Pendidikan
Beranda » Berita » Belajar Tidak Terlalu Menggenggam: Pelajaran Hati dari Perjalanan Hidup

Belajar Tidak Terlalu Menggenggam: Pelajaran Hati dari Perjalanan Hidup

Belajar Tidak Terlalu Menggenggam: Pelajaran Hati dari Perjalanan Hidup
Belajar Tidak Terlalu Menggenggam: Pelajaran Hati dari Perjalanan Hidup

 

SURAU.CO – Ada fase dalam hidup ketika sesuatu yang hari ini kita anggap sangat istimewa, pada suatu waktu terasa biasa saja. Ada orang yang kita kira akan selalu ada di sisi, ternyata memilih berjalan ke arah yang berbeda. Ada keadaan yang kita yakini akan bertahan lama, namun pelan-pelan memudar dan hilang. Semua itu sering membuat hati bertanya: mengapa?.

Namun sesungguhnya, hidup tidak sedang bersikap kejam. Allah tidak sedang mempermainkan perasaan hamba-Nya. Justru di sanalah pelajaran besar tentang tauhid hati sedang diajarkan.

Manusia diciptakan dengan Rasa

Ia mampu mencinta, berharap, rindu, dan terikat. Itu fitrah. Islam tidak pernah melarang cinta, bahkan memuliakannya. Namun Islam juga mengajarkan tata kelola rasa, agar hati tidak tersesat oleh apa yang dicintainya. Sebab rasa yang tidak terdidik akan menjelma menjadi ketergantungan, dan ketergantungan adalah pintu luka.

Banyak kekecewaan dalam hidup bukan karena kehilangan itu sendiri, tetapi karena rasa yang terlalu menggenggam. Kita menggantungkan kebahagiaan pada manusia, kenyamanan pada keadaan, dan harga diri pada pengakuan. Padahal semua itu rapuh, berubah, dan berada di luar kendali kita. Di sinilah iman diuji.

Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan

Allah sejak awal telah mengingatkan bahwa dunia hanyalah tempat singgah. Rasulullah ﷺ bersabda agar seorang mukmin hidup di dunia seperti orang asing atau seorang musafir. Namun hati manusia sering menjadikan dunia sebagai rumah permanen. Kita membangun harapan seolah semuanya akan selalu sama, seolah orang tidak akan berubah, seolah perpisahan tidak akan datang.

Padahal hukum Allah tentang dunia sangat jelas: segala yang selain-Nya fana

Ketika seseorang pergi dari hidup kita, sering kali bukan karena ia buruk, tetapi karena Allah tidak ingin hati kita terlalu bergantung padanya. Ketika sebuah keadaan berubah, bisa jadi bukan karena itu kegagalan, tetapi karena Allah sedang memindahkan sandaran kita. Dari makhluk kepada Sang Khalik.

Sayangnya, manusia sering membaca kehilangan sebagai hukuman, bukan sebagai pendidikan. Kita menangisi yang pergi, tetapi lupa bertanya: apa yang Allah ingin ajarkan?

Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali mendidik manusia agar tidak terlalu melekat pada dunia. Bukan untuk mematikan rasa, tetapi untuk meluruskan arah cinta. Karena cinta yang melampaui batas akan berubah menjadi sumber penderitaan. Ketika yang dicinta pergi, hati pun runtuh.

Namun orang yang hatinya bertauhid tidak akan runtuh oleh perubahan. Ia boleh bersedih, tetapi tidak kehilangan arah. Ia menangis, tetapi tidak berputus asa. Sebab ia tahu, sandarannya tidak pernah pergi.

Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tidak Lagi Dianggap Dosa

Inilah perbedaan antara kehilangan biasa dan kehilangan yang melukai iman. Kehilangan biasa membuat air mata jatuh, tetapi iman tetap berdiri. Kehilangan yang melukai iman membuat hati kosong, marah pada takdir, dan mempertanyakan kebijaksanaan Allah.

Padahal Allah tidak pernah salah mengatur

Sering kali Allah menjauhkan sesuatu dari hidup kita bukan karena kita tidak layak, tetapi karena hati kita terlalu menuhankannya tanpa sadar. Kita memberi porsi rasa yang seharusnya hanya layak untuk Allah. Ketika itu terjadi, Allah dengan kasih sayang-Nya menariknya kembali, agar hati ini selamat.

Rasa kecewa, jika direnungi, adalah alarm ruhani. Ia mengingatkan bahwa ada sandaran yang keliru. Ia memaksa kita berhenti, menunduk, dan menata ulang orientasi hidup. Kepada siapa sebenarnya aku berharap? Kepada siapa aku bergantung?

Orang yang mengenal Allah dengan benar tidak menjadikan manusia sebagai penentu bahagianya. Ia menghargai kehadiran, tetapi tidak hancur oleh kepergian. Ia mensyukuri keadaan baik, tetapi tidak putus asa ketika keadaan berubah. Sebab ketenangannya tidak lahir dari situasi, melainkan dari keyakinan.

Iman tidak mengajarkan kita menjadi dingin dan tak peduli. Islam tidak membentuk pribadi kaku tanpa rasa. Namun Islam mendidik agar rasa berada di bawah kendali iman, bukan sebaliknya. Agar cinta tidak membutakan, harap tidak menipu, dan kecewa tidak merusak jiwa.

Ketika Perempuan Dijadikan Komoditas

Cintai dan Bencilah Sewajarnya

Para ulama dan pendidik hati selalu menasihati:
Cintailah sewajarnya, bencilah sewajarnya.
Karena yang berlebihan sering berujung penyesalan.

Ketika kita mencintai manusia secara wajar, kita tidak akan menuntut kesempurnaan darinya. Kita sadar ia bisa berubah, bisa salah, bisa pergi. Dan ketika itu terjadi, hati tidak hancur, karena sejak awal kita tahu: ia hanyalah makhluk.

Sebaliknya, ketika cinta berubah menjadi penggantungan total, kita menaruh beban besar di pundak yang rapuh. Kita berharap makhluk memberi rasa aman yang seharusnya hanya Allah yang mampu memberikannya. Maka ketika makhluk itu gagal, luka pun tak terelakkan.

Allah Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Dia tahu kapan hati mulai menyimpang, kapan rasa mulai melampaui batas. Dan sering kali, cara Allah meluruskan bukan dengan nasihat, tetapi dengan peristiwa. Dengan perpisahan, Dengan perubahan. Dengan kehilangan.

Bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyelamatkan

Di titik inilah seorang mukmin belajar menjadi dewasa secara ruhani. Ia tidak reaktif terhadap keadaan. Tidak berlebihan dalam kegembiraan, tidak tenggelam dalam kesedihan. Ia memahami bahwa hidup adalah rangkaian ujian rasa, dan iman adalah penuntunnya.

Ucapan para pendidik ruhani sangat relevan:
“Selain kepada Allah dan Rasul-Nya, biasakanlah rasa hati itu biasa-biasa saja.”
Bukan berarti tidak mencinta, tetapi menempatkan cinta pada porsi yang benar. Bukan berarti tidak peduli, tetapi tidak menyerahkan seluruh jiwa kepada yang fana.

Ketika Allah menjadi sandaran utama, kehadiran manusia menjadi nikmat, bukan kebutuhan yang mencekik. Ketika Allah menjadi tujuan, dunia menjadi sarana, bukan penentu nilai diri. Dan ketika Allah menjadi tempat kembali, kehilangan apa pun tidak akan mematikan harapan.

Akhirnya, hidup mengajarkan kita satu pelajaran mahal

Yang pergi akan tetap pergi.
Yang berubah akan tetap berubah.
Namun Allah tidak pernah berubah.

Maka berbahagialah orang yang sejak awal menjadikan Allah sebagai pusat rasa, tempat berharap, dan tujuan akhir. Sebab siapa pun yang datang dan pergi dalam hidupnya, iman tetap utuh, hati tetap utuh, dan langkah tetap terarah.

Semoga Allah mendidik hati kita agar mencinta tanpa melampaui batas, berharap tanpa menggantungkan diri, dan bersandar tanpa kecewa. Karena ketika Allah telah menjadi sandaran, apa pun yang hilang tidak akan meruntuhkan iman melainkan menguatkannya. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.