Sosok
Beranda » Berita » Keajaiban Sastra Populer: Pengaruh Karya Kho Ping Hoo Menyelinap Ke Surau-surau Imajinasi

Keajaiban Sastra Populer: Pengaruh Karya Kho Ping Hoo Menyelinap Ke Surau-surau Imajinasi

lukisan gaya tradisional Tiongkok
Keajaiban Kho Ping Hoo

SURAU.CO – Asmaraman S. Kho Ping Hoo, atau akrab dikenal sebagai Kho Ping Hoo (KPH), adalah fenomena langka dalam peta sastra populer Indonesia. Meski tidak diakui secara penuh oleh lingkaran sastra “serius” atau akademik, karya-karya KPH menjelma sebagai jembatan budaya, penghibur lintas generasi, dan sumber nilai moral yang kuat bagi jutaan pembacanya. Daya tarik cerita-ceritanya melampaui genre, status sosial, bahkan usia.

Di tengah maraknya sastra idealis pasca-kemerdekaan yang banyak dipenuhi simbolisme politik dan eksistensialisme, Kho Ping Hoo datang dengan dunia silat, tokoh-tokoh heroik, dan alur cerita yang mengalir cepat. Namun jangan keliru, di balik semua itu terkandung nilai-nilai mendalam tentang keadilan, kehormatan, dan filsafat hidup Timur yang tak lekang oleh waktu.

Imajinasi Tanpa Batas: Ketika Sastra Menang Atas Batasan

Salah satu hal paling mencengangkan dari KPH adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa membaca huruf Mandarin, bahasa yang menjadi latar budaya cerita-ceritanya. Ia juga baru pertama kali menginjakkan kaki ke Tiongkok pada tahun 1984, padahal ia sudah menulis kisah berlatar Tiongkok sejak 1950-an. Sumber imajinasinya berasal dari bacaan sejarah berbahasa Inggris dan Belanda.

Hal ini mengingatkan kita pada Karl May, penulis Jerman yang menulis petualangan Wild West Amerika tanpa pernah ke Amerika sampai bertahun-tahun kemudian. Begitu pula KPH, yang membangun gunung-gunung Tiongkok, lembah-lembah mistis, dan dunia persilatan hanya dengan mesin ketik Remington dan imajinasi yang luar biasa.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Karya Populer, Filsafat dalam Diam

Meskipun hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah rakyat (SR), KPH adalah pembaca yang rakus. Ia menyerap ajaran Konfusius, Subud, hingga filosofi India seperti Sai Baba. Tak heran jika banyak dari narasi dalam cerita-ceritanya mengandung refleksi mendalam tentang kehidupan.

Dalam karyanya Suling Pusaka Kemala, KPH menulis:

“Baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya.”

Kalimat ini mencerminkan bukan hanya kejernihan berpikir, tapi juga kesadaran mendalam akan relativitas moral sesuatu yang bahkan jarang disentuh dalam karya populer.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Keindahan Bahasa, Romansa, dan Adegan Silat

Salah satu ciri khas Kho Ping Hoo adalah kemampuannya menyisipkan deskripsi puitis di tengah pertarungan sengit. Dalam serial Bu Kek Siansu, ia menulis tentang pagi di Pegunungan Jeng Hoa San:

“Bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk, seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.”

Deskripsi seperti ini memanjakan pembaca, memperlihatkan bahwa meskipun genre-nya adalah silat, gaya bahasanya tetap halus dan estetis. Bahkan kadang muncul metafora yang nakal, seperti “bunga mawar ditancapkan di kotoran kerbau” sebuah gambaran sinis namun hidup tentang ketidakserasian cinta.

Produktivitas Legendaris

Meneladani Seni Hidup Imam Nawawi: Kunci Keseimbangan Dunia dan Akhirat

KPH menulis lebih dari 400 judul cerita silat berlatar Tiongkok dan sekitar 50 cerita berlatar sejarah Nusantara, seperti Banjir Darah di Borobudur dan Kemelut Majapahit. Ia sering menulis tiga cerita sekaligus secara paralel, berpindah dari satu kisah ke kisah lain tanpa kehilangan fokus maupun kualitas. Hal ini menunjukkan betapa kuat disiplin dan kekuatan kreatif yang dimilikinya.

Ironisnya, meski ahli menciptakan adegan kungfu yang menegangkan, KPH tidak pernah belajar bela diri. Yang ia kuasai justru seni gamelan dan tembang Jawa dua dunia yang tampak bertolak belakang, namun justru menyatu dalam harmoni estetika dalam tulisannya.

Disukai Rakyat Jelata, Dihargai Para Cendekiawan

Karya KPH bukan hanya digemari oleh anak-anak, remaja, atau masyarakat awam. Yang mengejutkan, sejumlah tokoh penting bangsa juga mengagumi karya-karyanya. Salah satu penggemar setianya adalah B.J. Habibie, Presiden ke-3 RI yang dikenal sebagai teknokrat dan cendekiawan.

Habibie menyukai cerita KPH karena mengandung nilai-nilai etis, membangkitkan imajinasi, dan memperkaya bahasa Indonesia melalui kisah-kisah yang meskipun imajinatif, tetap menyentuh realitas manusia. Menurut Habibie, cerita KPH mengajarkan pentingnya menjunjung tinggi kejujuran, kehormatan, dan rasa tanggung jawab.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga tercatat sebagai pembaca setia karya KPH. Sebagai budayawan dan pemikir humanis, Gus Dur melihat cerita-cerita Kho Ping Hoo sebagai bentuk sastra rakyat yang memuat perlawanan terhadap penindasan, kritik sosial halus, serta refleksi multikulturalisme dalam masyarakat. Gus Dur bahkan menyebut bahwa tokoh-tokoh ciptaan KPH seperti pendekar sakti namun rendah hati, adalah cerminan idealisme yang ia sendiri yakini.

Sastra Populer yang Tak Lekang Oleh Zaman

Kho Ping Hoo adalah bukti bahwa sastra populer tidak harus berarti murahan atau kehilangan kedalaman. Ia adalah contoh penulis yang bekerja dengan cinta, kejujuran, dan semangat untuk menghibur sekaligus mendidik. Karyanya adalah bagian dari sejarah literasi Indonesia, yang bukan hanya mengisi rak-rak taman bacaan, tetapi juga membentuk karakter pembacanya baik rakyat jelata maupun pemimpin negeri.

Meski tidak pernah mendapat penghargaan sastra bergengsi, pengaruh Kho Ping Hoo justru terasa lebih luas dan abadi. Ia bukan sekadar penulis cerita silat. Ia adalah pencerita agung. Seorang guru kehidupan. Seorang keajaiban sastra populer Indonesia.

“Kho Ping Hoo adalah legenda. Namanya hidup dalam kenangan setiap pembaca yang pernah bermimpi menjadi pendekar, membela yang lemah, dan menjunjung kebenaran dalam senyap.”


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement