SURAU.CO – Manusia sering kali merasakan letih yang tidak selalu dapat dijelaskan oleh tubuh. Ada lelah yang tidak sembuh dengan tidur panjang, ada gelisah yang tidak reda meski kebutuhan dunia terpenuhi. Hati terasa berat, ibadah hambar, doa seolah terhenti di langit-langit. Banyak yang mengira itu sekadar kelelahan mental atau tekanan hidup. Padahal, sering kali itu adalah isyarat luka pada ruh.
Dalam ungkapan para ulama, dosa bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi cedera ruhani. Ia meninggalkan bekas, menggerus kepekaan hati, dan melemahkan hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Maka sangat tepat ketika dikatakan, “Dosa adalah luka bagi ruh, dan istighfar adalah perbannya.” Sebab luka, sekecil apa pun, jika dibiarkan, akan membusuk dan melemahkan seluruh tubuh. Demikian pula dosa, jika tidak diobati, akan merusak ketenangan jiwa dan kejernihan iman.
Ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci. Ia mengenal Tuhannya, rindu pada kebaikan, dan cenderung kepada cahaya. Namun perjalanan hidup membuatnya berhadapan dengan godaan, kelalaian, dan kesalahan. Ada dosa yang disadari, ada pula yang dilakukan tanpa rasa bersalah. Semuanya meninggalkan jejak. Bukan karena Allah lemah memaafkan, tetapi karena hati manusia terbatas dalam menahan beban.
Ketika dosa menumpuk, efeknya tidak selalu berupa musibah lahiriah. Sering kali ia hadir sebagai hilangnya kekhusyukan, malas beribadah, berat menunaikan ketaatan, atau mudah tergelincir pada keburukan yang sama. Hati menjadi tumpul. Bukan karena ayat-ayat Allah kurang indah, tetapi karena ruh sedang terluka.
Permohonan Ampun yang Sederhana di Lisan
Di sinilah letak rahmat Allah yang besar. Dia tidak membiarkan hamba-Nya mencari obat sendiri. Allah menyediakan istighfar, permohonan ampun yang sederhana di lisan, tetapi mendalam dampaknya di jiwa. Istighfar bukan sekadar ucapan rutin, melainkan pengakuan jujur bahwa kita lemah, bahwa kita salah, dan bahwa kita sangat membutuhkan ampunan-Nya.
Istighfar adalah perban karena ia menutup luka. Ia mencegah dosa melebar dan merusak lebih jauh. Setiap kali seorang hamba beristighfar dengan kesadaran, cahaya kembali menetes ke dalam hati. Bukan berarti luka langsung hilang, tetapi ia mulai sembuh. Dan sebagaimana perban perlu diganti dan dirawat, istighfar pun perlu diulang bukan sekali, bukan dua kali, tetapi sepanjang hidup.
Rasulullah ﷺ, manusia yang dosanya telah diampuni, tetap beristighfar lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari. Ini bukan karena beliau memiliki dosa yang memberatkan, tetapi karena beliau memahami hakikat ruh: ia membutuhkan pembersihan terus-menerus. Jika Nabi saja beristighfar sebanyak itu, bagaimana dengan kita yang bergelimang kelalaian?
Sayangnya, sebagian manusia menunda istighfar karena merasa dosanya terlalu banyak atau terlalu kecil. Yang pertama membuat putus asa, yang kedua membuat lalai. Padahal istighfar justru diperlukan pada kedua kondisi itu. Dosa besar membutuhkan istighfar yang mendalam dan taubat yang sungguh-sungguh. Dosa kecil membutuhkan istighfar agar tidak menjadi besar karena diremehkan.
Istighfar Mengajarkan adab kepada Allah
Ia melatih hati untuk tidak merasa suci. Ia meruntuhkan kesombongan ruhani yang sering muncul ketika seseorang merasa telah banyak beramal. Dalam istighfar, kita belajar satu pelajaran penting: nilai kita di hadapan Allah bukan pada banyaknya amal, tetapi pada kejujuran hati.
Ketika seseorang terbiasa beristighfar, ia menjadi peka. Ia cepat menyadari kesalahan, ringan meminta maaf, dan tidak betah berlama-lama dalam dosa. Ini tanda ruh yang sehat. Sebaliknya, ketika istighfar terasa berat, itu isyarat bahaya. Sebab luka yang tidak dirawat akan membuat bagian yang terluka mati rasa.
Allah menjanjikan banyak keutamaan bagi orang yang memperbanyak istighfar: kelapangan rezeki, kemudahan urusan, ketenangan hati, dan jalan keluar dari kesempitan. Namun keutamaan terbesar istighfar bukan pada manfaat duniawinya, melainkan pada pulihnya hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Ketika hubungan ini pulih, urusan lain akan mengikuti.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, manusia jarang berhenti untuk membersihkan ruh. Kita membersihkan rumah, kendaraan, dan tubuh, tetapi sering lupa membersihkan hati. Padahal hati yang kotor membuat segala pencapaian terasa hampa. Di sinilah istighfar menjadi praktik spiritual yang relevan sepanjang zaman mudah, murah, dan menyelamatkan.
Kekuatan Lahir dari Istighfar
Istighfar tidak menuntut kondisi ideal. Ia bisa dilakukan kapan saja: saat berjalan, bekerja, bahkan saat jatuh dalam dosa. Jangan menunggu hati bersih untuk beristighfar, justru beristighfarlah agar hati dibersihkan. Jangan menunggu kuat untuk kembali, karena kekuatan itu lahir dari istighfar itu sendiri.
Setiap kali kita mengucap Astaghfirullah, sejatinya kita sedang mengetuk pintu rahmat Allah. Dan pintu itu tidak pernah tertutup bagi hamba yang datang dengan rendah hati. Allah tidak lelah menerima taubat, manusialah yang sering lelah meminta ampun.
Akhirnya, kita memahami bahwa hidup bukan tentang menjadi tanpa dosa, tetapi tentang tidak membiarkan dosa tanpa perban. Luka akan selalu ada selama kita manusia. Namun selama istighfar menjadi kebiasaan, luka itu tidak akan mematikan ruh. Ia justru menjadi pengingat agar kita terus kembali.
Semoga Allah menjadikan lisan kita basah dengan istighfar, hati kita lembut dengan taubat, dan ruh kita kuat dengan ampunan-Nya. Sebab di situlah letak keselamatan: bukan pada merasa suci, tetapi pada terus kembali kepada Allah. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
