Kisah
Beranda » Berita » Sunan Bonang, Santri dan Butiran Nasi

Sunan Bonang, Santri dan Butiran Nasi

Ilustrasi : Sunan Bonang sedang bersama santri-santrinya.

SURAU.CO – Sunan Bonang merupakan salah satu Wali Songo yang agung. Beliau dikenal karena metode dakwahnya yang bijaksana dan menyentuh. Sang Wali kerap mengembara untuk menyebarkan ajaran Islam. Ia tidak ragu berjalan sendirian menembus hutan belantara. Ia mendaki gunung tinggi dan menuruni jurang curam. Tujuannya satu, yaitu menjangkau dusun-dusun terpencil. Ia ingin cahaya Islam menerangi setiap sudut negeri. Metode dakwahnya selalu sederhana namun sarat makna.

Pada suatu kesempatan, Sunan Bonang tidak melakukan perjalanan seorang diri. Seorang santri setia menemaninya dalam pengembaraan itu. Mereka berdua melintasi jalur perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk bekal, mereka membawa nasi bungkus sederhana. Bekal itu mereka beli dari sebuah warung di desa.

Waktu zuhur pun tiba. Mereka berhenti di tepi sebuah telaga yang airnya jernih. Keduanya segera menunaikan salat. Setelah itu, guru dan murid ini beristirahat. Mereka duduk di tempat lapang di bawah naungan pohon beringin yang rindang. Perut mereka sudah keroncongan karena perjalanan panjang.

Contoh Perbuatan Jorok

Dengan penuh syukur, mereka membuka bekal nasi masing-masing. Tentu saja, mereka mengawalinya dengan membaca basmalah. Keduanya makan dengan sangat lahap. Saking nikmatnya, sang santri tidak menyadari sesuatu. Ada beberapa butir nasi yang menempel di pinggir mulutnya. Ia terus makan hingga selesai. Butiran nasi itu masih tertinggal di sana. Sunan Bonang sebagai guru yang teliti pun melihatnya. Beliau lantas menegur dengan tegas.

“Hai santri, Jorok kamu!”

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Sang santri terkejut mendengar teguran itu. Ia menatap gurunya dengan penuh keheranan.

“Mengapa Guru ?” tanya santri heran.

“Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman.”

Santri itu masih belum paham di mana letak kesalahannya.

“Apa saya jorok?”

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

“Itu di tepi bibirmu banyak butir nasi masih tertinggal,” jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.

Merasa malu, santri yang patuh itu segera bertindak. Ia mengusap bibirnya dengan cepat. Butiran-butiran nasi yang menempel itu ia buang begitu saja ke tanah. Melihat tindakan tersebut, Sunan Bonang justru kembali menghardiknya. Kali ini, suaranya terdengar lebih tajam.

“Hai, santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?”

Pikiran sang santri semakin bingung. Ia merasa serba salah. Satu per satu tindakannya dinilai keliru oleh sang guru. Ia pun mencoba membela diri.

“Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butuh nasi di mulut saya? Maka saya buang nasi itu. Apa harus saya makan?”

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Sunan Bonang menjelaskan dengan sabar namun tetap tegas. Beliau ingin muridnya memahami esensi ajaran, bukan sekadar bentuk luarnya.

“Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit.”

Sang santri mencoba mencerna penjelasan gurunya. Ia mencari pembenaran atas tindakannya.

“Berarti tindakan saya membuang nasi sisa di mulut saya tadi tidak salah?”

“Tidak.”

“Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?”

“Karena kamu memang bodoh.”

“Maksud Guru?”

Hikmah Pentingnya Niat

Di sinilah puncak dari kisah hikmah Sunan Bonang ini. Beliau menyampaikan sebuah pelajaran yang sangat mendalam tentang niat.

“Kau boleh membuang nasi sisa itu tetapi harus dengan niat. Yaitu karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi maka, buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh makhluk-makhluk Allah yang lain, seperti semut dan sebagainya. Sebab kalau tidak dengan niat begitu berarti kamu mubazirkan rezeki Allah, karunia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, niatkanlah dimakan anjing atau babi. Mereka juga makhluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis mugholadoh tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya.”

Pelajaran ini membuka cakrawala berpikir sang santri. Ia belajar bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki nilai yang bergantung pada niatnya. Membuang sisa nasi tanpa niat adalah perbuatan mubazir. Namun, membuangnya dengan niat untuk berbagi dengan makhluk lain adalah bentuk sedekah.

Ajaran Sunan Bonang ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan detail. Bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga manusia dengan alam semesta. Sikap menghargai rezeki dan menyayangi semua makhluk adalah inti dari ajaran tersebut. Bahkan kepada hewan yang dianggap najis sekalipun, kita tetap dianjurkan untuk berbuat baik. Kisah ini menjadi pengingat abadi tentang pentingnya niat dalam setiap amalan. (Tri)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement