SURAU.CO – Setiap menjelang hari raya agama lain, khususnya Natal pertanyaan yang hampir selalu muncul di tengah umat Islam adalah:
“Ustadz, bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal kepada teman, tetangga, atau rekan kerja yang beragama Nasrani?”
Pertanyaan ini tampak sederhana, namun sejatinya menyentuh persoalan mendasar dalam Islam, yakni akidah, loyalitas keimanan (al-walā’ wal-barā’), batas toleransi, serta adab bermuamalah dengan non-Muslim. Karena itu, para ulama sejak generasi awal telah membahasnya secara serius dan mendalam.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami masalah ini, para ulama, baik klasik maupun kontemporer, memaparkan secara utuh pandangan mereka, argumentasi, dan batasannya.
Pembagian Masalah Hari Raya Agama Lain
Para ulama menjelaskan bahwa pembahasan terkait hari raya agama lain terbagi menjadi dua masalah besar:
- Hukum turut serta merayakan, menghadiri, atau ikut menyemarakkan hari raya agama lain
-
Hukum sekadar mengucapkan selamat (tahniah)
Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Untuk poin pertama, para ulama sepakat tanpa perbedaan pendapat bahwa haram hukumnya seorang Muslim ikut serta dalam perayaan atau syiar hari raya agama lain, karena hal tersebut termasuk:
Tasyabbuh (menyerupai orang kafir),
Pengagungan terhadap syiar kekufuran,
Loyalitas yang bertentangan dengan akidah Islam. (Lihat: Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/128–130)
Adapun poin kedua mengucapkan selamat hari raya inilah yang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama.
Pendapat Mayoritas Ulama Empat Mazhab (Melarang)
Mayoritas ulama dari empat mazhab fiqih berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim adalah haram, karena termasuk bentuk pengagungan syiar agama mereka.
- Mazhab Hanafiyyah
Ibnu Najim رحمه الله berkata dalam Al-Bahr Ar-Ra’iq (8/555), menukil dari Abu Hafsh Al-Kabir:
“Jika seseorang beribadah kepada Allah selama 50 tahun, lalu pada hari raya kaum musyrik ia memberi hadiah dengan tujuan mengagungkan hari itu, maka ia kafir dan gugur amalnya.”
Bahkan, memberi hadiah tanpa niat pengagungan pun dimakruhkan bila dilakukan tepat di hari raya mereka, karena menyerupai dan menyetujui syiar mereka.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
(HR. Abu Dawud)
- Mazhab Malikiyyah
Ibnul Haj Al-Maliki رحمه الله dalam Al-Madkhal (2/46–48) menukil pendapat Ibnu Qasim:
Tidak boleh memberi hadiah kepada Nasrani pada hari raya mereka,
Tidak halal membantu kebutuhan hari raya mereka (makanan, pakaian, kendaraan),
Karena hal itu termasuk pengagungan kesyirikan dan bantuan terhadap kekufuran.
Beliau menegaskan bahwa ini adalah pendapat Imam Malik رحمه الله dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka.
- Mazhab Syafi’iyyah
Ibnu Hajar Al-Haitami رحمه الله berkata dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah (4/238–239):
“Termasuk bid‘ah terburuk adalah persetujuan kaum Muslimin terhadap orang Nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai makanan, memberi hadiah, dan menerima hadiah.”
Dalam kitab An-Najm Al-Wahhaj dan Mughni Al-Muhtaj disebutkan bahwa orang yang mengucapkan selamat hari raya agama lain dikenai ta‘zir (hukuman disiplin syar‘i).
- Mazhab Hanabilah
Imam Al-Buhuti رحمه الله dalam Kasyful Qina’ (3/131) menyatakan:
“Haram mengucapkan selamat, menghadiri, dan memberi hadiah pada hari raya mereka karena itu termasuk pengagungan, menyerupai salam.”
Mazhab Hanbali memberi pengecualian menjenguk non-Muslim yang sakit jika diharapkan masuk Islam, sebagaimana Nabi ﷺ menjenguk seorang Yahudi (HR. Bukhari). Namun hal ini tidak berlaku pada tahniah hari raya.
Fatwa Lembaga Kontemporer
Pendapat larangan ini juga:
Menjadi fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi,
Menjadi fatwa resmi MUI,
Dianut oleh banyak ulama Ahlus Sunnah kontemporer.
Pendapat Sebagian Ulama Kontemporer (Membolehkan Bersyarat)
Sebagian kecil ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Natal dengan syarat tertentu. Di antaranya:
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi رحمه الله,
Beberapa ulama minoritas fiqih mu‘āmalah modern.
Dalil yang Digunakan
Mereka berdalil dengan firman Allah ﷻ:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu karena agama.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Menurut mereka, ucapan selamat dipahami sebagai etika sosial (mujamalah), bukan pengakuan akidah.
Syarat Ketat Menurut Pendapat Ini
Tidak mengakui akidah Nasrani,
Tidak menghadiri perayaan ibadah,
Dan Tidak mengucapkan lafaz syirik,
Tidak mengagungkan hari raya,
Murni hubungan sosial.
Tanggapan Ilmiah Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama Ahlus Sunnah memberikan beberapa catatan penting:
- QS. Al-Mumtahanah: 8 berbicara tentang muamalah duniawi, bukan syiar agama.
-
Hari raya adalah simbol dan puncak ibadah agama, bukan adat biasa.
-
Tahniah bermakna persetujuan simbolik, meski tidak diniatkan.
-
Tidak ada satu pun contoh dari Nabi ﷺ dan para sahabat mengucapkan selamat hari raya agama lain.
-
Berlaku kaidah sadd adz-dzari‘ah (menutup pintu kerusakan akidah).
Sikap yang Paling Selamat bagi Seorang Muslim
Dalam perkara khilaf yang menyentuh akidah, para ulama menganjurkan memilih:
Pendapat yang paling selamat bagi agama.
Maka sikap yang dianjurkan:
Tidak mengucapkan selamat Natal,
Tetap berbuat baik dan adil kepada non-Muslim,
Menjaga hubungan sosial tanpa melanggar batas iman,
Menunjukkan akhlak Islam yang luhur.
Penutup
Masalah mengucapkan selamat Natal bukan sekadar persoalan sopan santun, tetapi menyangkut penjagaan akidah dan identitas keimanan. Perbedaan pendapat memang ada, namun pendapat mayoritas ulama empat mazhab lebih kuat secara dalil dan lebih aman bagi agama seorang Muslim.
Tidak mengucapkan selamat Natal bukan berarti membenci, melainkan bentuk ketaatan dan konsistensi iman.
Semoga Allah menjaga akidah kita, memperindah akhlak kita, dan memberi kita taufik untuk beragama di atas ilmu. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
