Pendidikan
Beranda » Berita » Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an
Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

 

SURAU.CO – Al-Qur’an hadir dengan bahasa yang sangat teliti. Satu harakat mampu mengubah makna. Ketika ketelitian ini diabaikan, kekeliruan bahasa mudah berubah menjadi kesalahan beragama.

Bahasa Al-Qur’an bukan sekadar medium penyampai pesan, melainkan bagian dari pesan itu sendiri. Setiap kata dipilih dengan presisi, setiap susunan memiliki tujuan. Karena itu, para ulama sejak generasi awal menaruh perhatian besar pada lafaz dan makna. Mereka memahami bahwa kesalahan kecil dalam bahasa bisa melahirkan kesalahan besar dalam pemahaman.

Salah satu contoh yang sarat pelajaran literasi terdapat pada perbedaan kata كَبُرَ (kabura) dan كَبِرَ (kabira). Keduanya berasal dari akar kata yang sama, tetapi perbedaan satu harakat menjadikan maknanya sangat berbeda.

Dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa كَبُرَ بِالضَّمِّ يَكْبُرُ bermakna ‘azhuma, yakni menjadi besar dan dahsyat dari sisi nilai. Bukan besar secara fisik, melainkan besar dalam keburukan, dosa, dan penyimpangan makna. Karena itu, kata ini digunakan Al-Qur’an untuk mengecam ucapan yang melampaui batas kebenaran.

Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

Ucapan yang tampak ringan di lidah, tetapi sangat berat timbangannya di sisi Allah

Allah Ta‘ala berfirman:

 ﴿كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ﴾
“Alangkah besarnya (buruknya) perkataan yang keluar dari mulut mereka.” (QS. Al-Kahfi: 5)

Ayat ini turun sebagai kecaman terhadap klaim yang menisbatkan anak kepada Allah. Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan kata kaburat sebagai ‘azhuma dzanbuha wa qabiha ma‘nâha besar dosanya dan sangat buruk maknanya. Ibnu Katsir menyebutnya kalimat syani‘ah, ucapan yang keji karena mengandung kebohongan besar terhadap Allah.

Pesan ayat ini jelas: ada ucapan yang tampak ringan di lidah, tetapi sangat berat timbangannya di sisi Allah. Ukuran “besar” dalam Islam bukan pada panjang kalimat atau popularitasnya, melainkan pada kerusakan makna yang dikandungnya.

Sebaliknya, ketika huruf ba dibaca dengan kasrah, maknanya berubah total. كَبِرَ بِكَسْرِ الْبَاءِ berarti menjadi tua atau lanjut usia. Inilah yang oleh para ulama disebut الكِبَر في السِّنّ, ketuaan secara biologis, bukan penilaian moral.

Jangan Membesarkan Anak dengan Uang Haram

Makna ini tampak dalam pengaduan Khaulah binti Tsa‘labah رضي الله عنها kepada Rasulullah ﷺ. Ia mengisahkan bahwa masa mudanya telah habis, ia telah mengandung anak-anak suaminya, hingga ketika usianya telah lanjut, lalu ia dizhihār. Ungkapan ini menggambarkan kondisi fisik dan sosial seorang perempuan yang telah menua, tanpa sedikit pun mengandung celaan.

Al-Qur’an justru memerintahkan penghormatan kepada mereka yang telah mencapai usia lanjut:

> ﴿إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ (QS. Al-Isra’: 23)

Dari sini terlihat jelas bahwa kabura (besar dalam keburukan) dan kabira (tua dalam usia) adalah dua makna yang sama sekali berbeda. Bahasa Al-Qur’an memisahkan keduanya dengan tegas. Kesalahan membaca harakat bukan sekadar kekeliruan teknis, tetapi bisa memindahkan makna dari ranah moral ke ranah biologis.

Pelajaran seharusnya menyadarkan kita pada persoalan yang lebih besar: literasi umat

Di era digital, ayat Al-Qur’an dan hadis beredar luas dalam bentuk potongan, poster, dan kutipan singkat. Tidak sedikit yang dibagikan tanpa konteks, tanpa pemahaman bahasa, bahkan tanpa kehati-hatian makna. Banyak orang merasa cukup dengan terjemahan ringkas, lalu berani menyimpulkan hukum, menilai kesesatan, atau merendahkan pihak lain.

Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan

Padahal, para ulama salaf sangat berhati-hati dalam berbicara tentang agama. Abdullah bin Mas‘ud رضي الله عنه berkata,
“Barang siapa berbicara dalam setiap perkara yang ia dengar, maka ia pasti akan salah.”

Imam Malik dikenal sering menjawab pertanyaan dengan “la adri” (aku tidak tahu). Ketika ditanya tentang sikapnya itu, beliau berkata,
“Barang siapa menjadikan dirinya sasaran untuk menjawab semua pertanyaan, maka sungguh ia telah gila.”

Sikap ini lahir dari kesadaran bahwa kata-kata adalah amanah. Salah ucap dalam perkara agama bukan sekadar kesalahan intelektual, tetapi bisa menjadi dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang ia anggap sepele, namun karenanya ia terjerumus ke dalam neraka sejauh timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini merupakan penjelasan nyata tentang konsep kaburat kalimah. Betapa banyak ucapan yang dianggap biasa, padahal dampaknya sangat besar.

Kemampuan Membaca Huruf Arab

Karena itu, literasi umat tidak boleh dipahami semata sebagai kemampuan membaca huruf Arab atau menghafal terjemahan. Literasi dalam perspektif Al-Qur’an adalah kesadaran akan tanggung jawab makna. Al-Qur’an sendiri menegaskan:

 ﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ﴾
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.”
(QS. Al-Isra’: 36)

Ayat ini menjadi fondasi etika berbicara, menulis, dan bermedia bagi umat Islam. Di tengah kebisingan opini dan cepatnya arus informasi, Al-Qur’an justru mengajarkan kehati-hatian, ketelitian, dan adab sebelum berbicara.

Mempelajari satu harakat dalam Al-Qur’an sejatinya bukan sekadar pelajaran bahasa, tetapi pelajaran iman. Ketika umat meremehkan ketelitian bahasa wahyu, saat itulah kesalahan kecil berpotensi menjelma menjadi penyimpangan besar dalam cara beragama.

Tulisan ini hanyalah satu pintu masuk. Masih banyak pilihan lafaz, susunan kalimat, dan nuansa bahasa Al-Qur’an yang menyimpan pelajaran literasi mendalam. Membacanya dengan teliti bukan hanya memperkaya ilmu, tetapi juga menjaga hati dan lisan.

Di zaman ketika kata-kata mudah diucapkan dan disebarkan, Al-Qur’an mengingatkan kita dengan tegas namun lembut: satu harakat bisa mengubah makna, dan satu ucapan bisa menentukan arah iman. (Tengku Iskandar: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.