Pendidikan
Beranda » Berita » Islah PBNU: Menemukan Jalan Kedewasaan dalam Dinamika Organisasi

Islah PBNU: Menemukan Jalan Kedewasaan dalam Dinamika Organisasi

SURAU.CO. Setiap organisasi besar pasti menghadapi konflik dalam perjalanannya. Perbedaan dapat mengeras menjadi luka, tetapi juga dapat kita olah sebagai pintu menuju kedewasaan bersama. Pada titik inilah islah menemukan maknanya yang paling mendasar: bukan sekadar meredakan ketegangan sesaat, melainkan mengarahkan perbedaan agar kembali pada tujuan bersama.

Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, warga jam’iyyah memahami islah sebagai kerja batin untuk menata ulang niat dan mengutamakan maslahat umat. Konflik tidak menjadi ruang saling mengalahkan, melainkan undangan untuk saling mendewasakan diri, menjaga adab, dan meneguhkan kembali komitmen khidmah jam’iyyah.

Angin Dinamika di Kramat Raya

Suasana di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, belakangan terasa berbeda. Gedung itu menjadi saksi dinamika hubungan dua tokoh sentral NU—Rais Aam PBNU dan Ketua Umum PBNU—yang sejak pertengahan November hingga pertengahan Desember 2025 menarik perhatian publik.

Percakapan yang semula berlangsung di ruang rapat tertutup perlahan merembes ke ruang publik. Media sosial ramai oleh spekulasi, grup percakapan warga nahdliyyin ikut berdenyut, dan masyarakat awam memandangnya sebagai konflik struktural biasa. Padahal, di balik riak tersebut tersimpan ruang refleksi yang lebih dalam tentang makna persatuan dan kedewasaan dalam berjam’iyyah.

Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

Akar Masalah dan Perbedaan Pandangan

Ketegangan ini bermula dari sebuah keputusan penting. Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, menyatakan pemberhentian Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dengan merujuk pada Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU tanggal 20 November 2025. Keputusan tersebut kemudian diperkuat melalui Rapat Pleno yang menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU.

Gus Yahya menyampaikan keberatan secara terbuka, dengan menilai bahwa langkah tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta mekanisme organisasi yang berlaku. Perbedaan tafsir terhadap konstitusi organisasi inilah yang kemudian memicu perdebatan panjang dan melahirkan dua poros pandangan di ruang publik—yang populer disebut sebagai “Kelompok Sultan” dan “Kelompok Kramat”—masing-masing meyakini kebenaran langkah organisasinya.

Seruan Damai dari Arus Bawah

Ketegangan di tingkat elite ternyata tidak serta-merta merembes ke akar rumput. Justru dari bawah muncul suara yang menyejukkan. Banyak pengurus wilayah dan cabang NU menyerukan islah sebagai jalan terbaik, dengan harapan sederhana namun mulia: agar konflik diselesaikan melalui musyawarah dan penataan ulang organisasi sesuai aturan main yang berlaku.

Mereka juga menegaskan pentingnya kedewasaan dalam berorganisasi. Tabayyun dan musyawarah harus dikedepankan demi menjaga marwah NU. Warga nahdliyyin diingatkan agar tidak mudah terprovokasi oleh narasi tanpa sumber yang jelas, karena ukhuwah tetap harus menjadi fondasi utama dalam menyikapi setiap perbedaan pendapat.

Makna Hakiki Islah dalam Islam

Islah memiliki makna yang sangat dalam dalam tradisi Islam. Ia bukan sekadar solusi teknis atau langkah administratif untuk menghentikan konflik. Secara bahasa, islah berarti memperbaiki sesuatu yang retak dan menyatukan kembali bagian-bagian yang tercerai. Karena itu, Al-Qur’an menempatkan islah sebagai perintah moral yang tinggi, terutama ketika relasi manusia diuji oleh perselisihan. Allah Swt berfirman dalam QS. an-Nisâ’ ayat 85:

Belajar Tidak Terlalu Menggenggam: Pelajaran Hati dari Perjalanan Hidup

مَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَّكُنْ لَّهٗ نَصِيْبٌ مِّنْهَاۚ وَمَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَّكُنْ لَّهٗ كِفْلٌ مِّنْهَاۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيْتًا 

Latin: may yasyfasyafa‘atan ḫasanatay yakul lahû nashîbum min-ha, wa may yasyfasyafa‘atan sayyi’atay yakul lahu kiflum min-, wa kanallahualâ kulli syai’im muqîta

Arti: Siapa yang memberi pertolongan (mediasi) yang baik niscaya akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Siapa yang memberi pertolongan yang buruk niscaya akan menanggung bagian (dosa) darinya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Ayah yang Mengambil Rapor Anak: Pendidikan yang Dimulai dari Kehadiran

Ayat ini menyampaikan pesan yang sangat kuat: konflik bukan medan pertarungan ego, melainkan panggilan untuk kembali merajut persaudaraan. Hukum Islam menempatkan islah sebagai wujud akhlakul karimah yang harus kita jaga karena menyentuh kepentingan bersama. Ia tidak berhenti sebagai pilihan etis, tetapi menjadi bagian dari ikhtiar menjaga kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) yang menjadi tujuan utama syariat.

Majelis Tahkim sebagai Jalan Keluar

NU memiliki pengalaman panjang dalam mengelola perbedaan melalui tradisi islah. Tujuannya bukan mencari menang atau kalah, melainkan menjaga keutuhan jam’iyyah agar khidmah kepada umat tetap berjalan. Perbedaan pandangan adalah keniscayaan, bahkan bisa menjadi berkah jika dikelola dengan adab dan musyawarah.

Dalam konteks ini, Majelis Tahkim menjadi solusi konstitusional yang mencerminkan prinsip keadilan (‘adl) dan kebijaksanaan (hikmah). Ketegangan yang terjadi sejatinya adalah undangan untuk islah—bukan sekadar meredam konflik, tetapi membangun kedewasaan kolektif demi memperkuat khidmah NU bagi umat dan bangsa. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.