SURAU.CO – Anak tidak hanya tumbuh dari kasih sayang, tetapi dari apa yang kita suapkan. Bukan besarnya harta yang membentuk masa depan mereka, melainkan halal atau haramnya sumber nafkah. Di situlah pendidikan iman sesungguhnya dimulai atau runtuh sejak dini.
Di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan sosial, sebagian orang tua merasa sah menghalalkan berbagai cara “demi anak”. Padahal dalam pandangan Islam, anak justru menjadi alasan utama untuk lebih bertakwa, bukan dalih untuk melanggar batas syariat. Uang haram yang masuk ke rumah bukan sekadar persoalan dosa personal, tetapi bibit kerusakan akhlak generasi.
Islam menempatkan nafkah sebagai fondasi pendidikan
Anak bukan hanya belajar dari nasihat, tetapi dari apa yang menjadi darah dan dagingnya. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa daging yang tumbuh dari yang haram lebih layak bagi neraka. Pernyataan ini bukan retorika keras, melainkan peringatan serius bahwa sumber nafkah berpengaruh langsung pada kejernihan hati.
Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik (halal) yang Kami berikan kepadamu.” (QS. al-Baqarah: 172)
Para mufasir menjelaskan bahwa perintah “makan” dalam ayat ini tidak terbatas pada aktivitas fisik, tetapi mencakup seluruh proses penghidupan cara memperoleh, mengelola, dan mendistribusikan rezeki.¹ Artinya, membesarkan anak dengan harta haram berarti menabrak perintah dasar keimanan.
Ironisnya, tidak sedikit orang tua tekun menyekolahkan anak, membiayai kursus, dan mengejar prestasi, tetapi abai pada pertanyaan paling mendasar: apakah semua itu dibiayai dengan harta yang Allah ridhai? Ketika anak tumbuh keras hati, jauh dari shalat, dan sulit dinasihati, keluhan sering diarahkan ke lingkungan atau zaman. Padahal bisa jadi, akar persoalannya ada di meja makan keluarga.
Makanan Halal adalah Cahaya Bagi Hati
Rasulullah ﷺ pernah menggambarkan seseorang yang berdoa dengan penuh harap, namun doanya tertolak karena makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari yang haram.² Jika doa orang dewasa saja terhalang oleh nafkah haram, bagaimana dengan anak-anak yang sejak kecil tumbuh darinya? Doa mereka bisa kehilangan daya, dan nasihat orang tua kehilangan wibawa.
Ulama klasik menaruh perhatian besar pada soal ini. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa makanan halal adalah cahaya bagi hati, sementara yang haram menumbuhkan kegelapan yang membuat kebenaran sulit diterima.³ Inilah sebabnya mengapa dalam tradisi salaf, kehati-hatian terhadap harta syubhat menjadi bagian dari pendidikan keluarga, bukan sekadar urusan pribadi.
Ayah dan ibu memikul tanggung jawab bersama. Ayah dituntut jujur dalam mencari nafkah, ibu dituntut selektif dalam menerima dan mengelola. Kalimat “yang penting anak tercukupi” tidak cukup jika cara mencukupinya mengorbankan keberkahan. Umar bin Khattab dikenal lebih memilih menahan lapar keluarganya daripada memberi makan dari harta yang meragukan.
Opini ini bukan seruan moralistis tanpa empati. Islam memahami keterbatasan hidup. Namun Islam juga menegaskan bahwa sedikit tapi halal jauh lebih menyelamatkan daripada banyak tapi merusak. Sejarah membuktikan, banyak keluarga sederhana melahirkan anak-anak berakhlak mulia, sementara sebagian keluarga berlimpah justru menuai kegelisahan.
Anak adalah amanah, bukan proyek dunia
Mereka akan mewarisi bukan hanya harta, tetapi nilai yang tertanam dari sumber nafkah orang tuanya. Kita harus mulai pendidikan dari kejujuran di dompet dan keberanian menolak yang haram jika ingin generasi jujur, lembut, dan taat.
Karena pada akhirnya, uang haram tidak hanya mengotori harta, tetapi mengaburkan masa depan. Dan sebaliknya, rezeki halal meski sedikit adalah benih doa, ketenangan, dan keselamatan anak di dunia serta akhirat.
Catatan Kaki
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, tafsir QS. al-Baqarah: 172; juga al-Qurthubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, penjelasan makna halalan thayyiban.
HR. Muslim no. 1015, tentang doa yang tertolak karena makanan dan pakaian haram.
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Kitab Kasb al-Halal, bab pengaruh makanan halal terhadap hati. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

