Ibadah
Beranda » Berita » Taubat Ekologis: Memaknai Banjir Sumatera sebagai Panggilan Moral

Taubat Ekologis: Memaknai Banjir Sumatera sebagai Panggilan Moral

SURAU.CO. Banjir bandang kembali menerjang wilayah Sumatera, meninggalkan duka mendalam di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Peristiwa ini bukan sekadar catatan cuaca tahunan, melainkan tragedi kemanusiaan yang mengguncang kesadaran bersama. Ribuan rumah terendam, ratusan ribu warga mengungsi, dan di balik kepanikan itu tersimpan panggilan sunyi akan pentingnya taubat ekologis sebagai koreksi moral atas cara manusia memperlakukan alam.

Lebih dari seribu nyawa melayang dan ratusan lainnya masih hilang. Infrastruktur sosial lumpuh, roda ekonomi rakyat terhenti, dan ruang hidup masyarakat kian menyempit. Alam seolah berbicara dengan bahasa yang keras: ada relasi yang rusak antara manusia dan bumi. Pada titik inilah, taubat ekologis tidak lagi menjadi wacana abstrak, melainkan kebutuhan mendesak demi keberlanjutan hidup bersama.

Taubat Ekologis: Menghentikan Dosa Lingkungan

Islam mengajarkan konsep taubat dengan syarat-syarat yang jelas. Secara teologis, pelaku dosa harus memenuhi beberapa kriteria ketat. Kita bisa menarik kerangka ini ke dalam ranah ekologi atau lingkungan. Kerusakan alam sejatinya adalah dosa struktural yang besar. Hal ini menuntut adanya pertobatan secara kolektif.

Syarat pertama taubat adalah al-iqla‘ ‘an adz-dzanb atau berhenti dari perbuatan dosa. Penebangan hutan liar adalah dosa nyata. Pembukaan lahan sawit tanpa kendali juga merusak keseimbangan alam. Pelaku perusakan harus menghentikan aktivitas eksploitatif ini segera. Selama mesin penebang pohon masih meraung, taubat hanya menjadi omong kosong. Penerbit izin yang merusak lingkungan juga harus berhenti. Kita tidak bisa mengharap perbaikan tanpa menghentikan sumber kerusakannya.

Poligami Dalam Islam: Antara Syariat, Keadilan, Dan Kebijaksanaan

Penyesalan Mendalam atas Keserakahan

Syarat kedua menuntut adanya an-nadam atau rasa penyesalan. Penyesalan ini tidak cukup hanya dengan ucapan belasungkawa pascabencana. Kita membutuhkan penyesalan ekologis yang jujur. Kita harus sadar bahwa keuntungan ekonomi di atas kehancuran alam adalah kesalahan moral.

Jutaan hektar hutan Sumatera telah hilang dalam beberapa dekade terakhir. Kita tidak hanya kehilangan jutaan batang pohon. Kita kehilangan sistem penyangga kehidupan yang vital. Individu, korporasi, dan negara harus mengakui dosa ini. Pihak-pihak tersebut terlibat langsung maupun tidak langsung dalam perusakan lingkungan. Pengakuan jujur ini adalah pintu gerbang menuju perbaikan. Tanpa rasa bersalah, manusia akan terus mengulangi keserakahannya.

Tekad Mengubah Arah Pembangunan

Syarat ketiga adalah al-‘azm ‘ala alla ya‘uda atau tekad tidak mengulangi. Inilah inti dari taubat ekologis yang paling berat. Banyak pihak menghindari syarat ini karena menyentuh kepentingan bisnis besar. Kita memerlukan perubahan radikal dalam arah pembangunan nasional.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan alam. Moratorium izin pembukaan hutan harus kita tegakkan dengan tegas. Penegak hukum harus menindak pembalakan liar tanpa kompromi. Kita perlu mengevaluasi industri ekstraktif secara menyeluruh. Industri tersebut sering kali mengorbankan daya dukung lingkungan. Tanpa tekad struktural yang kuat, bencana akan terus datang berulang. Ini adalah sunatullah atas pola perusakan yang sama.

Memulihkan Hak Alam yang Terampas

Syarat keempat menjadi bagian terpenting dalam proses taubat ini. Pelaku taubat harus mengembalikan hak yang terampas. Alam yang rusak memiliki “hak” untuk pulih kembali. Kita wajib melakukan reboisasi hutan gundul secara masif. Restorasi daerah aliran sungai menjadi agenda yang mendesak.

Shalat Sunnah di Rumah: Menghidupkan Dengan Ibadah

Pemulihan lahan gambut dan rehabilitasi ekosistem bukan sekadar program teknis. Tindakan itu adalah kewajiban moral sebagai bukti taubat. Selain itu, kita harus memulihkan hak manusia yang menjadi korban. Masyarakat terdampak berhak mendapatkan rumah yang layak kembali. Mereka berhak memperoleh kembali mata pencahariannya. Kita wajib menjamin ruang hidup mereka secara adil.

Refleksi Ayat Suci Al-Quran

Al-Quran mempertegas kerangka berpikir ini melalui QS Ar-Rum ayat 41. Ayat tersebut menyatakan kerusakan di darat dan laut adalah akibat tangan manusia. Allah Swt ingin manusia merasakan dampak buruk perbuatannya. Tujuannya agar manusia kembali (yarji‘ūn) ke jalan yang benar.

Para ahli tafsir menjelaskan maknakembalidengan sangat dalam. Kembali bukan hanya dalam aspek spiritual semata namun kembali pada perilaku yang selaras dengan fitrah alam. Taubat ekologis adalah bentuk ketaatan praktis kepada Tuhan.

Lalu siapa yang harus bertaubat? Jawabannya sangat tegas: kita semua. Negara berdosa ketika lalai menegakkan hukum lingkungan. Korporasi berdosa saat mengorbankan alam demi profit semata. Masyarakat berdosa ketika membiarkan sistem yang merusak ini berjalan.

Banjir besar ini adalah cermin dosa ekologis kita bersama. Selama kita tidak memenuhi syarat-syarat taubat itu, bencana akan terus mengintai. Kita harus berhenti merusak, menyesal, bertekad berubah, dan memperbaiki kerusakan. Mari kita pulang pada akal sehat dan etika lingkungan. Kita harus kembali pada tanggung jawab manusia sebagai khalifah atau penjaga bumi.(kareemustofa)

️Menjadi Tamu Allah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.