Opinion
Beranda » Berita » Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tidak Lagi Dianggap Dosa

Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tidak Lagi Dianggap Dosa

Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tak Lagi Dianggap Dosa
Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tak Lagi Dianggap Dosa

 

SURAU.CO – Di ruang kehidupan modern, maksiat tidak lagi hadir sebagai sesuatu yang ditakuti. Ia tidak datang dengan wajah gelap atau rasa bersalah. Sebaliknya, ia tampil percaya diri, dibungkus bahasa yang halus, dan sering kali dipromosikan sebagai bagian dari kemajuan, kebebasan, bahkan hak asasi. Inilah fenomena yang lebih berbahaya dari maksiat itu sendiri: maksiat yang dihalalkan.

Jika dahulu dosa dilakukan sembunyi-sembunyi, hari ini ia dipertontonkan. Jika dulu pelakunya masih merasa bersalah, kini justru meminta legitimasi sosial dan agama. Pergeseran ini menandai krisis serius dalam cara manusia memandang halal dan haram. Bukan lagi wahyu yang menjadi rujukan utama, melainkan selera zaman dan tekanan opini publik.

Dari Pelanggaran ke Pembenaran

Allah telah mengingatkan, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al-An‘am: 116). Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak diukur oleh popularitas, tetapi oleh kesetiaan pada wahyu.

Maksiat yang dihalalkan hampir selalu dimulai dari perubahan istilah. Zina diganti menjadi “hubungan suka sama suka”. Riba dilunakkan menjadi “bunga wajar”. Aurat disebut “pilihan personal”. Minuman keras dikemas sebagai gaya hidup. Bahasa bekerja sebagai alat normalisasi dosa.

Ketika Perempuan Dijadikan Komoditas

Padahal Rasulullah ﷺ telah memberi peringatan keras, “Sungguh akan ada di antara umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik” (HR. Bukhari). Hadits ini berbicara bukan sekadar tentang perbuatan maksiat, tetapi tentang perubahan status hukum dalam persepsi umat.

Menghalalkan yang Haram: Kerusakan yang Lebih Dalam

Para ulama membedakan antara pelaku maksiat dan penghalal maksiat. Yang pertama masih mengakui kesalahan dan memiliki peluang taubat. Yang kedua telah memasuki wilayah pembangkangan terhadap hukum Allah.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah” (QS. An-Nahl: 116). Menurut para mufassir, ayat ini turun sebagai peringatan keras terhadap kebiasaan manusia menetapkan hukum tanpa dasar wahyu.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mencakup siapa saja yang menetapkan halal–haram berdasarkan hawa nafsu, tradisi, atau kepentingan, bukan dalil syar‘i.¹

Hawa Nafsu sebagai Otoritas Baru

Akar utama dari maksiat yang dihalalkan adalah menjadikan hawa nafsu sebagai standar kebenaran. Al-Qur’an menyebutnya secara tegas, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23).

Renungan Jiwa: Pertanggungjawaban Sebelum dan Sesudah Hidup di Dunia

Menurut Tafsir Ath-Thabari, makna ayat ini adalah orang yang tidak menimbang benar dan salah kecuali berdasarkan apa yang ia sukai, lalu ia ikuti, meski bertentangan dengan perintah Allah.²

Al-Hasan Al-Bashri رحمه الله berkata, “Tidaklah seseorang mengikuti hawa nafsunya kecuali ia akan tersesat, meskipun ia mengira dirinya berada di atas kebenaran.”

Ucapan ini menggambarkan betapa subjektivitas nafsu sering menyamar sebagai kebenaran rasional. Jadi, waspadalah.

Normalisasi Dosa dan Dampak Sosial

Maksiat yang dihalalkan tidak berhenti pada individu. Ia merusak struktur sosial. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika maksiat dilakukan secara terang-terangan di tengah suatu kaum, maka azab akan menimpa mereka secara merata” (HR. Ahmad).

Dalam syarahnya, Imam Al-Munawi menjelaskan bahwa azab kolektif terjadi bukan karena semua pelaku dosa, tetapi karena hilangnya sikap saling menasihati dan mengingkari kemungkaran.³

Subuh Jahanam Dan Lonceng Kematian: Bagaimana Negara Membunuh Penyidik

Inilah yang kita saksikan hari ini: dosa tidak hanya dilakukan, tetapi dibela. Yang mengingatkan justru dicibir. Akibatnya, masyarakat kehilangan mekanisme koreksi moral.

Dalil Dipilih, Syariat Dipotong

Fenomena lain dari maksiat yang dihalalkan adalah penggunaan dalil secara parsial. Contohnya, ayat tentang rahmat Allah dikutip tanpa ayat tentang ancaman-Nya.

Allah mengecam sikap ini, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (QS. Al-Baqarah: 85).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini mencakup siapa pun yang mengambil syariat sesuai kepentingannya dan meninggalkan yang tidak sesuai hawa nafsu.⁴

Imam Malik رحمه الله berkata, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.”

Artinya, standar kebenaran tidak berubah oleh zaman, meskipun metode penyampaiannya bisa menyesuaikan.

Taubat Butuh Kejujuran Moral

Islam tetap membuka pintu taubat. Allah berfirman, “Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Az-Zumar: 53).

Namun para ulama tafsir menegaskan bahwa ayat ini berlaku bagi mereka yang mengakui kesalahan, bukan yang mengubah dosa menjadi kebenaran.⁵

Umar bin Khattab r.a. berkata,

“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.”

Muhasabah hanya mungkin jika dosa masih diakui sebagai dosa.

Penutup: Menjaga Batas di Zaman yang Cair

Zaman boleh berubah, teknologi boleh maju, tetapi halal dan haram tidak pernah cair. Maksiat yang dihalalkan adalah ujian iman: apakah kita masih tunduk pada wahyu, atau menyerah pada arus pembenaran?

Keselamatan tidak ditentukan oleh seberapa canggih argumentasi kita, tetapi seberapa jujur kita menundukkan diri kepada kebenaran. Sebab kelak, yang ditanya bukan selera zaman, melainkan kepatuhan kepada hukum Allah yang telah jelas.

Catatan Kaki

  1. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, tafsir QS. An-Nahl: 116.

  2. Ath-Thabari, Jami‘ Al-Bayan, tafsir QS. Al-Jatsiyah: 23.

  3. Al-Munawi, Fayd Al-Qadir Syarh Jami‘ Ash-Shaghir, syarah hadits tentang maksiat terang-terangan.

  4. Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur’an, tafsir QS. Al-Baqarah: 85.

  5. Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, tafsir QS. Az-Zumar: 53. (Tengku Iskandar: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.