panggung Krapyak, kita harus kembali ke masa ketika wilayah selatan Keraton masih berupa hutan lebat. Hutan Krapyak saat itu menjadi habitat aneka satwa liar, termasuk rusa atau menjangan. Hal ini menjadikannya lokasi favorit bagi para raja untuk kegiatan berburu.
Sebuah peristiwa tragis menjadi latar belakang penting kawasan ini. Jauh sebelum Panggung Krapyak didirikan, Prabu Hanyokrowati, putra Panembahan Senapati, sangat gemar berburu di Hutan Krapyak. Pada tahun 1610, beliau wafat saat sedang berburu di area tersebut. Karena peristiwa itu, beliau kemudian dianugerahi gelar Panembahan Seda Krapyak (Panembahan yang Wafat di Krapyak).
Beberapa abad kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Panggung Krapyak pada tahun 1760. Sultan pertama Kesultanan Yogyakarta ini juga memiliki kegemaran berburu yang sama. Beliau membangun panggung ini dengan dua tujuan utama.
Pertama, sebagai pos berburu. Dari lantai atas panggung, Sultan dapat dengan leluasa mengamati pergerakan para prajurit dan kerabatnya saat berburu menjangan. Oleh karena itu, masyarakat lokal sering menyebut bangunan ini dengan nama Kandang Menjangan. Kedua, sebagai pos pertahanan. Lokasinya yang strategis di selatan Keraton memungkinkan para prajurit untuk memantau pergerakan musuh dari kejauhan dan memberikan peringatan dini jika ada bahaya mendekat.
Arsitektur Unik Kandang Menjangan
Panggung Krapyak memiliki arsitektur yang solid dan fungsional. Bangunan ini berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran detail 17,60 meter x 14,80 meter. Tingginya mencapai sekitar 7,35 meter, meskipun beberapa sumber menyebut hingga 10 meter. Dindingnya terbuat dari batu bata merah tebal yang dilapisi plester semen.
Struktur bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dibagi menjadi empat ruangan. Sebuah koridor sentral menghubungkan keempat ruangan tersebut dengan empat pintu masuk berbentuk lengkung di setiap sisinya. Di bagian tengah, terdapat empat pilar kokoh yang menjadi titik pertemuan dinding penyekat. Uniknya, satu-satunya hiasan di dalam bangunan adalah profil berbentuk padma (teratai) pada pilar tersebut.
Lantai atas merupakan area terbuka yang berfungsi sebagai tempat pengamatan. Pagar keliling membatasi area ini untuk memastikan keamanan Sultan dan pengiringnya saat berada di atas.
Makna Filosofis dalam Sumbu Imajiner Yogyakarta
Keistimewaan Panggung Krapyak tidak hanya terletak pada sejarah dan arsitekturnya. Bangunan ini memegang peranan krusial dalam Sumbu Filosofis Yogyakarta. Sumbu ini membentang lurus dari Gunung Merapi di utara, melintasi Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, hingga berakhir di Laut Selatan.
Dalam kosmologi Jawa, sumbu ini melambangkan perjalanan hidup manusia yang disebut “Sangkan Paraning Dumadi”. Frasa ini berarti “dari mana manusia berasal dan ke mana manusia akan kembali”. Panggung Krapyak, bersama Keraton dan Tugu, merepresentasikan konsep ini dalam konteks “Jagad Cilik” atau mikrokosmos (manusia).
Panggung Krapyak secara simbolis melambangkan “yoni” atau rahim seorang ibu, tempat asal mula kehidupan. Menurut kepercayaan, di sinilah roh suci dihembuskan ke dalam janin. Lokasinya di dekat Kampung Mijen, yang namanya berasal dari kata wiji (benih), semakin memperkuat makna ini.
Di ujung utara, Tugu Pal Putih melambangkan “lingga” atau elemen maskulin. Pertemuan simbolis antara “lingga” (Tugu) dan “yoni” (Panggung Krapyak) dengan Keraton sebagai pusatnya menggambarkan proses awal kelahiran manusia.
Panggung Krapyak Kini: Cagar Budaya yang Terjaga
Saat ini, pemerintah telah mengakui Panggung Krapyak sebagai warisan budaya yang tak ternilai. Pemerintah menetapkannya sebagai bangunan Cagar Budaya melalui SK PM.89/PW.007/MKP/2011 pada 17 Oktober 2011. Fungsinya memang telah berubah, namun pesona dan nilai historisnya tidak pernah luntur.
Bangunan ini menjadi pengingat akan visi besar Sri Sultan Hamengku Buwono I yang tidak hanya membangun sebuah kota, tetapi juga menanamkan nilai-nilai filosofis yang mendalam di setiap sudutnya. Mengunjungi Panggung Krapyak Yogyakarta adalah sebuah perjalanan melintasi waktu, dari pos berburu para raja hingga menjadi simbol abadi asal-usul kehidupan. (Tri)
Sumber: pariwisata.jogjakota.go.id cagarbudaya.kemdikbud.go.id bantulpedia.bantulkab.go.id
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.