Masjid Sejarah
Beranda » Berita » Masjid Tua Wapauwe: Menyingkap Jejak Islam Tanah Maluku

Masjid Tua Wapauwe: Menyingkap Jejak Islam Tanah Maluku

Masjid Wapauwe merupakan salah satu masjid tertua di di Indonesia. ( foto dok wikipedia)

SURAU.CO.  Di jantung Maluku Tengah, tersimpan sebuah permata sejarah yang tak ternilai. Salah satunya adalah Masjid Tua Wapauwe. Bangunan ini tidak hanya megah, tetapi juga diakui sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia, yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1414. Lebih dari sekadar bangunan, masjid ini menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Islam di Kepulauan Rempah. Oleh karena itu, keberadaannya di Maluku sangat penting, baik dari sisi arsitektur maupun nilai historisnya yang begitu tinggi. Secara keseluruhan, masjid ini menyimpan cerita mendalam tentang ketahanan budaya lokal.

Selanjutnya, merujuk pada tulisan berjudul Masjid Tua Wapaue: 598 Tahun Merentang Zaman, menyebut bahwa Masjid Wapauwe berdiri di atas sebidang tanah bernama Teon Samaiha. Secara geografis, bangunan suci umat Islam ini berada di antara pemukiman penduduk Negeri Kaitetu, Wilayah Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Kaitetu sendiri merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 3 meter di atas permukaan laut. Tidak hanya itu, hal unik lainnya adalah kawasan sekitar Masjid Wapauwe juga kaya akan peninggalan purbakala. Sebagai contoh, kurang lebih 50 meter ke arah Tenggara, berdiri sebuah rumah kecil berdinding gaba-gaba yang oleh masyarakat Kaitetu disebut luma ana.

Namun, untuk memahami perjalanannya secara utuh, kita perlu kembali ke masa lalunya. Awalnya, masjid ini bernama Masjid Wawane. Nama tersebut diambil dari lokasi pertamanya yang berada di lereng Gunung Wawane. Sejarah mencatat, seorang tokoh penting bernama Perdana Jamilu yang mendirikan masjid ini. Beliau merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Jailolo di Maluku Utara. Sekitar tahun 1400, Perdana Jamilu tiba di Tanah Hitu dengan membawa misi suci, yakni menyebarkan ajaran Islam. Dakwahnya pun menyasar lima negeri di sekitar pegunungan, yaitu Assen, Wawane, Atetu, Tehala, dan Nukuhaly. Sejak saat itu, Masjid Wawane menjadi pusat kegiatan spiritual dan masyarakat pun mulai memeluk Islam secara bertahap.

Dua Kali Pindah Akibat Tekanan Kolonial

Ketenangan dalam berdakwah ternyata tidak berlangsung selamanya. Memasuki tahun 1614, situasi menjadi genting ketika Belanda mulai menunjukkan kekuasaannya di wilayah itu. Akibat gangguan tersebut, masyarakat terpaksa mengambil keputusan untuk memindahkan masjid ke lokasi yang lebih aman. Adapun lokasi baru itu adalah Kampung Tehala. Di tempat inilah masjid mendapat identitas barunya. Wilayah itu banyak ditumbuhi pohon mangga hutan yang oleh warga setempat disebut pohon Wapa. Dari sinilah nama Wapauwe lahir, yang berarti “masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu”. Nama ini pun melekat kuat hingga sekarang.

Akan tetapi, tekanan kolonial belum juga berakhir. Belanda akhirnya berhasil menguasai seluruh Tanah Hitu. Puncaknya pada tahun 1646, mereka memaksa penduduk untuk turun dari pegunungan ke pesisir. Akibatnya, masyarakat sekali lagi harus memindahkan masjid mereka. Lokasi terakhirnya adalah di Kaitetu, tempat di mana Masjid Tua Wapauwe berdiri kokoh hingga hari ini. Beberapa tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1664, Negeri Kaitetu pun resmi didirikan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Tidak hanya kaya akan sejarah, arsitektur Masjid Tua Wapauwe juga menampilkan keunikan yang luar biasa. Seluruh strukturnya terbuat dari material kayu pilihan. Hebatnya lagi, tidak ada satu pun paku besi yang ada dalam konstruksinya. Para leluhur menggunakan teknik pasak dan kunci kayu yang cerdas, sehingga membuat bangunannya sangat fleksibel. Bahkan, masjid ini dapat dibongkar-pasang dengan mudah, sebuah kemampuan yang terbukti saat proses perpindahannya. Meskipun usianya sudah lebih dari 600 tahun, struktur bangunannya tetap kokoh dan asli.  Masjid juga menyimpan peninggalan yang sangat berharga, yakni sebuah manuskrip Al-Qur’an kuno. tercatat manuskrip ini ada sejak abad ke-16. Hal ini menjadikannya salah satu warisan Islam tertulis tertua di Indonesia.

Hidup di Tengah Lanskap Sejarah yang Kaya

Lokasi Masjid Wapauwe saat ini sangat strategis secara historis. Kawasan di sekitarnya kaya dengan peninggalan masa lalu. Sekitar 150 meter dari masjid, misalnya, terdapat reruntuhan gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda, yang sayangnya rusak akibat konflik sosial di Ambon pada 1999. Selain itu, sekitar 50 meter dari gereja, berdiri sebuah benteng megah bernama Benteng Nieuw Amsterdam. Awalnya, benteng ini adalah loji dagang milik Portugis sebelum diambil alih oleh Belanda. Benteng ini menjadi saksi bisu perlawanan sengit para pejuang Hitu, termasuk dalam peristiwa Perang Wawane (1634–1643) dan Perang Kapahaha (1643–1646).

Dengan demikian, Masjid Tua Wapauwe sejatinya lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah monumen hidup sekaligus simbol ketahanan masyarakat Muslim Maluku. Keberadaannya menjadi bukti nyata kekuatan iman dalam menghadapi kolonialisme, sekaligus menunjukkan bagaimana Islam dapat tumbuh subur di timur Indonesia. Hingga kini, masjid ini terus menarik minat banyak orang. Para wisatawan dan peneliti datang silih berganti untuk belajar lebih dalam tentang sejarah Islam Nusantara. Bagi masyarakat setempat, masjid ini tetap menjadi pusat spiritual yang tak lekang oleh waktu, sebuah bukti nyata perjalanan panjang Islam di tanah Maluku. Warisan ini pun terus terjaga hingga sekarang . ( NH/berbgai sumber)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement