Sosok
Beranda » Berita » Abid Al Jabiri dan Nalar Islam Modern

Abid Al Jabiri dan Nalar Islam Modern

Foto Muhammad Abid Al-Jabiri, Pemikir Maroko

SURAU.CO – Pemikiran Epistemologis Abid Al Jabiri membawa pembeharuan dalam cara berpikir dunia islam. Dulu, filsuf-filsuf modern sering memperdebatkan dua pendekatan utama dalam memahami dunia: rasionalisme yang mengandalkan akal dan empirisme yang mengandalkan pengalaman. Imanuel Kant mencoba menjembatani perdebatan itu lewat karya terkenalnya Kritik atas Akal Budi Murni, yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bisa tetap objektif.

Seiring waktu, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Awalnya, semua cabang ilmu berada dalam naungan filsafat. Namun, karena masing-masing memiliki karakteristik sendiri, berbagai ilmu seperti fisika, kimia, sosiologi, hingga psikologi akhirnya memisahkan diri dan berdiri sebagai disiplin tersendiri.

Sementara itu, banyak orang menganggap agama sebagai keyakinan pribadi, bukan ilmu pengetahuaAbin. Mereka menilai bahwa agama bersifat transendental, di luar jangkauan pengalaman manusia. Karena filsafat ilmu hanya mengakui pengetahuan yang bisa diuji lewat akal dan pengalaman, maka agama dianggap berada di luar ranah tersebut.

Filsafat Ilmu dan Epistemologi: Bagaimana Kita Mengetahui Dunia

Filsafat ilmu selalu berkaitan erat dengan epistemologi, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Di dunia Barat, para pemikir mengembangkan dua pendekatan besar: rasionalisme dan empirisme. Keduanya menjadi dasar untuk membangun cara berpikir ilmiah yang kaya dan multidimensi.

Dalam tradisi Islam, Baqhir As-Shadr mengamati bahwa para pemikir Muslim lebih condong ke pendekatan rasional dan idealis. Namun, ketika mereka mencampur metafisika dengan epistemologi, mereka justru gagal memperdalam kajian keilmuan. Aliran kalam dan sufisme mendominasi cara berpikir mereka, sehingga menghambat perkembangan epistemologi Islam secara alami.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Abid Al Jabiri dan Rekonstruksi Nalar Islam

Melihat kondisi tersebut, pemikir Maroko bernama Muhammad Abid Al Jabiri menawarkan pendekatan baru. Ia ingin membenahi cara berpikir umat Islam, terutama dalam memahami warisan intelektual Islam (turats). Menurutnya, umat Islam terlalu terikat pada masa lalu dan tidak berani melakukan pembaruan.

Jabiri menganggap budaya sebagai kunci. Ia menilai bahwa bangsa Arab mengalami kemunduran bukan karena kekurangan ilmu atau sumber daya, tetapi karena mereka memperlakukan budaya dengan cara yang stagnan. Mereka cenderung berputar-putar dalam pola berpikir lama, tanpa melakukan pembaruan.

Untuk itu, Jabiri menawarkan kerangka epistemologi baru untuk ilmu-ilmu keislaman. Ia menyusun tiga sistem nalar: Bayani, Irfani, dan Burhani.

Nalar Bayani: Mengandalkan Teks dan Bahasa

Secara bahasa, kata bayani berarti penjelasan atau pernyataan. Dalam konteks keilmuan Islam, nalar bayani bersumber dari teks agama seperti Al-Qur’an dan Hadis, serta produk ijtihad dan ijma’.

Pendekatan bayani memanfaatkan kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf untuk memahami teks. Jabiri menekankan bahwa sistem ini menempatkan teks wahyu sebagai sumber kebenaran utama, sedangkan akal hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk menafsirkannya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Nalar bayani menempuh dua cara dalam memperoleh pengetahuan:

  • Berpegang pada teks secara langsung dengan bantuan alat bahasa.
  • Menafsirkan makna teks menggunakan logika dan akal sehat.

Nalar Irfani: Menyentuh Pengetahuan dengan Hati

Kata irfani berasal dari kata ‘irfan’ yang berarti pengetahuan. Namun, pengetahuan ini bukan hasil analisis akal, melainkan penyingkapan batiniah yang bersifat intuitif. Para sufi biasa menggunakan pendekatan ini dalam pencarian spiritual mereka.

Dalam nalar irfani, seseorang memperoleh pengetahuan melalui penyucian jiwa dan latihan spiritual. Mereka berharap Tuhan akan memberikan pengetahuan langsung (ilmu laduni) kepada hati yang suci. Pendekatan ini bersifat personal, dan tidak dapat diuji secara rasional atau empiris.

Nalar Burhani: Menemukan Kebenaran Lewat Akal dan Pengalaman

Nalar burhani menawarkan pendekatan berbasis akal dan realitas empiris. Para pemikir yang menggunakan metode ini mengandalkan logika dan data dari dunia nyata untuk membuktikan suatu pengetahuan.

Jabiri percaya bahwa umat Islam perlu lebih banyak menggunakan pendekatan burhani agar mampu menjawab tantangan zaman. Ia juga mengutip pemikiran Hegel, yang mengatakan bahwa akal tidak cukup hanya sesuai dengan realitas, tetapi juga harus relevan dengan konteks sejarah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pendekatan burhani tidak hanya bersifat rasional dan ilmiah, tetapi juga kontekstual—menghubungkan akal dengan realitas sosial, budaya, dan sejarah.

Penutup: Menyambut Arah Baru dalam Keilmuan Islam

Abid Al Jabiri tidak menolak warisan intelektual Islam, tetapi ia mengajak kita untuk membacanya ulang secara kritis. Ia menyadari bahwa umat Islam butuh cara berpikir baru yang tidak hanya membanggakan masa lalu, tetapi juga siap menghadapi masa depan.

Melalui tiga sistem epistemologi—Bayani, Irfani, dan Burhani—Jabiri membuka jalan bagi pembaruan pemikiran Islam. Tantangannya kini adalah bagaimana umat Islam bisa menggabungkan ketiganya secara bijak agar ilmu keislaman tetap relevan dengan tantangan zaman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement