Berita Ekonomi Opinion
Beranda » Berita » Hilirisasi Nikel Tanpa Teknisi: Membangun Ferrari dengan Montir Bajaj

Hilirisasi Nikel Tanpa Teknisi: Membangun Ferrari dengan Montir Bajaj

Bayangkan sebuah pabrik hilirisasi nikel senilai Rp142 triliun yang berdiri megah di Morowali. Mesin-mesin canggih berderet seperti instalasi seni modern, sistem kontrol digital berkedip-kedip layaknya kerlap-kerlip Ancol di malam minggu, dan robot industri berseliweran bak ojek online di depan mal. Di tengah kemegahan ini, lihatlah para teknisi lapangan—lulusan SMK Teknik terbaik kita—yang baru pertama kali menyentuh antarmuka CNC, bingung membedakan kode G-code dengan HTML, sambil berbisik ke sesama rekan, “Ini kayak game Mobile Legends atau Free Fire, Pak?”

Inilah paradoks besar Indonesia 2025: ambisi hilirisasi sebesar USD618 miliar berbenturan dengan realitas lulusan SMK yang—meminjam eufemisme Wamen ESDM—”belum sepenuhnya match dengan kebutuhan industri.” Kalau diperjelas dengan bahasa wartawan infotainment: “SMK dan Hilirisasi Cerai di Tengah Jalan, Ini 5 Faktornya!”

Jika esai sebelumnya mengkritisi transformasi STM menjadi SMK sebagai “downgrade yang dibungkus upgrade”, sequel ini membedah ironi yang lebih besar: mungkinkah sistem pendidikan vokasi yang compang-camping menjadi tulang punggung program strategis nasional bernama hilirisasi?

*Dari Kuli Tambang Menjadi Kuli Pabrik: Evolusi yang Tidak Evolusioner

Hilirisasi—kata sakti yang membuat para menteri tak henti memamerkan grafik eksponensial. “Nilai tambah nikel naik 1.950% sejak 2020!” teriak mereka bangga. Tapi ini seperti menyombongkan “kemenangan PSSI melawan Timor Leste”—mudah karena mengandalkan sumber daya alam, bukan keahlian SDM.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ironi menohok dada: negeri yang bangga stop ekspor bijih mentah, kini diam-diam “mengekspor” ribuan lowongan teknisi ke tangan pekerja asing. Di kawasan industri Morowali, sebanyak 4.800 TKA (mayoritas China) bekerja sebagai teknisi dan supervisor. Sementara pekerja lokal? Mereka bertugas sebagai satpam, cleaning service, atau operator tingkat dasar dengan upah standar UMR. Seperti pepatah Bugis: “Mappareq lopi, balue ri pabalu” (membuat perahu, tetapi dijual oleh penjual)—menguasai sumber daya, tapi keuntungan dinikmati orang lain.

Transformasi kita ternyata hanya dari “kuli tambang menjadi kuli pabrik hilirisasi”—perubahan kostum tanpa perubahan peran. Seperti kata Bang Sapri di warung kopi dekat pabrik baterai EV: “Dulu nenek moyang saya menggali nikel untuk Belanda, sekarang saya mengangkat nikel untuk China. Bedanya, sekarang pakai helm berwarna-warni.”

*Sekolah 1.0, Industri 4.0: Lomba Lari dengan Kaki Terikat*

Mari kita lihat blueprint hilirisasi nasional 2025-2030:

21 proyek hilirisasi tahap pertama (2025)
30.000 teknisi dibutuhkan untuk kilang minyak 500 ribu barel/hari
15.000 operator pabrik DME (pengganti LPG)
5.000 spesialis big data untuk sistem employment outlook nasional
10.000 ahli smelter untuk pabrik pengolahan tembaga dan aluminium

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kenyataannya? Data BPS 2024 menunjukkan: 63% lulusan SMK Teknik menganggur atau bekerja di luar bidang. Industri mengeluh: “Lulusan bisa bongkar pasang mesin motor, tapi gagap baca diagram P&ID kilang minyak.” Seperti pepatah Sunda: “Hirup di jaman baheula, ngadadak jadi jaman AI” – hidup di zaman dulu, tiba-tiba diminta masuk era kecerdasan buatan.

Ambil contoh proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME (Dimethyl Ether) pengganti LPG. Reaktor fluidized bed yang digunakan membutuhkan pemahaman mendalam tentang termodinamika, katalisator, dan sistem kontrol digital. Tapi kurikulum SMK Teknik Kimia masih berkutat pada praktikum pembuatan sabun dan analisis kadar garam. Seperti mengirim lulusan kursus masak ke lomba MasterChef—bisa memasak, tapi levelnya jauh berbeda.

Di pabrik hilirisasi bauksit menjadi aluminium, proses Bayer dan Hall-Héroult memerlukan ketelitian tingkat tinggi untuk mengontrol temperatur dan aliran elektrolit. Ironisnya, SMK Metalurgi hanya mengajarkan teori korosi dan electroplating dengan alat praktek yang usianya lebih tua dari para siswanya.

Inilah gambaran nyata sekolah vokasi kita: pengemudi delman yang tiba-tiba diminta menerbangkan pesawat jet—tanpa pelatihan, tanpa simulasi, hanya berbekal keyakinan “yang penting berani mencoba.”

*Guru Praktik yang Tidak Praktis

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Instruktur CNC di SMK unggulan Jakarta dengan bangga menunjukkan PowerPoint tentang “Revolusi Industri 4.0” sambil menjelaskan cara kerja mesin milling dengan… spidol di whiteboard. Mesin CNC? Ada satu, di pojok bengkel, dibungkus terpal karena “rusak, menunggu teknisi dari Jepang.”

Inilah potret guru produktif SMK kita:

72% terakhir praktik industri saat Timor Timur masih provinsi Indonesia
56% belum pernah mengunjungi pabrik hilirisasi
83% tidak mampu menjelaskan perbedaan thermal management di baterai lithium iron phosphate dan lithium nickel manganese cobalt

“Kami butuh teknisi yang bisa mengoperasikan SCADA untuk kilang,” keluh HRD perusahaan hilirisasi. “Tapi yang melamar adalah lulusan yang menganggap SCADA itu mungkin nama minuman baru dari Starbucks.”

Bandingkan dengan Korea Selatan yang mengirim 50 guru vokasi setiap tahun untuk magang di Hyundai dan Samsung selama minimal 6 bulan. Atau Jerman yang mewajibkan guru Berufsschule bekerja di industri minimal 3 tahun sebelum mengajar. Kita? Guru produktif kita berebut seminar “PowerPoint for Millennials” untuk naik pangkat, sementara penguasaan teknis mandek di era Soeharto.

Seperti kata senior maintenance di pabrik katoda: “Guru SMK sekarang seperti ustadz yang cuma hafal doanya tapi tidak pernah naik haji—mengajarkan teori tanpa pernah mengalami praktiknya.”

*Infrastruktur Pendidikan: Tale of Two Cities

Kunjungi SMK Mikael Solo, Anda akan melihat mesin CNC Fanuc dan simulator PLC Siemens terbaru. Sekarang, kunjungi SMK Negeri di Wakatobi. Anda akan disambut lab komputer dengan PC Pentium 4 yang “diupgrade” dengan stiker “AI Ready”. Begitulah gambaran ketimpangan fasilitas pendidikan vokasi kita.

Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan kompetensi yang tak terjembatani:

SMK di Jawa punya simulator VR untuk pelatihan mengoperasikan excavator
SMK di Maluku Utara masih praktik listrik dengan kabel bekas dan multimeter rusak
SMK Penerbangan di Bandung memiliki potongan sayap Boeing untuk praktik maintenance
SMK Teknologi Pertambangan di Kalimantan Timur praktik dengan gambar penampang tambang di buku fotokopi

Bandingkan dengan pendidikan vokasi di Taiwan yang memastikan standar fasilitas sama di seluruh pulau, atau Jepang yang menyediakan fasilitas praktik setara 75% kualitas industri. Di Indonesia? Pemerintah bangga membangun “Technopark” di Bali yang lebih berfungsi sebagai backdrop foto menteri daripada pusat pelatihan teknisi handal.

Seperti pepatah Minang: “Bak mamaga karambia condong” (seperti memagar kelapa condong)—upaya yang sia-sia karena tidak menyelesaikan akar masalah. Membangun gedung mewah tanpa mengisi dengan peralatan praktik dan guru kompeten adalah kebijakan “panggung sandiwara” yang hanya membuat statistik “pembangunan infrastruktur” terlihat bagus di laporan tahunan.

*Dari Pahlawan Devisa Jadi Tukang Stempel Paspor

Fakta miris: negara tetangga kita justru diuntungkan oleh kebijakan hilirisasi kita. Singapura membuka program “Advanced Technical Training for Indonesian Engineers” dengan target 5.000 lulusan terbaik SMK per tahun. Mereka dikirim ke Singapura untuk pelatihan intensif 6 bulan, lalu dipekerjakan di perusahaan Singapura yang—ironisnya—menjadi vendor untuk pabrik hilirisasi di Indonesia.

Artinya, teknisi terbaik kita malah membangun karir di luar, sementara perusahaan hilirisasi di dalam negeri kesulitan mendapat tenaga terampil. Yang tersisa adalah lulusan “tier kedua” yang terpaksa bekerja sebagai operator tingkat dasar. Seperti kata perekrut di job fair SMK: “Lulusan terbaik sudah diambil Singapura dan Malaysia, kami kebagian sisa-sisanya.”

Inilah ironi pahlawan devisa abad 21: bukan lagi TKI sektor informal, melainkan lulusan SMK terbaik yang “diimpor” negara tetangga untuk kemudian “diekspor” kembali ke Indonesia sebagai teknisi dengan gaji 5 kali lipat.

Saat Vietnam dalam 10 tahun berhasil membangun ekosistem manufaktur elektronik dengan 80% teknisi lokal, kita masih bergantung pada tenaga asing untuk mengoperasikan pabrik sendiri. Seperti pepatah Jawa: “Madhang ora mbayar, malah ngetokne dhuwit” (makan tidak bayar, malah mengeluarkan uang)—mengolah sumber daya sendiri, tapi malah membayar orang lain untuk mengerjakannya.

*Sertifikat Segunung, Kompetensi Secuil

SMK kita kini terobsesi dengan sertifikasi. Dinding ruang kepala sekolah dipenuhi frame ISO 9001, KKNI level II, dan berbagai MoU dengan industri yang sebagian besar berakhir di lemari arsip. Siswa lulus dengan tumpukan sertifikat pelatihan—dari “Design Thinking” hingga “AI for Beginners”—tapi tetap gagap saat diminta menangani masalah teknis dasar.

“Lulusan SMK sekarang seperti CV palsu,” keluh supervisor maintenance pabrik baterai lithium. “Sertifikat banyak, tapi ketika diminta mendiagnosis masalah BMS (Battery Management System), mereka kebingungan seperti orang tua melihat TikTok.”

Industri hilirisasi membutuhkan kompetensi teknis yang dalam dan spesifik:
Ahli metalurgi yang memahami perilaku logam pada suhu ekstrem
Teknisi otomasi yang bisa memprogram PLC untuk mengontrol ratusan sensor
Maintenance specialist yang mampu mendiagnosis masalah kompleks pada sistem produksi terintegrasi

Yang didapat? Lulusan yang bisa membuat presentasi PowerPoint cantik tentang “Future of Industry 4.0” tapi berkeringat dingin saat diminta menjelaskan cara kerja inverter.

Seperti kata pepatah Betawi: “Gayanya selangit, duitnya seuprit” (Gayanya tinggi, uangnya sedikit)—banyak klaim kompetensi di atas kertas, minim bukti di lapangan.

*Kebijakan Sepotong-Sepotong: Menu Prasmanan Tanpa Koordinasi

Program “SMK Pusat Keunggulan” melahirkan 74 SMK berkualitas tinggi. Program “Teaching Factory” menciptakan 418 unit produksi di SMK. Program “Link and Match” menghubungkan 1.250 SMK dengan industri. Terdengar bagus di atas kertas. Tapi seperti menu prasmanan yang diambil tanpa koordinasi, nasi, lauk, dan sayur tidak pernah bertemu dalam satu piring.

Alokasi anggaran pendidikan vokasi 2024 mencapai Rp14,7 triliun, naik 30% dari tahun sebelumnya. Tapi potret di lapangan? Mesin-mesin teaching factory berkarat karena tidak ada dana pemeliharaan. Laboratorium canggih terkunci karena tidak ada teknisi yang bisa mengoperasikannya. Kerjasama industri berakhir setelah seremoni penandatanganan MoU.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian dengan bangga mengumumkan investasi hilirisasi nikel sebesar Rp240 triliun tanpa pernah menyinggung bagaimana memenuhi kebutuhan 28.000 teknisi dalam 3 tahun ke depan. Seperti membangun stadion World Cup tapi lupa melatih pemain sepakbola.

“Semua kementerian punya program masing-masing, tapi tidak ada yang bertanggung jawab ketika lulusan tidak terserap industri,” kritik Ketua Gabungan Industri Smelter Indonesia. “Kemenaker sibuk dengan angka penyerapan tenaga kerja. Kemendikbud fokus pada jumlah lulusan. Kemendag bangga dengan angka ekspor produk hilir. Tapi tidak ada yang memastikan SDM kita siap mengisi posisi-posisi kunci di industri hilirisasi.”

Seperti kata bijak Bung Hatta yang terlupakan: “Membangun ekonomi dimulai dari membangun manusianya, bukan sebaliknya.”

*Jalan Tengah: Kembali ke STM atau Revolusi SMK?

Di tengah ironi ini, dua kubu solusi mulai terbentuk:

Kubu “Back to STM” menawarkan:
Re-spesialisasi vokasi: Contohnya SMK Nikel di Morowali, SMK DME di Sumsel, SMK Pengolahan Bauksit di Kalbar
Pendidikan vokasi berbasis kawasan industri: Setiap kawasan industri wajib memiliki sekolah vokasi terintegrasi
Guru praktik wajib dari industri: 60% pengajar adalah praktisi industri aktif

Kubu “SMK Revolution” mengusung:
Kurikulum agile: Pembaruan kurikulum 2 tahun sekali sesuai perkembangan teknologi
Dual system ekstrem: Siswa belajar 3 hari di industri, 2 hari di sekolah (model Jerman)
Internasionalisasi standar: Adopsi standar kompetensi global seperti WorldSkills sebagai benchmark

Tapi keduanya mentok di birokrasi yang sama. Seperti keluhan Dirjen Vokasi yang tak sengaja terekam jurnalis: “Kami punya 1.000 inovasi siap hilirisasi, tapi izin edarnya lebih rumit dari skripsi S3.”

*Cerita dari Dua Dunia

Cerita Pertama: Agus, lulusan SMK Teknik Elektronika Industri terbaik di Bekasi, diterima magang di pabrik semikonduktor Singapura. Dalam 6 bulan, dia menguasai pemrograman mikrokontroler dan maintenance peralatan presisi. Kini, dengan gaji SGD 3.500, dia menjadi spesialis kalibrasi di pabrik yang sama memasok chip untuk produk elektronik Indonesia.

Cerita Kedua: Pabrik pengolahan tembaga senilai Rp 37 triliun di Gresik akhirnya beroperasi setelah tertunda 5 bulan. Penyebabnya? Kekurangan 150 teknisi senior untuk mengoperasikan sistem furnace dan electrowinning. Solusinya? Mendatangkan teknisi dari Filipina dengan gaji dua kali lipat teknisi lokal, plus tunjangan ekspatriat.

Dua cerita ini adalah dua sisi mata uang yang sama: potret sistem pendidikan vokasi yang gagal memenuhi kebutuhan industrialisasi nasional.

*Epilog: Ferrari yang Dikendarai Tukang Ojek

Program hilirisasi adalah golden ticket Indonesia untuk lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah. Tapi tanpa revolusi sistem pendidikan vokasi, kita hanya akan menjadi “tuan rumah yang menyewakan kamarnya sendiri” memiliki pabrik canggih tapi dioperasikan orang lain.

Jika dulu STM melahirkan maestro seperti E. Soedjono (penemu mesin pengolah singkong otomatis) dan Warsito (penemu tomography capacitance imaging), kini SMK harus mencetak “teknisi baterai lithium” yang paham circuit design hingga thermal management. Bukan sekadar operator yang hanya bisa menekan tombol emergency stop.

Pernah dengar lelucon tentang Ferrari yang dikendarai tukang ojek? Mobilnya melaju kencang, tapi pengemudinya bingung bagaimana cara optimal mengoperasikannya, apalagi merawatnya. Itulah metafora sempurna untuk proyek hilirisasi kita, teknologi kelas dunia dijalankan oleh SDM yang belum siap.

Seperti kata bijak dari esai sebelumnya: “Habis bengkel terbitlah teori; habis praktik terbitlah sertifikat.” Hilirisasi akan menjadi boomerang jika SMK tetap menjadi “Sekolah Menyerahkan Keahlian” kepada tenaga asing.

Pilihan kita sebenarnya sederhana: kembali ke filosofi STM yang mencetak seniman teknik, atau melakukan revolusi total pada SMK. Yang pasti, status quo hanya akan membawa kita pada ironi terbesar abad 21: negara kaya sumber daya yang menjadi penonton di industrinya sendiri.

“Habis nikel, terbitlah smelter; habis tambang, terbitlah pabrik; habis SMK, terbitlah ‘Made in Indonesia by foreign engineers.'” (Gws-Itb/Halim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement