Kepemimpinan dalam konteks militer kerap kali diukur dari keberhasilan strategi atau dominasi kekuatan. Namun dalam sirah nabawiyah, kepemimpinan militer bukan hanya soal mengatur barisan pasukan atau memenangkan pertempuran. Ia dibangun di atas pondasi spiritual, moral, dan tanggung jawab terhadap umat dan kemanusiaan. Rasulullah telah memberi contoh bagaimana kekuatan militer digunakan dengan penuh hikmah dan keadilan, serta memilih panglima-panglima yang tidak hanya gagah di medan perang, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan, jujur dalam menjalankan amanah, dan sabar dalam menghadapi ujian.
Zaid bin Haritsah dalam Perang Mu’tah: Kepemimpinan yang Dibangun di Atas Amanah
Zaid bin Haritsah adalah salah satu sahabat Nabi yang sangat dicintai Rasulullah. Dalam Perang Mu’tah, sebuah ekspedisi yang mengirim 3.000 pasukan untuk menghadapi lebih dari 100.000 tentara Romawi dan sekutunya, Zaid ditunjuk sebagai panglima pertama. Penunjukan ini bukan tanpa alasan. Zaid dikenal sebagai pribadi yang taat, penuh keberanian, dan tidak pernah mengeluh dalam menjalankan amanah.
Dalam konteks kepemimpinan modern, apa yang dilakukan Zaid dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dari kepemimpinan yang berbasis pada amanah dan kepercayaan strategis. Ia tahu bahwa tugas yang diemban bukanlah jalan menuju kemenangan pribadi, melainkan wujud dari pengabdian total kepada prinsip dan tujuan yang lebih besar.
Keputusannya untuk tetap memimpin meski peluang menang nyaris tidak ada menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan soal kalkulasi pragmatis, tetapi tentang kesiapan untuk berkorban demi nilai. Menurut Afiyah, A., (2021) keberanian Zaid adalah bentuk keberanian moral, bukan hanya fisik. Ketika panglima biasa mungkin akan ragu memimpin dalam situasi yang tidak seimbang, Zaid justru melangkah mantap. Ia gugur sebagai syuhada, namun kisahnya hingga kini menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin militer modern: bahwa keteguhan dan integritas dalam memegang amanah lebih penting daripada sekadar kemenangan taktis.
Berbicara perihal tentang relevansinya dalam era modern, banyak institusi militer menghadapi tantangan kepemimpinan yang berkaitan dengan krisis moral dan etika. Kepemimpinan model Zaid mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus siap menghadapi risiko terbesar bahkan kehilangan nyawa demi prinsip dan keadilan. Dalam konteks pasukan penjaga perdamaian internasional, misalnya, pemimpin militer dituntut untuk tidak hanya menjaga stabilitas wilayah, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan di tengah tekanan politik dan konflik bersenjata.
Khalid bin Walid: Strategi Adaptif dan Kepemimpinan dalam Krisis
Khalid bin Walid masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah, dan langsung menunjukkan kehebatannya dalam bidang militer. Dalam Perang Mu’tah, setelah gugurnya tiga panglima yang telah ditunjuk Rasulullah (Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah), pasukan Muslim nyaris kehilangan arah. Dalam kondisi tersebut, para sahabat sepakat menunjuk Khalid bin Walid sebagai pemimpin. Di sinilah kepemimpinan adaptif Khalid diuji.
Nilai-nilai Kepemimpinan Militer Islam dan Implementasinya dalam Dunia Modern
Sejarah Rasulullah dan para panglima perangnya bukan sekadar narasi spiritual, tetapi juga sumber pengetahuan kepemimpinan yang berharga (Prayogi, A., dkk, 2022). Nilai-nilai seperti amanah (trust), ijtihad (berpikir dan bertindak rasional), dan syura (musyawarah) menjadi pilar penting yang membuat para pemimpin tersebut bukan hanya ditakuti, tetapi juga dihormati, bahkan oleh musuh-musuh mereka.
Shihab Al-Jubouri (2022) dalam penelitiannya menambahkan bahwa kepemimpinan militer Islam klasik juga dibentuk oleh fondasi spiritual. Mereka tidak memisahkan strategi dengan keikhlasan dan pengharapan kepada Allah. Inilah yang sering kali hilang dalam kepemimpinan militer modern yang terlalu mekanistik dan mengabaikan nilai-nilai spiritual dan etika.
Kisah Zaid bin Haritsah dan Khalid bin Walid membuktikan bahwa kepemimpinan militer dalam Islam bukan hanya soal kemampuan tempur, tetapi juga pengelolaan amanah, kecerdasan adaptif, keberanian moral, dan komitmen terhadap etika. Dalam konteks kontemporer, dunia militer membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan strategi dan nilai-nilai kemanusiaan. Kepemimpinan semacam ini tidak hanya relevan untuk medan perang, tetapi juga dalam pengambilan kebijakan strategis dan tanggung jawab kemanusiaan global.
Penulis: Yusri, Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
