SURAU.CO. Saat ini adalah waktu menjelang puncak musim haji. Indonesia merupakan negara terbanyak yang warganya berangkat ke tanah suci. Apa yang terjadi saat ini mempunyai sejarah panjang. Warga Nusantara ternyata sudah melakukan perjalanan hajinya mulai abad 16.Dalam penuturan Louis Barthema tahun 1503 pedagang Nusantara yang berlabuh di Jedah sebagai pedagang dan menyempatkan diri mengunjungi Mekkah. Bahkan pada masa kolonial telah muncul biro haji yang untuk memberangkatkan para jamaah asal Nusantara yang terus membludak
Hal tersebut terus berlanjut pada abad ke-17. Selain berdagang, orang Indonesia yang pergi ke tanah Hijaz ini juga menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah. Bahkan mereka menetap bertahun-tahun, lalu kembali sebagai guru agama atau pendakwah. Kemudian beberapa bangsawan juga melakukan hal yang sama seperti Raja Banten dan Mataram pada 1630 melakukan ibadah haji. Antusiasme berhaji terus meningkat, meskipun jemaah menghadapi masalah seperti transportasi, paspor, biaya, keamanan, dan akomodasi. Pada abad ke-18, haji menjadi impian banyak muslim Nusantara. Haji kala itu tidak hanya sebagai ibadah namun juga menjadi kebanggaan sosial
Modernisasi transportasi, dari kapal layar ke kapal uap dan pembukaan Terusan Suez pada 1869, meningkatkan jumlah jemaah. Pada 1911, jemaah Indonesia mencapai 28,7% dari total jemaah di Jeddah, dan pada 1927 mencapai 43,7%. Penurunan hanya terjadi selama Perang Dunia I dan Krisis Malaise. Perjalanan haji sebelum era modern sangat sulit, dengan risiko kehabisan makanan, kehilangan harta, hingga kematian. Namun, kesulitan ini tidak mengurangi antusiasme, malah memberikan makna mendalam. Inggris mempelopori pelayaran haji dengan kapal uap pada 1858, diikuti Belanda yang mendirikan Konsul di Jeddah pada 1872 untuk mengelola perjalanan haji. Pengangkutan jemaah haji pada masa kolonial mendapat perhatian khusus dari pemerintah Hindia Belanda, bahkan sempat dimonopoli oleh perusahaan tertentu. Ibadah haji selalu melibatkan biro pemberangkatan haji, yang hingga kini tetap menjadi kebutuhan penting. Perkembangan biro haji terus meningkat, dengan banyaknya organisasi yang menaunginya.
Muncul Biro Haji
Menilik ke belakang, peran biro haji sebelum kemerdekaan sangat menarik. Di era kolonial, biro-biro ini menjadi andalan calon jemaah. Persaingan bisnis antara pemerintah kolonial dan perusahaan di Singapura, termasuk perang harga, menjadi ciri khasnya. Meski dalam pengawasan ketat, biro haji masa Hindia Belanda berhasil memberangkatkan ribuan jemaah dengan berbagai fasilitas yang menarik.
Salah satu tokoh terkenal adalah Syeikh Umar Bugis, pelopor pengangkutan jemaah haji dengan kapal khusus pada 1825. Nama lain seperti Haji Muhammad Namzee juga dikenal. Awalnya, pengangkutan jemaah dilakukan pedagang Arab dan Inggris dari Singapura. Pada 1858, kapal Inggris berlabuh di Batavia untuk mengangkut jemaah, sementara orang Arab di Batavia memanfaatkan peluang bisnis dengan kapal api berkapasitas 400 orang. Tiket dari Batavia dipatok f60, dari Padang f50.
Persaingan bisnis haji muncul pada 1920-an. Meski ada aturan dari haji 1922, pemerintah memberikan hak monopoli kepada Kapal Haji Kongsi Tiga dengan tarif pulang-pergi f250. Namun, ketika kapal milik Muslim Hong Kong masuk pasar, tarif Kongsi Tiga anjlok hingga f80. Meningkatnya jumlah jemaah mendorong Belanda mendirikan tiga perusahaan haji yakni Netherland, Rotterdamsche, dan Ocean Maatschappij. Pada 1873, mereka juga mendirikan perusahaan haji di Jawa yang beroperasi mulai 1874.
Kongsi Tiga
Pada 1877, pemerintah kolonial membentuk Kongsi Tiga, gabungan tiga perusahaan di Belanda, yang mendapat hak monopoli pengangkutan jemaah. Monopoli ini membebani jemaah, yang wajib membeli tiket pulang-pergi enam bulan sebelumnya di bank tertentu. Harga tiket terus naik: f120 (1895), f200 (1915), hingga f350 (1920). Akibatnya, banyak jemaah enggan menggunakan Kongsi Tiga.
Meski begitu, pada 1885, sekitar 61% jemaah memakai jasa Kongsi Tiga. Namun, perusahaan Singapura tetap banyak peminat karena harga tiket lebih murah, seperti f63,75 (Hotline, 1895) dibandingkan f120 (Belanda). Pada 1920, Hotline mematok f260, jauh di bawah f350 milik Belanda.
Kongsi Tiga bekerja sama dengan Tajjudin Brother untuk pinjaman keuangan jemaah, namun dengan praktik yang merugikan. Banyak tanah subur di Banten disita sebagai pelunasan utang. Menurut J. Vredenbregt dalam The Hadj, Some of its Features, praktik ini menyebabkan pemiskinan jemaah. (ENHA/dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
