Opinion
Beranda » Berita » Kesepian Sang Faqih: Sebuah Renungan Tentang Kehidupan

Kesepian Sang Faqih: Sebuah Renungan Tentang Kehidupan

Di tengah malam yang sunyi, di bawah bayang-bayang bulan yang menggantung lesu di langit, seorang faqih duduk termenung di bawah pohon tua yang telah kehilangan dedaunannya. Tak ada suara, kecuali desiran angin yang menggoyang ranting-ranting kering dan bisikan doa yang tak terdengar. Ia tampak menyatu dengan keheningan, menyimpan ribuan kata yang tak sempat terucap dan berjuta makna yang tak lagi diartikan oleh dunia yang terus berputar cepat.

Gambaran ini bukan sekadar ilustrasi pada sampul buku Faqih yang Kesepian, tetapi sekaligus sebuah metafora akan kenyataan batin banyak orang yang memilih jalan sunyi dalam pengabdian dan pencarian makna hidup. Dalam kumpulan cerita pendek yang disusun oleh Norham Abdul Wahab ini, kita tidak sekadar diajak menelusuri cerita-cerita manusia yang sunyi, tetapi juga diajak untuk bercermin pada wajah diri kita sendiri yang terkadang luput kita pahami.

Menjadi Faqih di Zaman yang Bising

Faqih adalah seseorang yang memahami agama dengan mendalam. Namun dalam dunia hari ini, menjadi seorang faqih bukanlah tugas yang ringan. Ia bukan hanya harus memahami hukum-hukum agama dan teks-teks suci, tetapi juga harus mampu memaknai realitas sosial yang kian kompleks. Ia harus berdialog dengan zaman, berbicara dengan generasi yang asing dengan kesunyian dan lebih akrab dengan kebisingan media sosial, algoritma, dan opini-opini instan.

Kesunyian seorang faqih, seperti yang digambarkan Norham Abdul Wahab, bukanlah kesepian yang hampa. Ia adalah bentuk keheningan yang sarat makna. Keheningan yang lahir dari perenungan mendalam, dari pengasingan diri yang bukan karena pelarian, melainkan karena pencarian. Sang faqih barangkali duduk sendirian, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, kematian, keadilan, cinta, dan Tuhan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kesepian yang Mengasah Jiwa

Kesepian bukan musuh, bila kita tahu bagaimana berdamai dengannya. Justru dalam kesepianlah kita sering menemukan jati diri kita yang sejati. Dalam sunyi, kita belajar mendengarkan suara hati yang selama ini tertutupi oleh kebisingan dunia luar. Dalam kesepian, kita merenungkan ulang siapa kita, untuk apa kita hidup, dan ke mana arah tujuan kita sebenarnya.

Buku ini seolah menegaskan bahwa kesepian adalah bagian penting dari perjalanan spiritual. Seorang faqih yang mengasingkan diri dari keramaian, bukan berarti ia lepas dari tanggung jawab sosial, tetapi justru karena ia sedang membekali diri agar bisa kembali hadir dengan hikmah dan kedalaman yang tak dimiliki oleh banyak orang. Ia menjauh untuk mendekat, ia diam untuk mendengar, ia sepi untuk mengisi.

Cerita yang Memanggil Keheningan Kita

Norham Abdul Wahab, melalui cerita-cerita pendeknya, bukan hanya menyusun kata-kata menjadi narasi, tetapi meramu pengalaman manusia menjadi cermin. Setiap kisah dalam Faqih yang Kesepian bukan hanya berbicara tentang tokoh, tetapi juga tentang kita sebagai pembaca. Siapakah di antara kita yang belum pernah merasa asing di tengah keramaian? Siapa yang tak pernah merasakan sepi meski dikelilingi banyak orang?

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Editor buku ini, Amien Wangsitalaja, turut memberikan sentuhan penyuntingan yang membuat setiap cerita terasa utuh dan menyentuh. Pilihan bahasa yang sederhana namun kuat, serta susunan cerita yang tertata apik, membuat buku ini bukan hanya layak dibaca sekali, tapi layak untuk dibaca ulang, direnungi, dan dijadikan bahan permenungan pribadi.

Refleksi Diri di Era Digital

Kita hidup di era yang memuja keterhubungan. Dunia digital membuat kita bisa menjangkau siapa saja kapan saja, tetapi ironisnya, banyak di antara kita yang justru merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Kita merasa perlu membagikan setiap momen kehidupan, tetapi lupa menyelami maknanya. Kita ingin didengar, tapi jarang mau mendengar. Di sinilah kehadiran sosok “faqih yang kesepian” menjadi penting—sebagai pengingat bahwa kebijaksanaan lahir bukan dari keramaian, tapi dari keheningan yang berkualitas.

Buku ini, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan bahwa tak mengapa menjadi sepi, asalkan kita tahu untuk apa kita menyepi. Ia menyuguhkan pilihan untuk jeda dari hiruk-pikuk dunia, dan mengajak kita duduk bersama sang faqih di bawah pohon tua, memandangi langit malam, dan berbincang diam-diam dengan jiwa sendiri.

Penutup: Kesunyian Adalah Jembatan

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Dalam kehidupan, sering kali kita merasa sendiri, bahkan ketika menjalani sesuatu yang kita yakini sebagai kebenaran. Namun buku ini menunjukkan bahwa kesepian bukan akhir, melainkan awal dari pemahaman yang lebih dalam. Kesepian adalah jembatan menuju kebijaksanaan, dan setiap manusia perlu menyeberanginya setidaknya sekali dalam hidup.

Faqih yang Kesepian bukan hanya sebuah buku. Ia adalah sahabat dalam sunyi, guru dalam diam, dan cermin dalam gelap. Sebuah karya yang akan terus hidup dalam ingatan pembacanya—bukan karena cerita yang sensasional, tetapi karena kejujuran dan kedalaman yang menggerakkan. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement