Khazanah
Beranda » Berita » Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat
Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

 

SURAU.CO – Ruang digital kian menjadi ruang belajar agama bagi banyak umat. Namun, derasnya arus informasi sering tidak diiringi kedewasaan akhlak, sehingga perbedaan mudah berubah menjadi polarisasi. Di sinilah pentingnya menghadirkan Asmaul Husna sebagai fondasi literasi digital dan pendidikan iman umat.

Perkembangan media sosial telah mengubah wajah pendidikan keagamaan. Kajian, ceramah, dan diskusi kini hadir dalam bentuk potongan video singkat, kutipan cepat, dan perdebatan terbuka. Di satu sisi, akses ilmu menjadi lebih luas. Namun di sisi lain, tanpa fondasi akhlak yang kokoh, ruang digital mudah menjadi ajang saling menyalahkan, bukan saling menasihati.

Pengenalan Kepada Allah (Ma’arifatullah)

Dalam manhaj, pendidikan iman selalu dimulai dari pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah). Imam Malik rahimahullah menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah letakkan di dalam hati. Cahaya inilah yang melahirkan adab, menuntun cara berbicara, dan mengendalikan sikap ketika berbeda. Tanpa cahaya itu, ilmu mudah berubah menjadi alat pembenaran ego.

Asmaul Husna mengajarkan umat untuk membaca realitas sosial dengan kacamata tauhid. Ketika Allah dikenal sebagai Al-‘Adl (Maha Adil), umat diajar untuk menimbang sebelum menilai, mendengar sebelum memutuskan. Namun di ruang digital, keadilan sering kalah oleh kecepatan. Potongan informasi disebar tanpa verifikasi, lalu dijadikan dasar untuk menghakimi. Inilah salah satu wajah rendahnya literasi digital umat.

Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

Fenomena polarisasi keagamaan juga menunjukkan rapuhnya penghayatan terhadap sifat Allah Al-Halim (Maha Penyantun). Para ulama Salaf dikenal sangat berhati-hati dalam merespons perbedaan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tetap menjaga lisan dan adab, meskipun menghadapi tekanan dan perbedaan tajam. Keteguhan beliau tidak melahirkan kekasaran, tetapi keteladanan. Sikap ini relevan di era digital, ketika emosi sering lebih cepat daripada pertimbangan.

Kemampuan Mengelola Sikap di Ruang Publik

Literasi digital umat sejatinya bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, melainkan kemampuan mengelola sikap di ruang publik. Al-Ajurri rahimahullah dalam Akhlaq al-‘Ulama menekankan bahwa penuntut ilmu harus belajar menahan diri sebelum berbicara. Prinsip ini semakin penting ketika setiap orang memiliki mimbar dan audiens. Tanpa adab, ruang digital berubah menjadi arena konflik yang melelahkan.

Kesadaran bahwa Allah adalah Ar-Raqib (Maha Mengawasi) juga perlu dihidupkan kembali dalam pendidikan umat. Banyak ujaran kasar dan fitnah lahir karena pelakunya merasa aman di balik layar. Padahal Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengingatkan bahwa orang beriman menahan dirinya karena merasa diawasi Allah, sementara yang lalai merasa bebas karena lupa pengawasan-Nya. Konsep muraqabah inilah benteng utama etika bermedia.

Pendidikan tauhid yang hidup akan melahirkan keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang. Allah adalah Al-Haqq (Maha Benar), namun Dia juga Ar-Rahman (Maha Pengasih). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah adalah yang paling besar kasih sayangnya kepada umat, sekaligus paling konsisten menjaga kebenaran. Kebenaran yang disampaikan tanpa hikmah justru berpotensi melahirkan penolakan dan memperlebar jurang perpecahan.

Fanatisme sempit yang menguat di ruang digital juga menunjukkan minimnya penghayatan terhadap sifat Allah Al-Wahid (Maha Esa). Persatuan umat bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengelolanya dengan adil dan beradab. Para ulama Salaf berbeda pendapat dalam banyak masalah, namun tetap menjaga ukhuwah dan kehormatan sesama Muslim. Tradisi ini patut dihidupkan kembali dalam pendidikan dan dakwah digital.

Jangan Membesarkan Anak dengan Uang Haram

Penutup

Menghadirkan Asmaul Husna dalam literasi digital umat bukan berarti menambah beban kurikulum, melainkan menguatkan orientasi. Pendidikan agama yang hanya menekankan hafalan dan keberanian berbicara berisiko melahirkan generasi yang aktif berkomentar, tetapi miskin kebijaksanaan. Sebaliknya, pengenalan yang mendalam terhadap nama dan sifat Allah akan membentuk karakter yang tenang, adil, dan bertanggung jawab.

Tantangan literasi digital umat tidak cukup dijawab dengan seruan etika atau regulasi semata. Ia menuntut pembenahan dari akar terdalam: menghidupkan kembali pendidikan tauhid dan Asmaul Husna sebagaimana dipahami generasi Salaf.

Di hari Jumat yang penuh keberkahan ini, umat patut merenung bukan sekadar seberapa aktif kita berbicara di ruang digital, tetapi seberapa sungguh kita menjaga adab di hadapan Allah yang Maha Mengawasi. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.