Kalam
Beranda » Berita » Mengenal Kitab I’anatun Nisa’: Panduan Fiqih Wanita

Mengenal Kitab I’anatun Nisa’: Panduan Fiqih Wanita

SURAU.CO. Pesantren salaf terus memelihara tradisi keilmuan Islam klasik secara teguh. Mereka menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utama dalam setiap pembelajaran. Kitab ini bukan sekadar teks bacaan bagi para santri tetapi juga berfungsi sebagai sanad yang menyambungkan mereka dengan ulama terdahulu. Dalam tradisi tersebut, Kitab I’anatun Nisamenempati posisi yang sangat istimewa.

Kitab ini sangat populer di kalangan santri putri seluruh Indonesia. I’anatun Nisahadir sebagai solusi praktis untuk menjawab kebutuhan fiqih kewanitaan. Para santri menggunakannya untuk memahami hukum-hukum agama secara beradab dan bertanggung jawab.

Makna dan Misi Utama Kitab I’anatun Nisa’

Secara bahasa, nama I’anatun Nisamemiliki arti “pertolongan bagi wanita”. Nama tersebut bukan sekadar simbol tanpa makna yang mendalam. Nama ini merepresentasikan misi besar dari sang penulis kitab. Penulis ingin memberikan pertolongan nyata bagi kaum perempuan, khususnya para santriwati.

Kitab ini membantu mereka agar tidak tersesat dalam kerumitan hukum kewanitaan. Materi utamanya meliputi pembahasan tentang haid, nifas, serta istihadhah. Di banyak pesantren, tema ini sering dianggap sebagai materi yang sulit. Penjelasan dalam kitab fiqih besar biasanya memiliki struktur bahasa yang berat. I’anatun Nisa’ hadir sebagai jembatan untuk memudahkan kompleksitas hukum tersebut.

Isa Sang Mesiah: Wajah Kenabian dan Spirit Kemanusiaan

Sosok Penulis dan Sejarah Kelahiran Kitab

KH Muhammad Usman adalah sosok di balik penulisan kitab fenomenal ini. Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Ngawinan, Bulu, Kabupaten Kediri. Kitab setebal 120 halaman ini lahir dari lingkungan pesantren tepi Sungai Brantas. Isinya mencerminkan etos keilmuan pesantren yang sederhana namun sangat solutif.

KH Usman menyusun karya ini pada tahun 1988 silam. Saat itu, beliau masih aktif mengajar di Madrasah Murottilil Qur’an Kodran. Penulisan ini bermula dari sebuah kegelisahan pedagogis yang beliau rasakan. Beliau melihat santri putri kesulitan memahami fiqih haid dari kitab besar. Akhirnya, KH Usman merangkum dan menyaring materi dari berbagai rujukan otoritatif.

Beliau menyusun ulang materi tersebut menggunakan bahasa Arab-Jawa Pegon. Bahasa ini sangat akrab dan mudah dipahami oleh kalangan santri. Langkah ini menunjukkan keberanian intelektual sekaligus kepekaan sosial sang kiai.

Sistematika Pembahasan Fiqih Kewanitaan

Kitab I’anatun Nisa’ tidak menyederhanakan hukum secara asal-asalan atau serampangan. Penulis justru menertibkan urutan pembahasan agar lebih sistematis dan logis. Materi mengenai haid, nifas, dan istihadhah tersusun dengan sangat rapi. Penulis juga menyertakan berbagai implikasi hukum terhadap ibadah harian.

Pembaca akan menemukan panduan shalat, puasa, hingga aturan hubungan suami-istri. Meskipun bahasanya sederhana, dalil Al-Qur’an dan hadis tetap menjadi fondasi. Inilah kekuatan utama yang membuat kitab ini sangat berharga. I’anatun Nisa’ tetap setia pada otoritas fiqih namun ramah secara pengajaran.

Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Refleksi Bencana dan Ulah Manusia

Legitimasi Keilmuan dari Tradisi Lirboyo

Latar belakang keilmuan KH Muhammad Usman memperkuat legitimasi kitab ini. Beliau merupakan alumnus Pesantren Lirboyo di bawah asuhan KH Mahrus Ali. Selain Lirboyo, beliau pernah menimba ilmu di Pesantren Senori dan Batokan. Tradisi keilmuan yang besar ini terpancar dalam ketelitian tulisannya.

Sikap hati-hati penulis membuat kitab ini sangat dipercaya oleh para ulama. Tidak heran jika kitab ini menyebar luas ke pelosok nusantara. Hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia kini mempelajari I’anatun Nisa. Kitab ini telah menjadi standar literatur untuk kelas fiqih dasar kewanitaan.

Relevansi Kitab di Tengah Tantangan Zaman

Putra KH Usman, Gus Muhammad, kini meneruskan estafet kepengasuhan Ponpes Al-Anwar. Beliau menyebutkan bahwa I’anatun Nisa adalah karya pertama ayahnya yang monumental. KH Usman sebenarnya menulis belasan karya lain bertema fiqih serupa. Namun, hanya I’anatun Nisa yang terus mengalami cetak ulang massal.

Popularitas ini membuktikan bahwa kitab ini tetap relevan lintas generasi. Kebutuhan akan literatur fiqih wanita yang jelas selalu tinggi. Namun, era digital juga membawa tantangan baru berupa pembajakan kitab. Keluarga KH Usman melalui Penerbit Usmaniyah terus berupaya menjaga orisinalitas karya.

Bagi mereka, menjaga kitab ini adalah upaya menjaga amanah keilmuan. I’anatun Nisa bukan sekadar produk komoditas yang dijual di pasar. Ia adalah warisan intelektual yang harus kita jaga adab dan marwahnya. Kitab ini mencerminkan bagaimana pesantren merespons zaman tanpa meninggalkan akar tradisi.

Kitab Ad-Duror al-Bahiyyah: Mutiara Ilmu bagi Pemula

Kesimpulannya, I’anatun Nisa bukan hanya sekadar kitab kuning biasa. Ia lahir dari keikhlasan seorang guru untuk membantu para muridnya. Melalui kitab ini, muslimah dapat memahami tubuh dan ibadahnya secara terang. Semangat keilmuan ini akan terus hidup dalam setiap halaqah santri di Indonesia.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.