SURAU.CO. Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M) menolak dengan tegas Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta. Pembahasan Raperda yang tengah bergulir di tingkat DPRD DKI Jakarta dinilai sangat merugikan berbagai sektor ekonomi. Aturan yang ada dalam rancangan tersebut berpotensi mengancam mata pencaharian jutaan warga. Hak-hak konsumen juga terancam menjadi terbatas dan tidak adil.
“Raperda KTR DKI Jakarta ini dibuat tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh. Sejumlah pasal di dalamnya berpotensi mematikan usaha skala kecil dan menengah yang sudah terpukul oleh berbagai krisis ekonomi selama beberapa tahun terakhir,” ungkap KH Sarmidi Husna Direktur P3M pada Selasa (10/6/2025).
Menurutnya draf Raperda KTR yang diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta sedikitnya 14 pasal yang bermasalah. Pasal-pasal ini merugikan masyarakat, pengusaha kecil, dan sektor ekonomi terkait. Kiai ,Sarmidi Husna merasa prihatin dan Ia menilai pembuatan Raperda ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi secara menyeluruh.
Pasal-Pasal Kontroversial yang Ancam Ekonomi Kecil
Kiai Sarmidi menjelaskan dari 14 pasal bermasalah, dan P3M menyebut ada beberapa poin krusial yang berisiko mematikan berbagai sektor usaha. Berikut adalah rinciannya.
Larangan Total Iklan dan Sponsor
Pasal 17 Ayat 5 menjadi sorotan utama. Pasal ini melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh Jakarta. Pelanggaran aturan ini mendapatkan denda besar, yakni Rp50.000.000. Larangan ini tidak memberikan pengecualian untuk acara atau festival. Padahal, banyak acara kreatif yang hidup dari sponsor industri rokok.
Sarmidi menambahkan, aturan ini dapat melumpuhkan industri kreatif. Event organizer juga akan sangat terdampak. “Larangan ini akan melumpuhkan industri kreatif dan event organizer yang selama ini terbantu oleh dana CSR dan sponsorship perusahaan rokok, terutama di tengah masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi,” tegasnya.
Aturan Penjualan yang Mustahil Diterapkan
Raperda ini juga mengatur jarak penjualan produk rokok. Pasal 17 Ayat 4 melarang penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah atau tempat bermain anak. Mengingat kepadatan Jakarta, aturan ini hampir mustahil hal tersebut terpenuhi. Hampir tidak ada lokasi usaha yang lolos dari ketentuan tersebut. Akibatnya, ribuan pedagang kecil terancam kehilangan sumber pendapatan utama mereka.
Selain itu, Pasal 17 Ayat 6 melarang pedagang memajang produk rokok. Pelanggaran ini mendapat ancaman denda Rp10.000.000. “Bagaimana mungkin kami menjual produk yang tidak boleh menampilkan produknya? Ini seperti meminta kami berjualan dalam kegelapan. Pembeli perlu melihat produk yang ingin dibeli,” keluh P3M dalam rilisnya, menyuarakan aspirasi pedagang kecil.
Definisi Rokok yang Terlalu Luas
Pasal 1 Ayat 6 mendefinisikan rokok secara sangat luas. Aturan ini menyamaratakan semua produk tembakau dan nikotin. Rokok konvensional, rokok elektronik, vape, hingga produk tembakau yang dipanaskan dianggap sama. Menurut Sarmidi, definisi ini mengabaikan konsep pengurangan bahaya (harm reduction). “Definisi ini mengabaikan penelitian ilmiah tentang spektrum risiko produk nikotin, menyamaratakan produk yang memiliki potensi risiko lebih rendah dengan rokok konvensional,” jelasnya.
Kewajiban Berat bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha juga terbebani dengan kewajiban yang memberatkan. Pasal 16 Ayat 1 huruf e mewajibkan setiap pengelola KTR membentuk satgas pengawasan internal. Jika tidak, denda sebesar Rp50.000.000 menanti. Kewajiban ini menambah beban operasional dan administrasi UMKM. “Bagaimana mungkin warung kopi atau kafe kecil mampu membentuk satgas khusus dengan sumber daya terbatas?” tanya P3M.
Dampak Ekonomi Domino
Sementara itru Koordinator Tim Kajian dan Advokasi Kebijakan P3M, Badrus Samsul Fata, menyebut Jakarta sebagai barometer ekonomi nasional. Regulasi yang berlebihan seperti Raperda KTR akan menciptakan efek domino negatif. “DKI Jakarta adalah barometer ekonomi nasional. Regulasi berlebihan dan tidak proporsional seperti Raperda KTR ini akan menciptakan efek domino negatif terhadap berbagai sektor ekonomi, dari retail hingga pariwisata, dari UKM hingga industri kreatif,” ujar Badrus.
P3M memproyeksikan beberapa dampak negatif jika Raperda ini disahkan:
1. Pendapatan pedagang eceran dan UMKM turun hingga 30%.
2. Pendapatan iklan media massa dan sektor terkait berkurang 25%.
3. Tingkat okupansi hunian hotel turun hingga 15%.
4. Jumlah acara dan festival di Jakarta berkurang hingga 40%.
Rekomendasi Mendesak
Berangkat dari hal tersebut , P3M mendesak pemerintah dan DPRD DKI Jakarta untuk mengambil langkah bijak. Mereka mengajukan enam rekomendasi utama:
1. Menghentikan pembahasan Raperda KTR dalam bentuknya saat ini.
2. Mengkaji ulang dengan mengacu pada Perda KTR Jawa Timur.
3. Melakukan kajian dampak regulasi yang komprehensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
4. Membentuk tim perumus baru yang menyeimbangkan aspek kesehatan dan ekonomi.
5. Menyelenggarakan dialog publik yang substantif, bukan sekadar formalitas.
6. Mengajak seluruh elemen masyarakat menolak Raperda yang mengancam kesejahteraan warga.
7. P3M menutup pernyataannya dengan seruan untuk dialog konstruktif. Mereka berharap bisa menciptakan regulasi yang melindungi kesehatan publik tanpa mengorbankan hak ekonomi warga.
” Kami mendesak pemerintah dan DPRD DKI Jakarta untuk membatalkan pembahasan Raperda ini dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih seimbang. Selain itu kami siap untuk terlibat dalam dialog konstruktif untuk menciptakan regulasi yang melindungi kesehatan publik sambil tetap menghormati hak ekonomi warga,” tutup Sarmidi Husna.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
