SURAU.CO – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis berat. Vonis ini untuk Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik. Hakim memvonis Ahmad Taufik 11 tahun penjara. Selain itu, ia juga mendapat denda Rp 1 miliar. Jika denda tidak ia bayar, ia harus menjalani subsider 4 bulan penjara. Majelis hakim menyatakan Ahmad Taufik bersalah. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) COVID-19. Perbuatannya merugikan negara secara signifikan.
Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti Tambunan, membacakan amar putusan. Pembacaan berlangsung pada Kamis, 5 Juni 2025. “Menyatakan terdakwa Ahmad Taufik terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata Syofia. Putusan ini mengakhiri persidangan panjang kasus korupsi APD yang menyita perhatian publik.
Pidana Tambahan Uang Pengganti Miliaran Rupiah
Dalam kasus korupsi alat pelindung diri ini, pengadilan tidak hanya menjatuhkan pidana penjara dan denda. Ahmad Taufik juga mendapat vonis pidana tambahan. Ia wajib membayar uang pengganti kerugian negara. Jumlahnya sangat besar, yaitu Rp 224.186.961.098 (Rp 224,18 miliar). Ada ketentuan khusus mengenai pembayaran uang pengganti ini. Apabila uang tersebut tidak ia bayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa akan menyita harta bendanya. Harta tersebut kemudian akan jaksa lelang untuk menutupi uang pengganti.
“Jika harta benda tersebut tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun,” kata Syofia. Ketentuan ini memastikan adanya upaya maksimal untuk mengembalikan kerugian negara. Ini menjadi salah satu poin penting dalam putusan hakim.
Pertimbangan Memberatkan dan Meringankan Vonis
Dalam amar putusannya, Syofia menjelaskan beberapa hal. Ada pertimbangan yang memberatkan dalam putusan tersebut. Perbuatan Ahmad Taufik telah sangat merugikan keuangan negara. Selain itu, perbuatannya juga menghambat upaya pembangunan negara. Ini menjadi faktor utama pemberat hukuman.
“Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kementerian kesehatan,” kata Syofia. Korupsi di masa pandemi dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela.
Sementara itu, ada juga hal yang meringankan vonis Ahmad Taufik. Terdakwa menunjukkan sikap sopan selama persidangan berlangsung. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan bahwa terdakwa mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan akhir.
Vonis untuk Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia
Selain Ahmad Taufik, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman. Hukuman ini untuk Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo. Kedua pimpinan perusahaan ini merupakan pemasok utama baju hazmat. Mereka memasoknya untuk kebutuhan Kementerian Kesehatan selama pandemi COVID-19. Keterlibatan mereka sangat sentral dalam kasus ini.
Pengadilan memvonis Satrio Wibowo 11 tahun 6 bulan penjara. Ia juga mendapat denda Rp 1 miliar. Jika denda tidak ia bayar, ia harus menjalani subsider 4 bulan penjara. Sama seperti Ahmad Taufik, Satrio Wibowo juga wajib membayar uang pengganti. Jumlahnya sebesar Rp 59.980.000.000 (Rp 59,98 miliar). Ketentuan pembayarannya pun serupa. Jika uang pengganti tidak ia bayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa akan menyita harta bendanya. Harta tersebut kemudian akan jaksa lelang.
“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun,” kata Syofia. Vonis untuk Satrio Wibowo ini juga menunjukkan keseriusan pengadilan. Pengadilan ingin memberantas korupsi hingga tuntas.
Majelis hakim menyatakan kedua terdakwa bersalah. Mereka melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 20 tahun 2001. Undang-undang ini mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelanggaran juga terkait Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Respons Terdakwa dan Tuntutan Jaksa Sebelumnya
Setelah mendengarkan vonis hakim, Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo langsung berunding. Mereka berunding dengan kuasa hukum masing-masing. Keduanya kemudian menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu. Mereka mempertimbangkan untuk mengajukan banding atas putusan tersebut. Ini adalah hak hukum yang mereka miliki.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan tuntutan yang lebih berat. JPU menuntut Ahmad Taufik hukuman 14 tahun dan 4 bulan penjara. Ditambah pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Jika tidak membayar denda, ia harus menjalani subsider 6 bulan kurungan. JPU juga menuntut Ahmad Taufik membayar uang pengganti. Jumlahnya sama dengan putusan hakim, yaitu Rp 224,18 miliar. Namun, jika harta tidak mencukupi, JPU menuntut pidana penjara pengganti selama 6 tahun.
Sementara itu, JPU menuntut Satrio Wibowo hukuman 14 tahun dan 10 bulan penjara. Ditambah denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga JPU tuntut membayar uang pengganti sebesar Rp 59,98 miliar. Jika harta tidak mencukupi, pidana penjara penggantinya adalah 4 tahun. Tuntutan jaksa ini menunjukkan perbedaan signifikan dengan vonis hakim.
Detail Kerugian Negara dan Peran Para Terdakwa
Dalam kasus korupsi pengadaan APD COVID-19 ini, tiga orang terdakwa diduga merugikan negara. Kerugiannya mencapai sekitar Rp 319,69 miliar. Ketiga terdakwa tersebut adalah Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana. Kemudian, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik. Terakhir, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo. Persidangan Budi Sylvana masih terus berjalan.
Kerugian negara ini terjadi akibat perbuatan para terdakwa. Mereka diduga telah memperkaya diri sendiri dan pihak lain. Satrio Wibowo diduga mendapat keuntungan Rp 59,98 miliar. Ahmad Taufik mendapat Rp 224,19 miliar. PT Yoon Shin Jaya mendapat Rp 25,25 miliar. Serta PT GA Indonesia mendapat Rp 14,62 miliar. Aliran dana ini menjadi fokus utama pembuktian di persidangan.
Jaksa mendakwa ketiga terdakwa turut serta melakukan beberapa perbuatan melawan hukum. Mereka melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang. Semua proses ini tanpa menggunakan surat pesanan resmi. Mereka juga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD. Jumlahnya mencapai lima juta pasang. Selain itu, mereka menerima pinjaman uang dari BNPB. Pinjaman ini untuk PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar. Uang ini untuk membayarkan 170 ribu pasang APD. Pembayaran ini tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung yang sah.
Kemudian, jaksa juga mendakwa ketiga terdakwa ikut serta menerima pembayaran. Pembayaran ini untuk 1,01 juta pasang APD merek BOHO. Nilainya mencapai Rp 711,28 miliar. Pembayaran ini untuk PT PPM dan PT EKI. Padahal, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis. PT EKI juga tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK). Ini merupakan pelanggaran serius.
Selain itu, PT EKI dan PT PPM juga diduga tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung. Bukti ini terkait kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Tindakan ini melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah. Terutama dalam penanganan keadaan darurat. Prinsip yang dilanggar adalah efektif, transparan, dan akuntabel. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya integritas dalam pengadaan publik. (Tempo/KAN)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
