Opinion
Beranda » Berita » Akibatnya Gagal Paham

Akibatnya Gagal Paham

Akibatnya Gagal Paham
Akibatnya Gagal Paham

 

SURAU.CO – Akibat gagal paham akhirnya Orang-orang yang suka mengamalkan amalan bid’ah mengatakan bahwa,

“Pesawat, Hp, mobil, fb, dll itu juga bid’ah karena tidak ada di zaman nabi. Maka dakwah menggunakan bahasa Indonesia-pun berarti bid’ah. Karena Nabi berdakwah menggunakan bahasa Arab. Naik haji pakai onta karena pesawat bid’ah dan subhat-subhat lainnya”

Dakwah dan Bid’ah dalam Syariat

Kadang melihat komentar-komentar mereka membuat kita merasa heran sekaligus tergelitik karena menunjukan ke jahilan (kebodohan) mereka dalam mendefenisikan Bid’ah dalam syariat.

Itulah akibat kegagalan paham tentang makna bid’ah. Dakwah Lewat facebook dan media lainnya adalah bid’ah?

Larangan Mencela Hujan: Adab Seorang Mukmin Di Hadapan Takdir Allah

“Jangan dakwah pakai FB, itu kan bid’ah, gak ada dijaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebentar masuk neraka”

Pernah dengar celetukan seperti itu? Kalau dakwah di facebook bid’ah, berarti dakwah di media lain bid’ah juga? juga tidak ada di jaman Nabi. Kasihan para ustadz yang pada dakwah di TV, radio, majalah, buletin, dan media lainnya, Masuk neraka semua?

Berpijak pada Ikut-Ikutan dan Akal-akalan

Begitulah model pemikiran mereka yang berusaha melegalkan yang katanya menurut mereka bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Akhirnya apa saja yang sebenarnya bukan bid’ah maka ia bid’ahkan. Yang entah sebenarnya ia tahu tapi pura-pura tidak tahu atau memang bener-benar ngak tahu. Hingga akhirnya memahami agama hanya berpijak pada akal-akalan (pemikiran), rasa-rasa (perasaan/hati) serta ikut-ikutan teman-temannya.

Saudaraku, Facebook, internet, email, TV, radio, dll, sejatinya hanyalah sebagai sarana atau alat komunikasi saja,
Sebagaimana jaman dulu ada surat menyurat, Cuman jaman sekarang sudah lebih canggih, tapi prinsipnya tetap sama, yakni sama-sama alat komunikasi. intinya:

Kita menyampaikan suatu berita, entah itu dakwah atau apapun tidak secara langsung face to face, tapi lewat alat komunikasi tersebut. Apakah Fb, internet, email, TV, radio, dll bid’ah? Bukankah Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah berdakwah tidak secara langsung face to face sama orang yang didakwahi, Beliau pernah berdakwah menggunakan media alat komunikasi.

Tidak percaya? Silahkan buka shahih Bukhari, Diriwayatkan secara panjang dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengirim surat pada raja Heraklius agar masuk Islam. Bukankah hal tersebut juga merupakan dakwah? Dan bukankah surat menyurat adalah alat komunikasi?

Poligami Dalam Islam: Antara Syariat, Keadilan, Dan Kebijaksanaan

Hukum Asal Masalah Dunia Adalah Mubah

Dari sini saja sebenarnya sudah termentahkan tudingan mereka yang membid’ahkan dakwah di facebook dan lain-lainnya. Memang betul Berdakwah merupakan ibadah, namun sarana yang dipakai untuk berdakwah bukanlah Bid’ah menurut istilah agama.

Seperti penggunaan microphone untuk pengeras suara, facebook, email sebagai pengganti surat-menyurat, video ceramah dan sebagainya. Dalam masalah dunia, apapun itu (dalam kasus ini mengenai teknologi), hukum asalnya adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang melarang atau mengharamkannya.

>Adapun bid’ah dalam agama (Ibadah), ucapan itu telah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alahiwa sallam, dimana dalam hadits beliau bersabda, potongan haditsnya adalah:

“Setiap bid’ah itu adalah sesat”.

>Begitu juga yang dipahami oleh para sahabat dan ulama-ulama lain yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan baik. Maka Semua hal dalam perkara dunia Semisal Motor atau Mobil buat ke masjid, Pesawat terbang buat naik haji, Hand Phone, TV, radio, Komputer dan FB buat dakwah, kertas buat nulis Qur’an dan hadits, Sekolah, Madrasah, pesantern, dll buat belajar agama, microphone di masjid buat khutbah dll. Semua itu adalah hanyalah sarana / washillah untuk ibadah, bukan ibadahnya itu sendiri. Itulah yang disebut dengan Mashlahatul Mursalah.

Hasil Kemajuan Peradaban

Sebab untuk urusan dunia, yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi, alat komunikasi, transportasi, dan semua yang berkenaan dengan peradaban manusia, Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu” [Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366)]

>Jadi Benda-benda yang disebutkan diatas itu adalah urusan dunia yang merupakan hasil kemajuan peradaban manusia secara umum dan pengembangan teknologi seiring dengan berjalannya waktu, yang mana orang kafir juga menggunakannya, dan tidak ada kaitannya dengan agama secara langsung. Sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, itu bukanlah bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

>Jadi Silahkan mau buat mikrofon masjid, pesawat buat pergi haji, hp, mobil, software dll, Akan tetapi Yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam larang di sini adalah segala macam perkara baru dalam bentuk amalan (ibadah) atau keyakinan agama dan syari’at, baik mengurangi atau menambahkan.

Hutan, Banjir dan Ekonomi yang Merobohkan Rumah Sendiri

Patuh dan Taat Kepada Pemimpin

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersabda : “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama ini yang bukan datang dari kami, maka tertolak.” (Shahih, riwayat Muslim Juz 5,no.133)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih).

>Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  juga bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin walaupun dipimpin budak Habasya, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin (para sahabat) yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”. [Shahih. HR.Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43),Al-Hakim (1/97)]

Bid’ah Hasanah

Ada juga orang-orang yang ingin melegalkan bid’ah hasanah berdalih dengan mengatakan bahwa bilal juga berbuat bid’ah. mereka berdalil dengan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal radhiallahu anhu:

ﻳَﺎ ﺑِﻼَﻝُ ﺃَﺧْﺒِﺮْﻧِﻲْ ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺈِﺳْﻼَﻡ , ﻓَﺈﻧِّﻲْ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺩُﻑَّ ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ .

“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan apa yang engkau paling harapkan (pahalanya) yang engkau lakukan dalam Islam, sesungguhnya aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di Surga”.

Maka Bilal radhiallahu anhu menjawab:

<em>ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺃَﺭْﺟَﻰ ﻋِﻨْﺪِﻱ : ﺃَﻧِّﻲ ﻟَﻢْ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮْ ﻃَﻬُﻮﺭًﺍ ، ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔِ ﻟَﻴْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻬَﺎﺭٍ، ﺇِﻟَّﺎ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭِ ﻣَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻟِﻲ ﺃَﻥْ ﺃُﺻَﻠِّﻲَ

“Aku tidak pernah mengerjakan amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain aku tidak pernah bersuci di waktu malam dan siang kecuali aku mengerjakan shalat sunnah seberapa banyak yang telah ditentukan kepadaku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Tanggapan mengenai orang yang berdalil dengan perbuatan bilal Radhiallahu’anhu,

Terompah Bilal Di Surga

Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengarkan suara terompah beliau di surga.

Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.

Shalat Setelah Berwudhu

Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash (dalil) yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan para pelaku bid’ah). Di antara nash tersebut adalah:

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻴُﺤْﺴِﻦُ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻳُﻘْﺒِﻞُ ﺑِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﻭَﺟْﻬِﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔُ

“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”

Dosa yang Telah Lalu Akan Diampuni

Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang di sunnahkan. Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah. Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻧﺤﻮ ﻭﺿﻮﺋﻲ ﻫﺬﺍ ﺛﻢ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﻻ ﻳﺤﺪﺙ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻧﻔﺴﻪ ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ

“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”

>Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at. Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan para pelaku bid’ah yang mengatakan:

“Tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu”

Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru. Jika ada yang berkata: “boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”

Kita pun bisa mengatakan:

“Boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) sebaliknya; Bilal melakukan ibadah tersebut setelah beliau mengetahui kedua hadits ini”.

Shalat Sunnah Mutlak

Kalaupun kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum mengetahui dalil-dalil khusus tentang

Shalat setelah wudhu, maka tetap saja Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara mutlak. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu. Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci-di antaranya-adalah shalat. Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.

Di antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:

ﻭﺍﺳﺘﻌﻴﻨﻮﺍ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ</em>

“Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”

>Ini adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara mutlak di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah—sangatlah dianjurkan dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.

>Diriwayatkan dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no. 489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  agar di akhirat nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:

ﻓﺄﻋﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻚ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﺴﺠﻮﺩ
“Wahai Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):

“Yang dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam shalat”.

Memotivasi Melakukan Shalat Sunnah

Ini adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat sunnah yang sifatnya mutlak

(tidak terikat). Lagi pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah jenis ibadah yang bersifat “ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid.

Demikian pula, jika ada orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalam kitabnya Nihaayatu az-Zain (hal. 104), beliau menuliskan:

>ﻭﻣﻨﻪ ﺻﻼﺓ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻔﺮﺍﻍ ﻣﻨﻪ ﻭﻗﺒﻞ ﻃﻮﻝ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﻭﺍﻹﻋﺮﺍﺽ ، ﻭﺗﺤﺼﻞ ﺑﻤﺎ ﺗﺤﺼﻞ ﺑﻪ ﺗﺤﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ؛ ﻓﻠﻮ ﺃﺗﻰ ﺑﺼﻼﺓ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻣﻦ ﻓﺮﺽ ﺃﻭ ﻧﻔﻞ ﻓﻔﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺗﺤﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺣﺼﻮﻝ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻭﺳﻘﻮﻁ ﺍﻟﻄﻠﺐ

Ini juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249). Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo’ al-Bab al-Maftuh: 25/20).

Berarti shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau sebelum ia mengetahui dalilnya.

Persetujuan Rasulullah

Ibadah yang dilakukan oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau pengakuan dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang telah mendapat legitimasi (persetujuan) dan pengakuan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jadi ibadah tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu. adapun di zaman ini, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.Jika dikatakan; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir dari Nabi adalah bid’ah? jawabannya; Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini. Jika ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu (yang sekarang ini).

nu al-Qayyim mengatakan:

ﺃﻥ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺮﺏ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻮﻥ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺷﺮﻉ ﺍﻟﺸﺮﺍﺋﻊ ﻭﻧﺰﻭﻝ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﺇﻗﺮﺍﺭﻩ ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﻔﻮﻩ ﻋﻨﻪ

>“Ilmu Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya (atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan mereka tersebut.” [al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid].

Wahyu Sudah Terputus: Agama Islam Telah Sempurna

Adapun pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah di sempurnakan. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi orang dalam ibadah? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat tentang kesempurnaan Islam:

ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian” (al-maidah : 3)

Sehingga tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang terjadi di zaman ini.

Ibadah yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada jaminan legitimasi dari Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena agama ini sudah di sempurnakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah wafat dan wahyu telah terputus. Di sisi yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  telah menutup peluang bagi orang-orang. Belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya:

ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ
“Semua bid’ah itu sesat”

Para sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;

ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﺇﻥ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﺴﻨﺔ

“Setiap kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”

Ibadah Taqriir

Jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja. Tidak semua ide Sahabat dalam hal ibadah di-taqriir (di setujui) oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan keras. Seperti kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih—yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063). “Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus beribadah. Ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak shalat malam tanpa tidur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  mengingkari ide mereka tersebut, sekalipun niat mereka baik.

Juga kisah al-Baraa’ bin ‘Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika” menjadi “wabi-rasuulika” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat teguran dari Nabi (lihat Shahih al-Bukhari no. 6311).

Jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam atas ide. Atau tindakan mereka dalam hal ibadah, maka apalagi ide baru orang-orang zaman sekarang?

KESIMPULAN

perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah.

Sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid dan lain-lainnya).

Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk memahaminya. hanya Allah-lah pemberi taufiq dan hidayah. والله أعلمُ بالـصـواب. (Anadea Ratna Daily)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.