Jejak Sunyi dari Yaman: Tak Ternama di Bumi, Tapi Dirindukan oleh Langit
Surau.co – Dalam arus sejarah Islam yang dipenuhi tokoh besar, ada satu nama yang jarang terdengar namun sangat dihormati di langit. Uwais al-Qarni, seorang penggembala miskin dari Yaman, menjalani hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW, dan masyarakat pun hampir tak mengenalnya. Tapi justru karena ketulusannya, kisah hidupnya menggetarkan hati.
Mengasuh dengan Cinta: Uwais dan Ibunya
Uwais tumbuh dalam kesepian setelah ayahnya wafat saat ia masih kecil. Ia merawat ibunya yang sudah tua dan lumpuh seorang diri. Uwais menggembala kambing di bukit-bukit terpencil Yaman demi bertahan hidup. Orang-orang tak mengenalnya, tapi Allah menyaksikan setiap langkah kecil yang penuh cinta itu. Ia mencurahkan seluruh waktunya untuk merawat ibunya, tanpa berharap imbalan atau pujian.
Latihan Cinta yang Mustahil tapi Nyata
Ketika sang ibu menyampaikan keinginannya untuk menunaikan haji, Uwais tak mengeluh meski tahu betapa beratnya permintaan itu. Ia tak punya harta, kendaraan, atau pengaruh. Tapi cintanya melahirkan tekad yang luar biasa. Ia mulai menggendong seekor anak sapi setiap hari, melatih tubuhnya agar kuat. Ia melakukan itu selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, Uwais benar-benar menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah.
Setelah menyelesaikan ibadah haji, ia kembali menggendong ibunya pulang ke Yaman. Uwais tak meminta imbalan, tak mencari nama, dan tak ingin dielu-elukan. Ia hanya ingin ibunya bahagia, dan Allah rida. Setelah semua itu selesai, ia kembali ke kehidupannya yang tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi langit mencatat perjuangannya sebagai sesuatu yang luar biasa.
Ibadah yang Tak Terlihat, Tapi Menggetarkan Langit
Uwais bukan ulama besar, bukan juru dakwah terkenal. Tapi ia rutin berpuasa, rajin salat malam, dan bermunajat dalam keheningan. Ia tak pernah memamerkan ibadahnya. Bagi Uwais, ibadah adalah tentang kedekatan dengan Allah, bukan tentang perhatian manusia.
Karena ketulusan itu, Nabi Muhammad SAW menyebut namanya dalam sabda beliau. Rasulullah berkata, “Akan datang seorang dari Yaman bernama Uwais. Doanya mustajab. Jika kalian menemuinya, mintalah doa darinya.” Bahkan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib mencari pria sederhana ini karena wasiat Nabi.
Langit Menunggu Pertemuan Itu
Setelah Rasulullah wafat, Umar dan Ali benar-benar mencarinya saat musim haji. Mereka menemukan Uwais: pria kurus, sederhana, dengan cahaya di wajahnya. Ciri-ciri fisiknya sesuai dengan sabda Nabi, termasuk tanda putih di lehernya. Mereka meminta doa darinya, dan Uwais dengan rendah hati mendoakan mereka.
Namun ketika ditawari tempat tinggal, makanan enak, atau posisi terhormat, Uwais menolaknya. Ia memilih untuk tetap hidup dalam kesunyian agar keikhlasan ibadahnya tetap terjaga.
Akhir yang Hening, Tapi Terang
Tak lama setelah ia kembali dari haji, Uwais wafat di dekat makam ibunya. Tak ada berita besar, tak ada upacara megah. Tapi langit menyambutnya dengan cahaya. Ia tak punya gelar, tak tercatat dalam sejarah panjang dengan tinta emas, tapi Allah menyebut namanya di surga.
Dari Uwais al-Qarni, kita belajar bahwa menjadi besar di mata manusia bukanlah segalanya. Kehidupan sederhana, bakti pada orang tua, dan ibadah tulus dalam kesunyian justru membuka pintu langit. Ia mungkin tak terkenal di bumi, tapi namanya dirindukan oleh para malaikat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
