SURAU.CO – Ada masa dalam hidup ketika suara paling nyaring justru datang dari dalam diri sendiri. Bukan teriakan, bukan keluhan, melainkan bisikan sunyi yang menanyakan satu hal sederhana namun berat: “Masihkah aku berjalan bersama Allah, atau hanya berjalan mengejar dunia?”
Di saat seperti itu, hidup sering memaksa kita berhenti. Bukan karena kita lemah, tetapi karena kita terlalu lama berlari tanpa arah yang benar. Kita sibuk mengejar banyak hal pengakuan, kenyamanan, pencapaian hingga lupa bahwa jiwa pun punya hak untuk diberi makan, ditenangkan, dan didekatkan kembali kepada Rabb-nya.
Berharap Besar Pada Makhluk
Manusia kerap mengira kekuatan terletak pada seberapa keras ia berjuang. Padahal, ada kekuatan yang justru lahir dari kemampuan untuk diam, merenung, dan berserah. Diam bukan berarti menyerah pada keadaan, melainkan memberi ruang bagi hati untuk kembali mendengar petunjuk langit.
Dalam keheningan itulah kita mulai menyadari bahwa tidak semua masalah harus dijawab dengan kata-kata, dan tidak semua luka perlu diumbar ke mana-mana. Ada luka yang cukup diketahui Allah, dan ada air mata yang lebih pantas jatuh di sepertiga malam terakhir, bukan di hadapan manusia.
Sering kali kita kecewa karena berharap terlalu besar pada makhluk. Kita lupa bahwa manusia, sebaik apa pun, tetap terbatas. Janji bisa berubah, sikap bisa bergeser, dan hati bisa berbalik arah. Maka saat sandaran kita rapuh, wajar jika kita jatuh. Bukan karena hidup kejam, tetapi karena kita menggantungkan harap pada tempat yang salah.
Taubat yang Sungguh-sungguh
Allah tidak pernah meminta kita kuat sendirian. Justru dalam Al-Qur’an, berkali-kali Dia menegaskan bahwa pertolongan-Nya dekat, asal kita mau kembali. Kembali dengan hati yang jujur, bukan sekadar lisan yang fasih. Kembali dengan taubat yang sungguh-sungguh, bukan penyesalan sesaat yang mudah dilupakan.
Refleksi hidup sering datang melalui peristiwa yang tidak kita inginkan. Kehilangan, kegagalan, dikhianati, atau merasa sendirian di tengah keramaian. Semua itu bukan tanpa makna. Bisa jadi, Allah sedang membersihkan hati kita dari ketergantungan yang berlebihan pada dunia. Bisa jadi, Dia sedang menyiapkan ruang kosong agar cahaya iman bisa masuk lebih dalam.
Ada orang yang diuji dengan kesempitan rezeki, agar ia belajar bersyukur. Dan ada yang diuji dengan kelapangan, agar ia tidak sombong. Ada yang diuji dengan kesendirian, agar ia akrab dengan doa. Dan ada pula yang diuji dengan keramaian, agar ia belajar menjaga hati.
Masalahnya, kita sering sibuk bertanya “mengapa ini terjadi padaku?” tetapi jarang bertanya “apa yang Allah ingin aku pelajari dari ini?” Padahal, pertanyaan kedua jauh lebih menyelamatkan jiwa. Ia mengubah keluhan menjadi pelajaran, dan luka menjadi jalan kedewasaan iman.
Sadar Akan Dosa-dosanya
Hidup tidak selalu tentang mendapatkan apa yang kita mau, tetapi tentang menjadi apa yang Allah ridhai. Kadang Allah menunda bukan karena Dia tidak sayang, tetapi karena Dia tahu kita belum siap. Dan kadang Allah mengambil sesuatu bukan untuk menyiksa, melainkan untuk melindungi kita dari kerusakan yang lebih besar.
Refleksi iman juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Kita manusia, tempat salah dan lupa. Namun, jangan sampai kesalahan membuat kita merasa tidak layak kembali kepada Allah. Justru pintu taubat dibuka lebar bagi mereka yang merasa paling berdosa. Karena orang yang sadar dosanya lebih dekat kepada ampunan daripada orang yang merasa paling benar.
Di titik tertentu, kita akan belajar bahwa ketenangan tidak selalu datang dari keadaan yang ideal, tetapi dari hati yang ikhlas menerima takdir. Ikhlas bukan berarti tidak sedih, tetapi tidak protes kepada Allah. Menangis boleh, mengeluh kepada manusia boleh, asalkan jangan sampai kehilangan adab kepada Rabb semesta alam.
Dunia ini hanyalah persinggahan. Semua yang kita miliki akan ditinggalkan: harta, jabatan, pujian, bahkan orang-orang yang kita cintai. Yang akan menemani kita hanyalah amal dan niat yang tersembunyi di baliknya. Maka, seberapa sering kita membersihkan niat? Seberapa jujur kita dalam beribadah? Dan seberapa dalam hubungan kita dengan Allah, bukan sekadar rutinitas, tetapi kedekatan?.
Refleksi yang Sejati
Refleksi yang sejati bukan membuat kita merasa paling buruk, tetapi membuat kita ingin menjadi lebih baik. Ia tidak mematikan harapan, justru menyalakannya. Karena selama nafas masih berhembus, selama hati masih bisa bergetar saat mendengar nama Allah, pintu perubahan selalu terbuka.
Jika hari ini terasa berat, jangan terburu-buru menyalahkan takdir. Mungkin Allah sedang mendidikmu menjadi hamba yang lebih kuat, lebih sabar, dan lebih tulus. Jika langkah terasa lambat, jangan berkecil hati. Yang terpenting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi apakah kita berjalan di jalan yang benar.
Akhirnya, hidup mengajarkan satu pelajaran penting: tidak semua hal harus kita pahami sekarang. Ada jawaban yang baru akan kita mengerti kelak, mungkin setelah bertahun-tahun berlalu. Tugas kita hari ini hanyalah satu—tetap beriman, tetap berbuat baik, dan tetap berharap kepada Allah dengan penuh husnuzan.
Karena pada akhirnya, orang yang paling tenang bukanlah mereka yang hidupnya tanpa masalah, tetapi mereka yang hatinya yakin bahwa Allah tidak pernah salah dalam menetapkan apa pun. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

